Lihat ke Halaman Asli

Bahagia Yang Hakiki

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Setiap orang ingin bahagia dan berusaha agar mendapatkan kebahagiaan dengan bermacam-macam cara, sesuai dengan persepsi dan kemampuan mereka masing-masing. Setiap orang memiliki persepsi (pandangan) yang berbeda tentang definisi kebahagiaan. Ada yang memandang berdasarkan banyaknya harta, jabatan yang tinggi, mobil mewah, tabungan yang banyak dan lain sebagainya. Bahkan ada yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan 3 ta (harta, tahta, wanita) sehingga terjadilah ketidakseimbangan dalam kehidupan mereka.

Ada juga yang memandang bahwa bahagia di dunia hanya sementara, dan berusaha menanam amal kebaikan untuk bekal di akhirat. Harta, jabatan, dan segala kemuliaan kehidupan bukanlah tujuan, tetapi menjadi sarana untuk menndekatkan diri kepada Allah.

Jika kita ditanya, apa yang dimaksud dengan bahagia? Maka kita akan memberikan jawaban tentang makna bahagia itu berdasarkan kebutuhan / tujuan jangka pendek masing-masing. Orang yang miskin berpendapat bahwa bahagia adalah apabila mereka menjadi orang kaya sehingga bisa mendapatkan segala yang diinginkannya. Orang kaya yang sakit kronis berpendapat bahwa bahagia adalah ketika ia sembuh dari sakit kronis yang dideritanya. Ia akan menggunakan hartanya agar bisa sembuh, tidak peduli berapapun harta yang harus dikeluarkan. Penulis berpendapat bahwa bahagia adalah jika bukunya laris dan dikagumi oleh pembacanya. Masih banyak lagi pendapat tentang bahagia, berdasarkan kebutuhan / tujuan jangka pendek masing-masing, yang kalau kita pelajari secara mendalam hal tersebut hanyalah bahagia yang bersifat sementara.

Dalam bahasa Indonesia, bahagia adalah kata sifat, yang bisa diketahui oleh rasa hati, sehingga untuk mengetahui apa hakikat bahagia tersebut kita harus merasakan apa yang disebut rasa bahagia. Jadi, bahagia merupakan dimensi rasa perasaan. Berdasarkan hukum kausalitas rasa bahagia merupakan akibat dari suatu sebab. Contoh : Orang yang lapar, lalu makan makanan yang lezat, maka akan menimbulkan rasa bahagia pada orang tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa perasaan bahagia akan timbul apabila kebutuhan atau keinginan seseorang terpenuhi. Karena kebutuhan tiap orang berbeda-beda macamnya, bertingkat-tingkat, maka rasa bahagia sebagai akibat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut, juga bermacam-macam dan bertingkat-tingkat.

Tingkatan kebutuhan manusia pada hakikatnya mengikuti tingkatan akal atau derajat akalnya. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad saw : Suatu hari Aisyah ra bertanya kepada Rosulullah saw :“Ya Rosulullah dengan apakah kelebihan sebagian manusia dari manusia lainnya? Rosulullah menjawab” Dengan akal!”. Dan di akhirat? Dengan akal juga kata beliau! bukankah seorang manusia lebih banyak mendapat pahala karena amal ibadahnya? kata Aisyah pula. “Hai Aisyah, bukankah amal ibadah yang mereka kerjakan itu hanya menurut kadar akalnya? Sekedar ketinggian akalnya, sebegitulah ibadah mereka dan menurut amal itu pula pahala yang diberikan kepada mereka. Kemudian Rosulullah bersabda: “Allah membagi akal dengan tiga bagian siapa yang cukup mempunyai ketiga bagiannya, sempurnalah akalnya, kalau kekurangan walau sebagian, tidaklah ia termasuk orang yang berakal”. Ya Rosulullah manakah bagian yang tiga macam itu?. Kata beliau: “pertama baik ma’rifatnya kepada Allah, Kedua baik taatnya kepada Allah dan ketiga baik pula sabarnya atas ketentuan Allah”. (HR Bukhori)

Tingkat tertinggi dari akal adalah akal yang telah mengenal Allah, sehingga Imam Ghazali mengatakan : “Bahagia dan kelezatan yang sejati adalah apabila dapat bertemu Allah dan mengingat Allah. Ketahuilah bahwa kebahagiaan tiap-tiap sesuatu adalah bila kita merasakan nikmat kesenangan dan kelezatannya, dan kelezatan itu sesuai dengan sifat kejadian masing-masing, maka kelezatan mata adalah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga adalah mendengar suara yang merdu, demikian pula anggota badan yang lain ditubuh manusia. Adapun kebahagiaan rohani adalah ma’rifat kepada Allah, karena rohani itu dijadikan untuk menemui Allah kemudian mengingat-Nya. Rohani yang dulu mengenal Allah, kemudian ia dapat kesempatan untuk mengenal Allah, maka ia sangat bergembira dan tidak sabar untuk terus bertemu dengan Allah, karena kelezatan mata rohani memandang Dzat Yang Maha Indah, karena Allah memang Maha Indah sesuai Hadits : Innalloha jamilun, yuhibbul jamaal. Oleh sebab itu tidak ada bahagia yang hakiki yang lebih lezat dari pada marifatullah, tidak ada suatu pandangan yang lebih indah dari pada memandang Allah. Firman Allah surah Al Qiyaamah 22 - 23 : ” Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.Kepada Tuhannyalah mereka melihat.

Sebab segala kebahagiaan, kegembiraan, kesenangan, kelezatan dan suka cita di dunia, sebagian besar berdasarkan perasaan nafsu, dan timbul karena ada nafsu. Semuanya akan berhenti pada batasnya yaitu kematian. Tetapi bahagia karena ma’rifatullah berdasarkan perasaan ruh. Ruh tidak akan mati karena dikekalkan oleh Allah.

Bila tubuh kasar kita ini mati, maka bertambah bersihlah ruh itu, karena tidak ada lagi yang menggoda, sebab kekuatan iblis dan hawa nafsu tidak sampai ke alam akhirat. Ruh keluar dari alam yang sempit menuju ke alam yang sangat luas, keluar dari gelap menuju terang. Orang yang telah menemukan bahagia yang hakiki berupa ma’rifatullah adalah orang yang sudah mencapai Kemenangan yang Nyata ( Fathul Mubiin ) dalam hidupnya, sebagaimana firman Allah : “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak). ( QS Al Fath 48 : 1- 3 )

Oleh karena itu, kita harus bersabar dan terus belajar agar dapat mengenal Allah serta bersabar untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah agar bahagia di dunia dan akhirat

“Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka. (Al Insaan : 24)

“Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan, maka barang siapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya”. (Al Insaan : 29). Wallahu a’lam bish showab (Allah lebih Tahu akan kebenarannya)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline