Apakah peningkatan jumlah penduduk di Indonesia selalu berdampak positif terhadap kelangsungan hidup seluruh masyarakat? Di satu sisi, tentunya ada dampak positif dari hal tersebut, contohnya semakin banyak masyarakat yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi negara ini.
Akan tetapi, selain memiliki dampak positif, semua hal pasti juga membawa dampak negatif. Pada kenyataannya, pertumbuhan jumlah penduduk tidak selalu memberikan kenyamanan dan hidup yang lebih “tentram” bagi kebanyakan manusia karena hal itu telah menciptakan fenomena Sandwich Generation. Berdasarkan data hasil survei yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), hampir setengah atau 46,3% dari generasi-Z (golongan orang yang lahir tahun 1997-2012) di Indonesia mengalami fenomena generasi sandwich.
Apa itu Sandwich Generation?
Menurut Miller (1981) dalam Khalil & Santoso (2022), generasi sandwich dapat diartikan sebagai sebuah penggabungan keluarga inti dalam ketergantungan yang parsial, yang memiliki hubungan antara orang tua, anak, dan cucu untuk bertanggung jawab dalam menyediakan sumber daya dan pelayanan yang tidak sesuai dengan timbal balik yang telah diberikan.
Dalam pandangan Miller, generasi ini menghadapi tantangan stres yang lebih besar, sedangkan individu sebagai generasi sandwich pun membutuhkan sumber penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga mereka. Adapun permasalahan yang dirasakan oleh generasi sandwich yaitu mereka harus membiayai kebutuhan utama keluarga mereka, seperti membayar utang, membiayai kesehatan dan pendidikan anggota keluarga, disamping harus memenuhi kebutuhan untuk diri mereka sendiri.
Apa yang menyebabkan munculnya Generasi Sandwich?
Nuryasman dan Elizabeth (2023) menyebutkan bahwa lahirnya generasi sandwich dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah literasi keuangan. Minimnya literasi keuangan cenderung menyebabkan individu sebagai generasi pertama tidak menyiapkan dana pensiun, sehingga ketika sudah memasuki usia tidak produktif diperlukan generasi kedua untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Hasil wawancara dengan 6 narasumber memberikan jawaban-jawaban yang berbeda-beda. Dominasi pola pikir bahwa anak dianggap sebagai aset dan tanggung jawab terhadap generasi sebelumnya mencapai 33,3% menggambarkan bahwa persepsi ini memiliki peran dalam menciptakan dan mempertahankan fenomena generasi sandwich.
Kemampuan finansial dan kebiasaan gaya hidup yang tidak terorganisir muncul sebagai alasan utama kedua dalam wawancara. Meskipun masing-masing hanya menyumbang 16,7%, keduanya menunjukkan dampak terhadap keputusan menjadi generasi sandwich. Kemampuan finansial memiliki peran penting dalam menjalankan peran ganda, dengan tanggung jawab terhadap kedua generasi yang memerlukan sumber daya finansial yang cukup.
Sementara itu, kebiasaan gaya hidup yang tidak terorganisir menciptakan tuntutan tambahan pada waktu dan energi, menciptakan ketidakseimbangan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Meskipun pola pikir anak sebagai aset mendominasi, keberagaman alasan menunjukkan kompleksitas dinamika di balik fenomena generasi sandwich. Menurut Burke (2017:5), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kenaikan populasi dari generasi sandwich, yaitu sebagai berikut:
Penambahan anak tinggal di rumah selagi mereka mengejar pendidikan yang tinggi, mencari pekerjaan, atau bekerja dengan upah minimum;