Lihat ke Halaman Asli

100 Cerita “Serem” tentang Batu Akik

Diperbarui: 23 Juli 2015   18:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekarang ini, kalau mau menulis buku yang akan best-seller, tulislah buku tentang batu akik. Mumpung Indonesia sedang demam batu akik. Jangan lupa saat menulisnya batu akiknya dipakai, karena hal itu akan membawa barokah pada tulisan kita. Begitulah buku “100 Cerita Batu Mulia Indonesia” karya Ir. H. Sujatmiko secara luar biasa habis ludes dalam dua minggu setelah diterbitkan. Buku yang beredar sekarang adalah cetakan kedua.  

[caption caption="buku 100 Cerita Batu Mulia Indonesia"][/caption]

Saat saya datang ke kantor penulis best-seller tersebut di Jl. Pajajaran 145 Bandung untuk silaturahmi lebaran Kamis 23 Juli 2015, buku yang saya beli tanggal 5 Juli 2015 sengaja saya bawa untuk ditandatangani penulisnya. Walaupun sering ketemu sebagai sesama penggiat di KRCB (Kelompok Riset Cekungan Bandung) yang sama-sama beberapa kali menerbitkan buku bunga rampai, tetapi tanda tangan ini tentunya khusus karena menyangkut fenomena batu akik yang sedang booming itu.

Namun sebelum buku ditandatangani, Pak Sujatmiko yang di kalangan perbatumuliaan dikenal sebagai Mang Okim, memperlihatkan dua cincin dengan mata batu berwarna hijau dan merah yang mencolok. Menurutnya, ada orang yang datang untuk menyertifikatkan kedua batu tersebut. Mang Okim, sebagai seorang geologiwan yang mendalami batu mulia, mempunyai lisensi untuk mengeluarkan sertifikat batu mulia.

[caption caption="Mang Okim sedang menandatangani bukunya untuk saya"]

[/caption]

Mang Okim menyayangkan kedua batu yang menurut pemiliknya dibeli puluhan juta rupiah dari Tanah Suci Makkah itu, sekilas saja sudah dapat diduga sebenarnya adalah sintetis, alias olahan, atau disebut juga jenangan, bukan batu alamiah. Kasus seperti ini sering dijumpai Mang Okim seperti tertulis di bukunya, yaitu pada Bab 2 Awas Batu Mulia “Aspal”.

Hati-hati bagi yang baru berkecimpung di dunia batu mulia. Batu sintetis banyak beredar dan sangat mirip dengan batu mulia alamiah. Bahkan agar dianggap batu mulia alamiah, ditawarkan tidak tanggung-tanggung dengan harga yang fantastis, seperti batu dari Makkah tersebut.

Pemalsuan banyak dilakukan pada batu giok. Kasus-kasus pada bab 2 itu menyangkut meja giok Rp 18 miliar, meja giok seberat 77 kg, sertifikat giok aspal, giok daun meja 153 kg, giok bohongan yang ternyata hanya marmer, hingga cincin giok dan patung giok sintetis yang disakralkan. Begitu pula batu-batu yang lebih mulia (precious stone) atau batu permata banyak yang dijual sangat mahal, seperti ruby, sapphire, chaiyo ruby seharga USD 150 juta! Hati-hati juga dengan alexandrite dan mustika MD, atau kalau beli safir di Bangkok. Mahal bukan jaminan asli. Bahkan cerita “serem” permata pancawarna seharga 3.000 dollar AS yang diakui pemiliknya dibeli di San Fransisko ternyata hanya berupa gelas artifisial alias jenang gulo, atau dengan sebutan popular pantol alias pantat botol.

Pada Bab 3 cerita-ceritanya lebih serem lagi karena menyangkut mitos dan mistik, yang sebenarnya lebih banyak unsur penipuannya. Di bab ini salah satunya adalah kasus Batu Ponari yang heboh pada tahun 2009 yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Padahal menurut Mang Okim, batu itu hanya bintal akik yang persediaannya banyak di workshop Mang Okim. Sehingga di akhir ceritanya Mang Okim menulis dengan nada bercanda, “… jika nanti (bintal akik) sampai terbukti jenisnya sama dengan batu Ponari, Mang Okim bisa ganti profesi jadi dukun alternatif, bakalan gancang beunghar alias cepet kaya dalam waktu singkat.”

[caption caption="Buku yang telah ditandatangani dengan latar belakang rak batu mulia "]

[/caption]

Pengalaman Mang Okim menghadapi batu mulia memang telah teruji selama 26 tahun, apalagi ditambah sebagai seorang geologiwan sejak lulus dari Teknik Geologi ITB tahun 1967. Awal ketertarikan ke batu mulia bermula saat ia berhenti sebagai kepala Departemen Geologi di perusahaan minyak Total Indonesia pada tahun 1985. Tahun 1989 atas ajakan sahabatnya, ia pergi ke Bungbulang, Garut, tetapi mulai usahanya dilakukan setahun kemudian setelah bingung mendapatkan bahan mentah batu mulia dari Garut yang tidak tahu mau diapakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline