[caption caption="G. Bukittunggul (kiri) tertinggi di utara Bandung"][/caption]
Bukit Unggul. Begitulah yang tertulis di tugu dekat Kampung Batuloceng, kira-kira 5 km timur Maribaya, Lembang, utara Bandung. Bagi yang sering menjelajah utara Bandung, nama itu akan membuat terheran-heran. Bagaimana mungkin tiba-tiba berubah. Sejak dulu nama geografi (toponim) lebih dikenal sebagai Bukit Tunggul atau Bukittunggul. Nama ini merujuk pada nama gunung, sehingga lengkapnya Gunung Bukittunggul. Lagi pula, dulu tugu tersebut sempat bertuliskan Bukittunggul (dengan dua T). Sekarang di tugu tersebut, satu huruf T dicabut sehingga tertulis Bukit Unggul.
[caption caption="Tugu Bukit Unggul, tadinya Bukit Tunggul, entah mengapa satu T dicabut"]
[/caption]
Lebih jauh lagi, bagi yang peduli kebumian serta pemerhati budaya, khususnya menyangkut Legenda Tangkubanparahu (Sang Kuriang), perubahan nama menjadi Bukit Unggul bisa dikatakan sebagai perisakan (bullying) terhadap toponimi. Toponimi adalah ilmu tentang nama tempat, asal-usulnya, arti atau makna, serta penggunaannya. Setiap nama tempat di muka Bumi ini tentu tidak sembarang muncul begitu saja. Leluhur kita memberi nama tempat diperkirakan tidak bertujuan komersial atau gaya-gayaan. Mereka memberi nama tempat sesuai dengan karakteristik tempatnya atau asal-usulnya, dan bahkan mungkin dikaitkan dengan sesuatu yang lebih luhur (transendental).
Nama Gunung Bukittunggul memang menjadi terasa aneh. Ada pengulangan, apakah gunung atau bukit? Pada peta-peta lama, misalnya peta topografi buatan Belanda sebelum tahun 1960 masih tertulis G. Bukittunggul. Suatu makalah ilmiah tua yang pertama kali membahas keberadaan Danau Bandung Purba oleh Stehn dan Umbgrove (1929) berjudul “Bijdrage tot de geologie der vlakte van Bandoeng” lampiran petanya masih menuliskan G. Boekittoenggoel 2209. Begitu pula tulisan-tulisan suhu geologi Indonesia R.W. van Bemmelen pada bukunya “The Geology of Indonesia” (1949). Tulisan tua yang lebih muda oleh R.P. Koesoemadinata tentang Geologi Bandung (1956) masih menuliskan G. Bukittunggul. Perubahan nama baru terjadi pada peta keluaran AMS (American Map Service) skala 1:50.000 (1962) yang menuliskan gunung di timur laut Bandung itu sebagai Bukit Tunggul (dipisah dan tanpa ada G sebagai singkatan dari Gunung).
Jadi mana yang benar? Apakah Bukittunggul itu gunung atau bukit? Dilihat dari ketinggiannya yang mencapai 2209 m di atas permukaan laut rata-rata, jelaslah Bukittunggul merupakan sebuah gunung. Bandingkan dengan Tangkubanparahu 2084 m dpl. atau bahkan Manglayang 1717 m dpl. Keduanya mendapatkan awalan G di depannya, menunjukkan nama gunung.
[caption caption="Memuncak Bukittunggul +2.209 m dpl (pendakian 2013)"]
[/caption]
Van der Pijl: Beutitunggul
Misteri ini akhirnya terjawab saat seorang sahabat yang sering kontak via facebook, Muhammad Ryzki Wiryawan (Ayan), mengunggah tulisan lama M. Purbohadidjojo berjudul “Disekitar Nama Gunung Tangkubanperahu,” halaman 23 – 26 saja. Halamannya sudah berwarna kekuningan. Dicuplik dari Majalah Bahasa dan Budaja, tahun III No. 5 Djuni 1955.
Menarik sekali apa yang ditulis M. Purbohadiwidjojo di tulisan itu yang memberi tanda * pada G. Bukit Tunggul. Catatan kaki untuk tanda * itu berbunyi: Menurut lit. 5 nama itu tadinja Beuti Tunggul (beuti = umbi), tetapi karena kesalahan pemetaan berubah mendjadi Bukit Tunggul. Lit. 5 pada daftar pustaka merujuk pada: PIJL, L.v.d. Wandelgids voor den Tangkoeban Prahoe, Bandoeng Vooruit, Serie no. 5. Van der Pijl adalah seorang ahli botani Belanda, di antaranya pernah meneliti tentang perkembangan tumbuhan perintis di G. Anakkrakatau dan tumbuhan khas pada batugamping karst Citatah.
Rupanya nama asal Bukittunggul adalah Beutitunggul. Misteri terpecahkan. Jadi aslinya tidak ada duplikasi gunung dengan bukit. Hal ini lebih masuk akal karena bersesuaian dengan mitos Sang Kuriang, legenda terbentuknya Gunung Tangkubanparahu. Menurut legenda itu, kayu yang digunakan Sang Kuriang untuk membuat perahu atas permintaan Dayang Sumbi ditebang dari sebuah pohon di sebelah timur (di G. Bukittunggul) dan daun-daunnya jatuh ke sebelah barat menjadi G. Burangrang (rangrang = rontokan dedaunan). Dekat dengan G. Bukittunggul sekarang terdapat G. Pangparang (parang untuk menebang pohon itu). Setelah pohon ditebang, tinggallah umbi tunggul dari pohon tersebut sehingga masyarakat Bandung lama memberinya nama Gunung Beutitunggul.