Akhir-akhir ini musim penghujan membuat Embah harus bersusah payah mengakut rumput dari sawah. Bersaing dengan lumpur, kubangan air dan batu gragal dijalan. Ancaman kepreset dan resiko kecemplung kali yang dalam di kiri jalan kampung. Ini jalan atau bajakan kerbau tak ada beda.
Embah tiba di rumah. Perhatian yang sontak kepada berita di layar televisi. "Pembangunan jalan Tol Trans Jawa sangat membantu mempercepat pembangunan" kata pembawa berita . Embah hanya bisa bergeming dan menyembunyikan kekecewaannya ia hanya berkomentar dengan ungkapan andalannya asu tenan.
Pembangunan Tol Trans Jawa telah diresmikan oleh Pakdhe Jokowi. Ramai di beritakan berbagai media. Pemerintah mengklaim geliat ekonomi dapat ditingkatkan dengan dibangun jalan ini, katanya. Justru ini berbalik pendapat dengan Embah saya.
Bila Embah saat ini Menteri mungkin Ia menyarankan Pakdhe Jokowi untuk bangun jalan aspal di kampungnya. Kelakuan Embah tak kalah dengan netizen yang suka nyiyir di media sosial. Kritiknya sama pedas nya dengan cibiran mulut tetangga.
Efek dari Jalan aspal di kampung yang diharapkan ini kelak diperkirakan tidak kalah dengan Tol Trans Jawa. Selain menjadi akses utama warga kampung pergi ke sawah. Selain itu akses mencari rumput dan bercocok tanam di ladang. Jalan ini juga digunakan mobilisasi angkut panen kampung. Bukankah ini termasuk menciptakan percepatan ekonomi dari kampung ke kampung.
Proyek Tol Trans Jawa ini sebenarnya sudah lama digagas 23 tahun yang lalu. Namun baru era Pakdhe Jokowi dapat terealisasi namun belum selesei sepenuhnya. Targetnya bukan main 1.150 km menghubungkan Merak sampai Banyuwangi. Saat ini sudah berhasil menghubugkan Jakarta - Surabaya dan sampai di Pasuruan.
Lantas saya juga teringat dalam pelajaran sejarah tentang pembangunan Jalan Anyer-Panarukan. Dalam pembangunanya banyak memakan korban. Namun tidak ada media yang mencari tahu kira-kira ada tidak korban dari Proyek Tol Pakdhe Jokowi. Ya siapa tahu ada.
Panjangnya bukan main lebih dari 1000 Km. Dibangun oleh Herman Willem Daendels. Boleh juga bila menyandingkan Pakdhe Joko dengan Mas Daendels. Cuma perbedaan tentu pribumi dan Londo. Kulit sawo matang dan putih.
Kalau 1.150 km ini mie ayam berapa besar mangkuk yang harus dibuat untuk menampung mie ini? Jawabannya tidak ada, Abang penjual mie ayam yang sanggup menyediakan, ngayal aja
Miris jalan kampungku dan Embah keadaan rusak tidak karuan. Kadang hasil panen tidak bisa diangkut apabila hujan turun. Hasil panen terpaksa harus segera dipikul bila kendaraan roda dua tidak bisa masuk. Bila mau nekat motor bisa tinggal kerangka saja, sebab medan mirip arena off road. Hujan yang datang membuat tanahnya bletok (licin berlumpur).
Saya hanya kasian Embah bisa saja kepreset. Kasian terhadap nasib kawan-kawan Embah dikampung. Padahal kebutuhan pangan nasional bermuara dari sawah Embah di kampung bersama Pak Bejo dan kawan-kawanya. Tak kalah beban dan tanggungjawab yang besar diemban oleh Embah di sawah.