Lihat ke Halaman Asli

Seribu dan Satu Malam

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lebih dari 1000 malam kita sudah saling mengenal tetapi satu malam cukup merubah semuanya. Aku masih bisa mengingat udara sejuk malam itu, sebuah malam musim panas di London. Musim panas tentu saja merupakan musim yang paling digemari oleh semua penduduk kota Inggris ini. Udara London sangat terkenal dengan hujan gerimisnya yang membuat semua aktivitas sehari-hari kita tampak sangat menggulamkan. Tetapi, musim panas menjanjikan paling banyak hari kering tanpa hujan. Suhu udaranya pun sangat nyaman untuk berjalan dengan baju tangan pendek tanpa kelembaban yang sangat mengukung seperti yang sering aku alami di Jakarta.

Kita berdiri di pinggir sungai, memandang sungai Thames yang tampak sangat tenang. Ada alunan suara ombak yang halus, seperti nyanyian merdu yang mengantar manusia ke dunia mimpi. Hanya ada beberapa orang lain di sekitar kita, tentu saja karena saat itu sudah hampir tengah malam. Saya mengerti perkataan dunia hanya seperti milik kita berdua. Kita berdiri menatap ke sungai panjang yang meliuk membagi kota London. Kegelapan sungai itu melahap semua cahaya di kota yang penuh hidup di siang hari; seperti bagaimana suasana itu menyerap semua emosi kita. Aku mencoba mencuri pandangan ke arahmu, terpukau dengan keagunan dan kecantikan wajahmu saat itu. Ada seribu kata yang ingin meledak dari dalam diriku tetapi tak satu suarapun bisa kudengar.

Kemudian aku melihat setitik air mata dari matamu yang selalu penuh energi.

§

Malam itu dimulia ketika kita bertemu di service apartmentmu, menikmati makan malam yang kamu buat. Kalau tidak salah kamu membuat spaghetti Bolognese. Memang spaghetti itu tidak seenak masakan restoran berbintang Michelin, tetapi aku sangat menikmati memakan semua hidangan yang kamu masak. Sebagai seorang ‘pelajar perantauan’ aku tahu betapa susah membuat makan malam. Memang ketika kita tinggal dengan papa mama, kita tidak pernah berpikir seberapa banyak energi dan perhatian yang dicurahkan oleh mama untuk membuat makanan yang paling sederhana. Jadi, upayamu membuat makan malam itu sungguh berkesan di hatiku.

Kita duduk di sofamu. Jari kita bersentuhan ketika kamu memberikan piringku. Aku ingin terus menyentuh jarimu tetapi aku langsung menarik tanganku. Tiba-tiba aku merasa seperti seorang remaja lagi yang sedang pergi berkencan pertama. Aduh, kenapa jadi begini perasaanku? Kita sudah berumur 25 tahun sekarang dan aku sudah berpacaran selama 5 tahun!

Kita berbicara tentang hal-hal kecil yang terjadi dalam beberapa hari sejak kita bertemu terakhir kali. Setelah makanan kita selesai, kita pun menyuci piring-piring dan kuali. Kemudian kamu membawa sebuah kardus yang berisi saos-saos dan bumbu-bumbu kering. Kamu bilang barang-barang ini tidak akan bisa kamu bawa pulang dan kamu akan menghibahkan mereka kepadaku. Aku tersenyum dan menyatakan terima kasihku.

Kita kemudian berjalan ke rumahku karena kamu ingin membantuku membawa barang-barang ini. Sejujurnya, kardusmu sama sekali tidak berat. Tetapi, mana mungkin aku akan menolak sejam lagi mengobrol denganmu; menikmati senyummu yang begitu segar dan tertawamu yang sangat tulus. Aku rasa aku tidak berkata banyak dalam perjalanan itu. Terlalu banyak hal berputar dalam kepalaku dan aku sudah mempunyai masalah untuk berfokus pada perkataanmu. Kita sampai ke rumah yang aku sewa. Harga sewa di London sangat mahal dan ketika itu aku hanya bisa menyewa sebuah kamar di rumah yang dihuni oleh 4 orang lain itu.

Setelah kita menaruh barang-barangmu kita berjalan kembali ke apartemenmu. Dalam perjalanan balik, kepalaku kembali dibajak oleh kenangan-kenangan masa lalu kita.

§

Kita pertama kali bertemu 10 tahun; dua burung ABG yang baru saja terbang dari sarang kita dan memulai hidup baru di negara tetangga. Kita saling mengenal melalui teman-teman kita. Pada saat itu tidaklah susah mencari teman satu negara. Kelompok kita sering bertemu hampir setiap akhir minggu. Aku masih mengingat betapa seru waktu-waktu yang kita habiskan bersama grup kita. Tentu saja ini karena kita mempunyai teman-teman yang sungguh sangat unik, ada beberapa orang dari daerah yang, sayangnya, sering kita ejek karena logat mereka yang kental. Ada juga beberapa musisi yang selalu membawa kecerian dalam pertemuan kita dengan gitar dan nyanyian mereka, apalagi ketika kita bermain di pantai. Ada juga beberapa olahragawan yang selalu memukau anak-anak cewek di grup kita dengan permainan basket mereka.

Saya rasa saya merupakan salah seorang ‘anak biasa dan membosankan’ dalam grup itu. SMP saya di Indonesia hanya dipenuhi oleh anak-anak cowok. Ketika hormon dalam badan saya bergulat dengan kuatnya, saya sama sekali tidak tahu bagaimana harus berinteraksi dengan lawan jenis saya. Oleh karena itu saya sangat kikuk ketika berbicara dengan teman-teman cewek saya yang lain. Saya tidak bisa bermain alat musik apapun dan olah raga yang saya gemari tidak menarik ke cewek-cewek dalam grup kita. Anak cewek ABG mana yang akan suka hiking dan menginap di dalam tenda yang bau?

Ketika itu saya hanya mengingat kamu sebagai salah satu anak cewek yang penuh hidup, sedikit jahil, dan sangat pintar. Kamu sering menggoda kami semua dengan lelucon-leluconmu. Tentu saja sebagai anak ABG, saya tertarik dengan eksternalitas. Saya hanya ingat kamu sebagai seorang teman yang lumayan menarik, tetapi tidak pernah terlintas kata ‘cantik’ dalam benakku saat itu. Ini bukan berarti kamu tidak populer. Waktu itu ada beberapa teman kami yang selalu mengejarmu. Tetapi, kamu sangat dewasa dan tenang dalam menjaga jarak dengan kami, kaum hawa.

Tentu saja kelompok kami lumayan besar dan ada banyak anak-anak cewek lain yang menarik perhatianku. Ada satu teman yang selalu menyebabkan kegalauan hatiku saat itu. Ini adalah ‘cinta’ ABG pertamaku. Saya selalu terkesima di hadapan temanku yang satu ini, sebutlah si A. Di depan mataku saat itu A adalah salah satu cewek tercantik, terbaik, terideal, dan superlative ter- lainnya, yang pernah aku temui. Ketika aku berbicara dengan dia, lidahku seperti lumpuh dan aku akan terpaku di tempat. Bagaimana aku bisa mengungkapkan perasaanku ini? Aku sering menulis perasaanku akan A dalam surat-surat yang tidak pernah aku kirimkan.

Ini sangat berbeda dengan pengalamanku bersamamu. Kita selalu bisa mengobrol dan saling mengejek dengan mudahnya. Pemikiranmu yang tajam selalu bisa memikat perhatianku. Emosi kamu juga sangat stabil sebagai seorang remaja dan kamu sering memberi beberapa nasihat kepadaku tentang A. Tetapi, aku bisa mengingat dua tahunku bersama grup kita sebagai sebuah bencana emosi. Aku mencoba membendung perasaanku tentang A dan dia kemudian meninggalkan kota kita untuk belajar di negara lain.

§

Pikiranku kembali ditarik ke perjalanan kita ke apartemenmu. Kamu mulai bercerita tentang apa yang kamu lakukan hari itu; bagaimana kamu sangat sibuk mencoba menutup akun bankmu dan membereskan dokumenmu sebelum meninggalkan London selamanya. Aku kembali tersenyum dan menikmati suaramu. Suaramu memang sangat indah dan kamu merupakan salah satu penyanyi terbaik dalam grup kita.

Aku merasa agak bersalah tapi sejujurnya aku tidak terlalu fokus ke dalam perbincangan kita saat itu. Dalam otakku sebuah pikiran lain bergumal. Kenapa saya tidak pernah suka kepada kamu ketika kita masih muda?

§

Agama dalam keluargaku memainkan peran yang sangat besar. Aku selalu pergi ke sekolah Katolik seumur hidupku sampai sekolah menengah. Aku sangat aktif di gerejaku dan merupakan seorang misdinar atau pelayan altar. Tentu saja sebagai seorang misdinar saat itu aku mempunyai beberapa motif yang kurang luhur, seperti melihat cewek-cewek lain yang datang ke gereja. Tetapi, sejujurnya, imanku merupakan sebuah pilar yang sangat kokoh. Aku sangat senang mendalami segi filosofi agamaku dan aku sering membaca Santo Agustinus dan tulisan Bapa-bapa Gereja lain.

Tentu saja ini tidak berarti aku tidak mempunyai teman-teman dari agama dan keyakinan lain. Bahkan dalam grup kami saat itu ada banyak teman-teman dari agama lain. Aku sama sekali tidak mempunyai masalah bermain dan membagi hidupku dengan mereka. Tetapi, pilihan pacar merupakan sebuah hal lain yang sangat berbeda.

Indonesia di masa remajaku, dan mungkin sekarang, merupakan sebuah masyarakat yang agak munafik. Kita terus menyumbar-nyumbarkan Pancasila dan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an. Masyarakat majemuk yang bekerja sebagai satu. Aku tumbuh di antara idealistik nasionalitas ini dan sangat menjunjung faham-faham Pancasila. Bahkan, ketika masih menjadi murid SD aku pernah mewakili sekolahku berkompetisi dalam perlombaan P4. Sekarang aku tidak bisa mengingat kepanjangan P4, selain sesuatu tentang pendidikan, penataran dan mungkin pemahaman Pancasila. Ini hanya memperlihatkan bahwa aku hanyalah seorang kutu buku!

Tetapi, dalam masa kecilku, orangtuaku menyiratkan betapa susah hidup berkeluarga apabila pasangan suami istri itu tidak menganut agama yang sama. Ini bahkan berlaku antara agama Katolik dan Kristen. Tentu saja sebagai seorang anak ABG yang terlalu baik, calon pacarku harus bisa melulusi kualifikasi menjadi calon istri. Kalau aku pikir sekarang, seakan-akan hidup mudaku itu dipenuhi oleh dogma-dogma kemunafikan dan otakku seperti dicuci dari muda. Jangan salah sangka, kedua orang tuaku itu merupakan orang-orang terbaik dan penuh ahklak. Dan aku benar-benar cinta mereka. Tetapi, aku rasa mereka juga sudah dicuci-otak oleh orang tua mereka atau oleh lingkungan hidup mereka saat itu.

A juga beragama Katolik.

Tentu saja kamu adalah seorang penganut Kristen yang sangat taat. Pengertianmu akan iman Kristiani sangat mendalam dan aku benar-benar mengagumimu untuk itu. Kita dulu sering pergi ke gereja Kristen dan Katolik dengan teman-teman kelompok kita. Aku sangat menikmati diskusi kita tentang iman Kristiani. Bahkan kita pernah melakukan satu-dua aktivitas Kristen bersama.

Tetapi, untuk persona ABGku yang terlalu kukuh, dan agak bodoh, dalam pendirianku, hampir tidak mungkin aku bisa tertarik kepadamu saat itu.

§

Setelah berjalan selama 15 menit dan terhanyut dalam perbincangan kita (kamu berbincang aku mendengarkan dan melamun), kita akhirnya sampai di pinggir sungai Thames. Kita berdiri di belakang pagar dan menatap ke permukaan sungai yang agak bergolak. Masing-masing terhanyut dalam pikiran kita selama beberapa menit. Persahabatan kita sangat dalam sehingga kita merasa sangat nyaman menikmati kesunyian malam berdua. Kita tidak selalu perlu berbicara untuk merasa nyaman berdua.

Dengan ditemani angin sungai yang menyejukkan itu, pikiranku kembali melayang ke 3 bulan yang lalu, ketika kamu baru tiba di London. Kamu baru saja ditransfer untuk bekerja sementara di London. Industrimu memang penuh dengan kekayaan dan mereka bisa membiayai hidupmu dengan nyamannya di London. Pada awalnya aku menyambutmu sama seperti teman-temanku lain yang sedang berkunjung ke London. Kita bertemu satu-dua kali untuk makan malam dan saya membawamu berjalan memutari London.

Tetapi, beberapa hal berubah ketika mamaku datang berkunjung 3 minggu yang lalu. Aku mengundangmu untuk makan malam dengan mama. Tanpa disangka, kalian langsung menempel seperti perangko. Ada banyak topik yang masuk ke dalam perbincangan kalian. Aku juga pelan-pelan mengetahui tentang dinamika kompleks dalam keluargamu, sesuatu yang tidak pernah aku ketahui walaupun kita sudah bersahabat selama 10 tahun.

Kita menghabiskan lebih banyak waktu lagi dengan mama saya, seperti ketika kita pergi ke sebuah taman di dekat apartemenmu. Aku benar-benar menikmati senyum dan tawamu ketika melakukan pose-pose aneh dengan mamaku. Dalam kesempatan lain kami mengunjungi apartemenmu yang sangat mewah. Kamu memperlihatkan kasurmu yang dipenuhi dengan bulu angsa. Kami tidak akan pernah lupa bagaimana kamu melompat ke atas kasurmu dan mengundang mamaku untuk melakukan hal yang sama. ‘Ayo Tante, ini halus sekali loh,’ katamu mencoba meyakinkan mama untuk ikut merebahakan badan di atas kasurmu. Aku tidak bisa menahan tawaku.

Mama kemudian kembali ke Indonesia. Saat itu kamu hanya mempunyai sekitar 2 minggu di London sebelum terbang meninggalkan London selamanya. Sejak mama pergi, aku lebih banyak menghabiskan waktu denganmu. Aku datang beberapa kali ke rumahmu untuk makan malam bersama. Pada saat itu kamu mulai menceritakan kehidupanmu sejak aku pergi ke London untuk belajar di sini.

Kamu bertemu dengan pacarmu di tempat kerja. Dia merupakan seorang archetypical ‘romantic gentleman’. Kamu memperlihatkan foto-foto perjalanan kalian di Eropa sejak kamu bekerja di London. Kamu juga bercerita bagaimana pacarmu mengirimkan sebuah rangkaian bunga dan balon yang sangat besar ketika kamu merayakan ulang tahunmu sendirian di London, seolah-olah memberikan peringatan kepada cowok-cowok lain bahwa kamu sudah ‘dimiliki’. Aku selalu berpikir, wow, cowok ini sungguh sangat hebat dan sangat berbeda dengan diriku yang sama sekali tidak romantis!

Tetapi, yang sangat mengagumkan, kamu bercerita bagaimana pacarmu berusaha sangat keras untuk menjadi penganut Kristen. Dia sangat tekun belajar agama Kristen dan mempersiapkan dirinya untuk dibaptis. Aku tahu bahwa kamu tidak akan pergi ke atas altar dengan seorang non-Kristen. Aku berpikir betapa dekatnya hubungan kalian ke tali perkawinan.

Betapa dekatnya.

§

Cinta kadang-kadang merayap ke dalam hidup kita seperti seorang pencuri yang masuk ke dalam rumah di malam hari. Tanpa aku sadari, aku sangat menikmati saat-saat yang kita habiskan bersama. Aku sangat menikmati masakanmu dan juga perbincangan-perbincangan kita. Aku merasa sangat nyaman duduk di sofamu dan mendengarkan bagaimana menariknya perjalananmu ke Italia atau betapa kagumnya bosmu di London atas kerjamu, bahkan sampai menawarkan perpanjangan kontrakmu untuk tinggal di London. Tetapi, yang paling penting, aku sangat menikmati memandang wajahmu yang berseri-seri ketika berbicara dan tawamu yang sangat jernih.

Aku benar-benar tidak tahu apa yang aku rasakan saat itu. Hari-hari sebelum kamu meninggalkan London, aku tidak tahu bagaimana harus berpikir. Aku menyayangi pacarku dan hubungan kami sudah berjalan selama 5 tahun, walalupun penuh dengan masalahnya sendiri. Tetapi, aku pada dasarnya adalah seseorang yang sangat loyal, baik kepada teman dan terlebih lagi kepada pacarku. Aku sayang pacarku dan, bahkan, aku tahu bahwa kemungkinan besar aku akan mengajaknya membangun rumah tangga bersama.

Jadi bagaimana aku harus berpikir? Hari-hariku disiksa dengan kebingungan. Pada saat itu aku berkata kepada diriku sendiri untuk hanya menjalankan hidupku, menikmati waktuku denganmu, dan melewati hari ke hari tanpa terlalu banyak berpikir.

§

Oleh karena itulah aku tidak tahu bagaimana harus bertindak ketika aku melihat air matamu. Aku sangat ingin memeluk dirimu saat itu, untuk mencurahkan isi hatiku kepadamu. Aku ingin berkata, mari kita lupakan orang-orang lain yang kita cintai dan hanya menghabiskan malam ini berdua. Aku hanya perlu satu malam dari dirimu untuk menumpahkan perasaanku ini. Hanya satu malam memegang tanganmu dan memeluk dirimu, merasakan kedekatan jiwamu, sebelum hidup kita masing-masing berlanjut.

Tetapi, aku hanya berkata ‘Kenapa kamu menangis?’

Kenapa aku masih menjadi seorang pengecut yang tidak bisa memelukmu saat itu? Sampai sekarang aku terus memberi tahu diriku bahwa ini adalah jalan hidup yang paling tepat. Aku terus mengingatkan diriku bahwa kehidupan 4 orang dapat dengan mudahnya kurusak dengan satu perbuatan egois dari diriku.

Aku mundur dari pertarungan tanpa berjuang.

Kamu berkata kamu sangat sedih meninggalkan pengalaman-pengalaman indahmu di London.

Aku tidak sempat bertanya apakah peranku di dalam pengalaman indahmu. Aku hanya memberikan rangkulan singkat, sebagai seorang teman.

Aku hanya tersenyum, kembali mengelum senyum seperti pengecut-pengecut yang lain.

§

Sebagai seorang kutu buku sejati aku selalu terkesan dengan Quantum theory, terutama dengan sebuah konsep yang digagas oleh Schrodinger, yang biasanya disebut Schrodinger’s cat. Dalam eksperimen mental ini, Schrodinger menaruh sebuah kucing di dalam kotak dan memasukkan moncong senapan ke dalam kotak itu. Picu senapan itu adalah sebuah material radioaktif yang mempunyai kemungkinan meledak sebanyak 50%. Apabila material radioaktif meledak, kucing itu akan mati. Sebagai pengamat, kita tidak tahu apakah senapan itu ditembak atau tidak. Kita hanya tahu nasib kucing itu kita kotaknya dibuka. Jadi, sebelum kotak itu dibuka, kucing Schrodinger ini hidup dan mati. Gelombang kemungkinan (probability wave) hidup atau mati akan melebur menjadi satu realitas hanya ketika kotak itu dibuka.

Seperti Schrodinger’s cat, aku merasa malam itu di pinggir sungai Thames sebagai pembukaan kotak dalam hidupku. Sebelum malam itu ada banyak kemungkinan yang selalu bergulak dalam pikiranku sampai saat ini. Ada banyak kemungkinan di mana hidup kita masing-masing berubah dan mungkin kisah hidup kita akan menjadi sebuah legenda manis.

Tetapi, kotaknya sudah dibuka dan seribu malam penuh kemungkinan dan fantasi sudah melebur menjadi satu malam. Dalam realitas ini aku membuka laman facebookmu dan melihat foto sebuah cincin yang sangat cantik. Selamat, aku tulis di lamanmu. Betapa satu malam itu tidak bisa kuhapus dari pikiranku.

London 26/05/14 1000 GMT




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline