Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Hari Hujan di Bulan November

Diperbarui: 4 November 2017   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Bulan November membawa pesan tentang Desember yang semakin dekat: sayup-sayup tahun baru yang berisik, juga botol bir, juga rokok, juga gelak tawa yang tak lucu. Masih banyak atribut-atribut yang harus kau cari  untuk dikenakan pada permulaan Januari yang semakin gersang, tapi kau malah merangkai kisah dari potongan-potoingan tempat di kota lain, kota yang jauh dari tempatmu sekarang, yang menjadi ganjil dengan sendirinya karena engkau sudah berangsur-angsur lupa pada detail-detail yang pernah kau susuri sebelumnya; bertahun-tahun yang lalu.

            Dan, saat kau telah benar-benar menyatukan semuanya menjadi semacam lukisan yang utuh, kau membuangnya ke api pembakaran. "Sampah harus dibuang pada tempatnya," katamu dengan puas.

            Di seberang mejamu, ada yang tertawa melihat raut wajahmu yang seperti anak kecil sedang membunuh semut. Tapi, sebelum sempat menjadi diri sendiri, ada arus yang begitu kusam meluncur ke arahmu, kau tenggelam dengan sendirinya dalam suatu kebimbangan yang tak pernah genap. Dengan segera, November telah membawamu pada sebuah rindu yang selalu kau coba sisihkan.

            Wanita yang tadi menertawaimu meraih ujung jari manismu, kamu segera sadar dan berusaha menarik jiwamu kuat-kuat. Kebimbangan hilang dengan sendirinya; ia menolongmu. Tapi, tak ada terima kasih yang terucap, engkau malah membuang muka karena merasa tak ada hal yang harus didiskusikan. Peristiwa itu tercerai begitu saja dalam waktu yang semakin pendek. Wanita itu kembali ke tempat duduknya dengan langkah yang anggun. Kau tidak tertarik sama sekali.

            Engkau sekali lagi fokus mencari apa yang tepat untuk mengakhiri Desember dan menyambut Januari dengan sempurna. Tapi, hujan di luar kafe ini membuatmu bergeming. Alhasil kau mengakhiri pencarianmu dengan desah napas yang amat panjang.

            "Setiap hari, aku terus berusaha mengambil waktu sebanyak-banyaknya agar tetap diakui sebagai seorang manusia berguna dan bisa tersenyum puas melihat Desember yang terakhir. Tapi, November menjadi semacam pembatas yang berisi banyak kegugupan. Tujuanku jadi melayang-layang tak karuan dan aku merasa memiliki sebuah kehidupan yang hambar," keluhmu, "Ya, setidaknya aku tak memiliki kehidupan yang sulit." Engkau menghibur diri sendiri dengan mantra yang sebenarnya belum pernah memberimu kebahagiaan sejati.

            Terdengar suara serak dari vokalis band yang tak kau kenal. Nada-nada yang pertama kali kau tangkap dan lirik-lirik yang sebenarnya tak terlalu kau mengerti  membuatmu bingung. Lalu kamu melayangkan pandang pada sekeliling caf, semua orang menggerakan tubuh dengan seirama. Engkau merasa menjadi orang dungu yang tak tahu apa-apa. Kau pun membuang pandang ke arah jalan yang lenggang.

           

            Dari situ lampu merkuri yang telah ketinggalan zaman memperlihatkan keberadaan kota yang jauh. "Kota itu datang lagi, bangkit dari abu." Di sana, ada ibumu yang sedang menanak nasi, adik perempuanmu membaca kitab suci, adik laki-lakimu menggambar babi, dan ayahmu yang sedang berbasa-basi. Walau semua itu hanya menjadi bayang-bayang hitam dari cahaya yang muram, tapi sudah cukup membuatmu ingin pulang.

             "Rindu ini sia-sia." Engkau menyesali jarak yang tidak bisa kamu potong begitu saja.

            "Aku sedang menunggu seseorang yang sepertinya tak jadi datang," kata perempuan yang tadi menolongmu keluar dari ingatan yang bisa mencengkrammu dalam kenihilan yang lama. Kamu tetap tak menanggapinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline