Lihat ke Halaman Asli

Bayu Wira Pratama

Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Hidup di Masa Ambyar ala Imam Hanafi (2)

Diperbarui: 20 Desember 2022   12:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: asia.si.edu

Siapa yang tak mengenal Abu Hanifah alias Imam Hanafi? Seorang imam mazhab yang memiliki intelektualitas tinggi dan teguh memegang ajaran-ajaran generasi emas umat Islam.

Abu Hanifah layak dijadikan teladan dalam menjalani kehidupan, terlebih lagi di masa ambyar seperti saat ini. Setelah kita membacanya dan memahaminya, kita menyadari bahwa kondisi sosial dan situasi zaman pada masa Abu Hanifah hidup tidak jauh berbeda dengan masa kini, dengan satu kata yang menyamakan keduanya: "ambyar."

Di bagian pertama, kita telah mengetahui beberapa peri hidup Abu Hanifah dalam menjalani kehidupan ambyarnya, mulai dari tidak membeda-bedakan orang berdasarkan ras atau bangsanya, memberikan porsi yang seimbang antara dunia dan akhirat (berdagang ya, belajar agama dan beribadah ya), melakukan diskusi ilmiah secara sehat tanpa ada kata-kata kasar yang terucap atau merasa paling benar, dan lain sebagainya.

Di bagian kedua kali ini, masih terdapat beberapa lagi peri hidup sang imam yang layak dijadikan teladan bagi kita.

7. Agama itu jangan dibuat-buat mudah, jangan pula dibuat-buat susah

Dalam beberapa fatwanya, Abu Hanifah mengemukakan fatwanya dengan semudah-mudahnya tapi tetap berbobot. Agama itu bukanlah beban bagi manusia, melainkan sebuah karunia dari Allah. Di antara fatwanya adalah keraguan tak akan menghapus keyakinan. Ambil contoh seseorang yang sudah memiliki wudhu, lalu ragu bahwa dirinya sudah terkena hadas, maka ia tidak batal, karena keraguan tidak membatalkan keyakinan.

Abu Hanifah juga mengemukakan bahwa selama seseorang masih beriman kepada Allah dan rasul-Nya, tidak boleh dianggap kafir (suatu hal yang banyak terjadi di zamannya, dan masih terus terjadi hingga saat ini!).

8. Jangan pernah merasa tidak butuh belajar lagi

Ilmu itu luas, padahal itu baru ilmu makhluk. Lantas bagaimana dengan ilmu Allah? Bak lautan tak bertepi. Ibarat umat manusia hanya dapat mengambil segelas saja dari lautan tak bertepi itu. Maka, untuk apa kita merasa sombong atas ilmu yang dimiliki? Bukankah setinggi-tingginya ilmu seseorang, tetap akan ada ilmu yang belum dan tak mampu dipelajarinya? Masing-masing orang telah diberikan minat dan bakatnya masing-masing. Ada yang ahli di bidang pertanian, ada yang ahli di bidang hukum, ada yang ahli di bidang kelautan, ada yang ahli di bidang agama, dan lain sebagainya.

Ketika Abu Hanifah dipaksa untuk memegang jabatan dalam pemerintahan karena dianggap telah menggapai seluruh ilmu dan tak perlu belajar lagi, dengan tegas beliau menjawab, "Barang siapa merasa tidak membutuhkan ilmu, hendaklah ia menangisi dirinya!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline