Lihat ke Halaman Asli

Bayu Wira Pratama

Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Hidup di Masa Ambyar ala Imam Hanafi (1)

Diperbarui: 7 Desember 2022   11:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Wikipedia.com dan Pinterest.com

Tidakkah kita merasa, kehidupan saat ini begitu absurd? Keseharian ini dipenuhi dengan berbagai kecemerlangan, juga dipenuhi berbagai kegelapan. Begitu banyak kebaikan manusia yang tersebar dalam berbagai ucapan, tindakan, atau bahkan 'gerakan' hati. Tapi, begitu banyak pula keburukan manusia dalam lingkup yang serupa. Membuang sampah pada tempatnya digalakkan, tapi membuang sampah di sungai tak terlepaskan. Menghabiskan malam dengan ibadah atau sekurang-kurangnya tidur nyenyak (Tsuneko Nakamura, seorang psikiater Jepang dengan karyanya, Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan, bahkan menyatakan tugas kita di malam hari adalah tidur nyenyak!), di sisi lain masih marak sebagian saudara kita yang malah balapan liar dan mengganggu kenyamanan warga. Dan, tak perlu disebutkan lebih banyak lagi, kurasa? Mudah saja untuk mencari permisalan serupa.

Media sosial yang terus kita buka dan update setiap waktu, juga tak luput dari kenyataan yang membingungkan sekaligus memberikan inspirasi. Tak perlu menyebutkan nama, karena setiap aplikasi tetap saja akan memiliki good side dan bad side, tak ubahnya dengan sebuah kota, sebagus apa pun, seinspiratif apa pun, sekreatif apa pun, semakmur apa pun, tetap akan ada sisinya yang kurang. Setiap kota memiliki dua wajah: Yang terlihat dan tak terlihat, tulis Eric Weiner dalam The Geography of Genius. Sama seperti diri kita. Karena kita bukanlah orang yang maksum, terbebas dari salah dan dosa.

Dalam menjalani dan menyongsong kehidupan yang semakin absurd ini, kita harus berontak. Aliran dunia ini begitu deras, dan kita sudah telanjur mendayung di dalamnya. Menurut Albert Camus, kita harus menghadapi hidup dengan berani, tak perlu takut terhadap kematian yang akan datang kapan pun tanpa ada siapa pun yang tahu. Berani ini, kurasa adalah salah satu cara mempersiapkan kematian yang baik, karena hidup berani adalah hidup yang baik. Tentu berani ini hanyalah sebuah kata netral, bergantung kepada subjek yang memakai kata berani tersebut, apakah berani yang bernilai positif ataukah negatif.

Hidup ini selain absurd, kurasa juga ambyar. Berpandu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ambyar adalah bercerai-berai, berpisah-pisah, atau tidak terkonsentrasi lagi. Ya, begitu pula kenyataan hidup saat ini. Oh, tidak, sejak dulu. Aku akan menariknya hingga ke masa hidupnya generasi emas umat Islam, yaitu tiga generasi awal (sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in), atau yang sering disebut dengan Salaf Ash-Shalih.

Kenyataan hidup pada zaman mereka, ternyata tidaklah jauh berbeda dengan masa kini. Pada masa itu, terjadi perluasan wilayah Islam yang sangat besar, mencapai Spanyol di Barat, Rusia di Utara, pedalaman Afrika di Selatan, dan India di Timur. Banyak orang berbondong-bondong masuk Islam. Pengkajian ilmu-ilmu keislama berkembang pesat. Dan lain sebagainya.

Tapi, zaman itu pula adalah zaman dimana kekuasaan Islam dipimpin oleh sebagian pemimpin yang jauh dari nilai-nilai Islam, suburnya para penjilat mereka -baik dari kalangan elite ataupun ulama-, hingga cara berpikir yang kaku dan tidak menerima perbedaan pendapat, bahkan sampai taraf hukuman kafir dan ancaman pembunuhan.

Zaman seperti itu, dilalui oleh salah seorang imam agung yang kita kenal sebagai salah satu imam mazhab, yaitu Imam Hanafi (Abu Hanifah; Nu'man bin Tsabit. Mulai sekarang, aku akan menggunakan Abu Hanifah saja). Salah satu ciri khas Abu Hanifah adalah penggunaan akal (rasio) sebaik mungkin, dalam rangka memudahkan dan menjelaskan syariat, juga membebaskan manusia dari kejumudan berpikir alias hanya sekadar "terima jadi."

Berikut ini adalah beberapa hikmah dan teladan dari Abu Hanifah dalam mengarungi kehidupan yang ambyar di masanya, dan begitu relevan dengan kehidupan ambyar kita saat ini.

1. Tak membeda-bedakan


Abu Hanifah sendiri berasal dari Persia, layaknya Salman Al-Farisi. Namanya, Nu'man, diambil dari nama seorang pemimpin Persia. Kenyataan ini ternyata menimbulkan kedengkian di hati sebagian orang dari bangsa Arab fanatik yang tidak suka melihat ada orang alim non-Arab. Orang-orang yang membela Abu Hanifah menyatakan bahwa sang imam berasal dari bangsa Arab. Tapi, Abu Hanifah sendiri merasa tidak senang dengan pembelaan mereka. Beliau benar-benar teguh mengikuti ajaran Rasulullah dan sahabat. Apakah ditemukan fakta bahwa Rasulullah bersikap pilih kasih antara Umar bin Khattab dari bangsa Arab, dengan Bilal bin Rabah dari bangsa Afrika, dan Salman Al-Farisi dari bangsa Persia? Sebagaimana tertuang dalam Al-Qur'an, semua bangsa berkedudukan setara di hadapan Allah. Hanya satu aspek pembeda: Kadar ketakwaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline