Di tepi sungai Siak, sungai terdalam di Indonesia yang juga membelah kota Pekanbaru terdapat kampung wisata yang bernama Kampung Wisata Kampung Bandar.
Di kampung wisata ini masih terdapat berbagai macam peninggalan sejarah kerajaan Siak, di antaranya, rumah singgah Sultan Siak, raja dari kerajaan besar yang pada abad ke 17 sampai 18 menguasai selat Malaka, tugu nol km, sebuah tugu yang menjadi bukti pembuatan jalan lintas antara Pekanbaru-Bangkinang- Payakumbuh yang dibuat pada zaman Belanda, tahun 1920 sampai 1922, dan rumah tenun yang berada di sebuah rumah berarsitektur Melayu yang dibangun pada tahun 1887. Rumah melayu tua ini milik H. Yahya yang pada zaman itu merupakan pengusaha karet.
Di dalam rumah tenun, setiap hari akan terdengar gemeratak suara dari alat tenun. Alat tenun ini menjadi ujung tombak komunitas swadaya di Kampung bandar untuk membuat songket Siak. Rumah tenun Kampung Bandar adalah salah satu pengrajin songket l yang ada di Pekanbaru. Dimulai dari pagi hingga sore hore. Penenun perempuan di rumah ini mengubah benang berwarna warni, benang emas, dan dan benang perak menjadi kain-kain songket. Mereka bernama Wawa Edinya dan Ruhaya. Dengan menggunakan tiga alat tenun bukan mesin/atbm. Mereka memenuhi pesanan yang berasal dari kota Pekanbaru bahkan Malaysia. Tanjak, syal, dan kain merupakan produk yang dihasilkan rumah tenun ini.
Motif pada songket Siak merupakan motif-motif yang rumit. Motif itu diantaranya adalah siku keluang, pucuk rebung,dan lebah bergayut. Karena motif yang rumit, harga dari songket yang dihasilkan mencapai jutaan rupiah. Rentang harga kain songket yang dijual di rumah tenun ini dari Rp 800.000 sampai dengan Rp 4.000.000.
Ruhaya, sedang menenun saat saya datang. Dia menjelaskan proses jadinya sebuah songket Siak. “Untuk mendapatkan 2.5 meter kain tenun Siak Dibutuhkan waktu 3 mingggu”. Menurut Ruhaya, “Bahan-bahan baku seperti benang emas berasal dari India dan ini dibeli di Singapura,” sambungnya. Dahulu, pada saat komunitas tenun ini dibentuk pada 2012 terdapat 7 orang penenun. Namun seiring berjalannya waktu tinggal dua orang saja yang tersisa dari komunitas ini. Tangan dan kaki Ruhaya begitu cekatan di alat tenun mesin.
Kehidupan para penenun songket ini sangat bergantung dengan pesanan yang datang. Meskipun kain songket yang mereka hasilkan memiliki mutu yang bagus. Namun dalam pemasarannya mereka masih sangat sederhana, mereka masih menggunakan promosi dari mulut kemulut belum memanfaatkan kekuatan sosial media dengan maksimal. Sembari tersenyum, Kak Ruhaya menjelaskan kepada saya “ Menenun ini sudah menjadi kehidupan kakak. Nikmati saja”.
Rumah Tenun Kampung Bandar, salah satu destinasi menarik di Pekanbaru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H