Merdeka!! Term ini jelas tak asing lagi dalam benak, rasa, hati, atau pun aksi, tindakan yang dilakoni dalam keseharian hidup sebagai warga negara Indonesia khususnya. Sebab, term merdeka telah menjadi sebuah buah pengetahuan, tatkala segenap publik Indonesia mempelajari dan menengok sejarah bangsa ini.
Lewat tutur kaum-kaum sesepuh secara turun-temurun hingga pembelajaran di bangku-bangku pendidikan, tentu tak lupa menyisipkan kata merdeka dan rentetan peristiwa penting di baliknya. Tujuannya, tentu saja untuk membangun spirit hidup kebangsaan yang nasionalisme dan patriotismenya harus selalu diancungkan.
Perayaan 17 Agustus tahun ini, kembali memutar kenangan untuk memekikkan kata merdeka itu. Kita diajak untuk me-review ingatan serta mengambil posisi hormat, akan jerih-payah para pejuang bangsa kita pada masa silam yang telah berjuang demi menyabet kata merdeka. Hal itu tentu selaras dengan ujaran Bung Karno: "bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya".
Pesan Bung Karno tersebut barangkali menjadi pesan klasik yang gemanya terus berwarna hingga saat ini. Namun, kita tak boleh menyangkal bahwa untuk perjalanan mengkonkretkan ujaran Soekarno tersebut, masih ada dalam taraf perjuangan yang juga masih dan harus terus direfleksikan, diperjuangkan, dan mesti dihidupi secara terus-menerus.
Perayaan Kemerdekaan kali ini boleh disebut sebagai perayaan yang sederhana. Kemeriahan untuk ada bersama menghormati para pejuang kemerdekaan mungkin ditantang oleh keberadaan Covid-19.
Ujaran Bung Karno: "bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawanannya"; tak sepenuhnya dikibarkan dan dijalankan dalam dan karena konteks dan kondisi saat ini. Namun, spirit untuk senantiasa mengibarkan dan menghidupi kemerdekaan (merdeka!) harus dan mesti selalu dihayati, dihidupi, serta dijalankan dalam kelangsungan perjalanan hidup kita, sebagai warga negara Indonesia.
Kita tentu ingat sebuah slogan heroik yang tampil pada awal masa kemerdekaan: "Merdeka atau Mati!". Banyak orang mengatakan bahwa pekikan tersebut merupakan pekik Bung Tomo melalui radio Surabaya, yang ingin membakar semangat para pejuang kemerdekaan pada 10 November 1945.
Spirit kemerdekaan (merdeka!) seperti yang dipekikan oleh Bung Tomo itulah, yang rasanya cukup cocok dan pas untuk direfleksikan dalam konteks keterbatasan perayaan kemerdekaan yang ke-75 kali ini. Bahwasannya Bung Tomo menghadirkan dua pilihan akan tindak dan rasa kemanusiaan: yang ingin merdeka atau mati.
Secara sepintas, tatkala kita ingin menyuguhkan pekikan Bung Tomo tersebut sebagai sebuah pertanyaan kepada sesama kita, tentu jawaban yang ditampilkan ialah merdeka. Mana mungkin orang memilih mati, karena memilih hal yang menggelap-gulitakan diri.
Term mati banyak diidentikan dengan hal yang gelap, keterpurukan, ketidaknyaman. Apabila orang memilih mati, maka ia akan tinggal, menetap dalam kondisi-kondisi tersebut. Untuk itu pilihan untuk mati akan dijauhi, apabila dipertanyakan: "merdeka atau mati?"
Pintasan pilihan yang demikian diharapkan terejawantahkan pula dalam aksi, praktek, hal konkret, yang diungkapkan dalam keseharian hidup. Sebab, pilihan untuk menjauh dari "mati" (memilih merdeka) banyak kali hanya sebatas pilihan, jawaban semata. Mestilah dibangun sebuah spirit yang harus konkret dijalankan, bahwa kita, sebagai warga negara Indonesia ingin "merdeka", memilih "merdeka".