Lihat ke Halaman Asli

Renaldi Bayu

I'm a Student of Accounting at Udayana University.

Memahami Salah Kaprah Pemahaman Tentang: Terorisme, Radikalisme, dan Intoleransi

Diperbarui: 25 Oktober 2024   01:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari sudut pandang pemikiran Kant dalam karya terkenalnya yakni Critique of Pure Reason, dalam bahasa Jerman nya Kritik der reinen Vernunft, terdapat gagasan bahwa Tuhan mungkin tidak memahami kebutuhan manusia dengan cara yang kita pikirkan. Itulah sebabnya mengapa manusia merasa perlu berdoa. Namun, Tuhan tidak memerlukan pujian atau bujukan. Tuhan itu bukan manusia. Jika Tuhan ada dan memiliki rencana yang telah ditentukan, maka apakah doa manusia akan mengubah rencana itu? Pertanyaan ini menyentuh inti hubungan antara manusia dan Tuhan dalam perspektif agama. Sebagaimana dikatakan oleh Presiden ke-4 Indonesia, Gus Dur, "Tuhan tidak perlu dibela." 

Pernyataan ini menggarisbawahi pemahaman bahwa Tuhan, sebagai entitas maha segalanya, tidak memerlukan pembelaan manusia. Jika kita terjebak dalam debat agama, saling hina, saling ejek atau superior agama, yang menganggap sebuah agama lebih tinggi dari agama lainnya. ini, kita mungkin berada di jalur yang mengarah pada pemikiran anti-demokrasi. Hal ini mengingatkan bahwa toleransi yang autentik harus melibatkan toleransi terhadap mereka yang beragama dan mereka yang tidak beragama. Setiap individu memiliki hak untuk menentukan dirinya sendiri, asalkan hak orang lain tidak dilanggar. 

Penting untuk disadari bahwa toleransi antar agama bukanlah hal yang mungkin secara langsung, karena agama dan iman adalah sesuatu yang final, akidah tidak dapat dipertukarkan. Dalam keadaan ini, istilah yang lebih tepat adalah toleransi antar umat di mana kita menghormati hak individu atau kelompok untuk menjalani kehidupan sesuai dengan keyakinan mereka, tanpa mencoba mengubah keyakinan tersebut.

Isu terorisme sebenarnya bukanlah fenomena baru. Ia telah ada sejak masa pascakemerdekaan di berbagai negara. Banyak orang beralih ke terorisme karena mereka menyadari bahwa mereka tidak mampu berperang secara konvensional baik dari segi militer, teknologi, maupun pengetahuan. Terorisme bertujuan untuk menyebarkan rasa takut, dengan kekerasan sebagai alat utama yang digunakan untuk memaksakan tujuan ideologis atau politik.

Gabriel Marcel, seorang filsuf eksistensialisme, menegaskan bahwa metode filosofis didalam pendekatan fenomena terorisme harus dimulai dari pengalaman konkret, bukan dari abstraksi. Semua fenomena dan diseminasi pemikiran harus berasal dari realitas nyata, bukan dari konsep-konsep transenden yang tidak terjangkau. Dalam pemikiran Marcel, manusia modern sering kali merasa terasing dari masyarakat, dan solidaritas autentik menjadi hal yang semakin sulit ditemukan. Terorisme, dalam kerangka ini, bisa dilihat sebagai bentuk ekstrem dari keterasingan manusia. Para pelaku teror tidak lagi merasakan solidaritas dengan komunitas mereka, sehingga mereka memilih kekerasan sebagai jalan untuk menanggapi perasaan keterasingan tersebut. Oleh karena itu, pencegahan terorisme tidak hanya harus berfokus pada penanganan teknis, pembinaan, penanggulangan tetapi juga pada upaya untuk membangun kembali ikatan solidaritas yang kuat di masyarakat.

Fanatisme bisa menjadi pintu masuk bagi seseorang menuju terorisme atau ekstremisme. Ketika seseorang mengakar begitu kuat pada keyakinan tertentu tanpa ruang untuk dialog atau kompromi, mereka bisa menjadi intoleran. Klaim kebenaran mutlak sering kali menjadi pendorong utama bagi terorisme. Dalam pandangan filsafat, kebenaran mutlak hanyalah klaim yang bergantung pada asumsi-asumsi yang terbatas.

Presiden Jokowi pernah menegaskan, "Jangan ada yang merasa paling benar sendiri, dan yang lain dipersalahkan. Jangan ada yang merasa paling agamis sendiri. Jangan ada yang merasa paling Pancasilais sendiri." Ucapan ini merupakan ajakan kepada seluruh warga negara untuk memoderasi tindakan dan pemikiran mereka. Fanatisme terhadap agama, ideologi, atau nilai-nilai lain, tanpa mempertimbangkan perspektif berbeda, hanya akan membawa kita pada kebencian dan kekerasan.

Generasi muda perlu menumbuhkan pikiran kritis terhadap fenomena sosial. Penerimaan doktrin tanpa pertanyaan dan keengganan untuk menerima perspektif yang berbeda dapat menimbulkan kebencian dan ancaman bagi keragaman.

Terorisme memiliki akar yang kompleks dilihat dari genealoginya, dengan sejarah yang mencakup berbagai motivasi politik, agama, dan etnisitas. Terorisme politik adalah salah satu bentuk paling awal, di mana kekerasan digunakan untuk mencapai tujuan politik seperti menggulingkan rezim atau memaksa perubahan kebijakan. Sebagai contoh, gerakan anarkis pada akhir abad ke-19 sering kali melakukan serangan terhadap pemimpin negara dan pejabat tinggi. Sementara itu, terorisme agama mengalami peningkatan pada akhir abad ke-21 dengan munculnya kelompok-kelompok seperti Al-Qaeda dan ISIS, yang menggunakan kekerasan untuk menciptakan tatanan ilahi di bumi, sesuai dengan pandangan eskatologis mereka.

Di sisi lain, terorisme berbasis etnis sering kali terkait dengan perjuangan kemerdekaan, seperti yang dilakukan oleh ETA di Spanyol atau Tamil Tigers di Sri Lanka. Terorisme etnis sering kali merupakan bagian dari upaya untuk memisahkan diri dari negara dominan dan mendirikan negara yang terpisah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline