[caption id="attachment_412182" align="aligncenter" width="600" caption="Masjid Manarul Ilmi. (Bayu M. Wicaksono)"][/caption]
Masjid Manarul Ilmi sebagai satu-satunya masjid di kawasan kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menggunakan banyak air dalam operasionalnya. Sedikitnya 25—30 m3 air setiap hari dipakai jemaah untuk bersuci. Tidak heran, pemeluk agama Islam di antara 20.071 sivitas akademika ITS beribadah di sana. Ketika hari Jumat, kebutuhan air bahkan mencapai 45—50 m3.
Selain untuk bersuci, air juga diperlukan untuk menyirami tanaman di sekitar masjid yang dikenal cukup rindang itu. Seluruh air itu awalnya dipenuhi dari jaringan pipa PDAM Surabaya. Semakin lama, kapasitas air dari PDAM tidak lagi mencukupi.
Pada tahun 2013 bertepatan dengan renovasi tempat wudhu masjid, timbullah inisiatif dari panitia pembangunan untuk mendaur ulang air bekas wudhu untuk keperluan menyiram tanaman. Proyek tersebut dipimpin oleh Ir. Asjhar Imron, M.Sc., M.S.E., PED., dosen jurusan teknik perkapalan ITS. Asjhar memang didaulat sebagai Ketua Satu Tim Pengembangan Badan Pengelolaan dan Pengembangan Masjid Manarul Ilmi.
Suparjo, takmir Masjid Manarul Ilmi, saat ditemui pada Minggu (19/4) menjelaskan alur daur ulang air di Masjid Manarul Ilmi. Pertama, air yang keluar dari tempat wudhu masuk ke tandon filtrasi untuk melewati penyaringan berbasis sabut kelapa. Dari tandon itu, air kemudian mengalir melalui pipa gravitasi menuju tiga buah tandon air lainnya yang terletak di sisi selatan masjid.
Total terdapat empat buah tandon air berkapasitas masing-masing 5.000 liter. Tandon-tandon itu dibuat dengan teknik pengecoran dan terletak di bawah tanah. Tidak terputusnya aliran air buangan dari tempat wudhu memungkinkan air dalam keempat tandon meluap. Tidak perlu khawatir, luapan tandon-tandon itu justru membuat tanaman di sisi selatan masjid tidak perlu disirami secara rutin, selain karena letaknya yang jauh dari aktivitas jemaah sehingga dapat tumbuh lebih alami tanpa penyiraman.
[caption id="attachment_412167" align="aligncenter" width="480" caption="Tiga buah tandon air bekas wudhu di taman selatan masjid (penutup berwarna biru). Terlihat bangunan tempat wudhu dan Masjid Manarul Ilmi (bangunan paling belakang). (Bayu M. Wicaksono)"]
[/caption]
Sedangkan untuk menyirami taman di sisi timur dan utara, air dari tandon dipompa untuk disalurkan ke berbagai sprinkler yang sudah terpasang. Karena area yang disiram cukup luas, dibutuhkan sebuah pompa berkapasitas besar berdaya 2200 W untuk menyuplai belasan sprinkler di area taman.
“Kalau musim kemarau, pompa (untuk menyuplai sprinkler, penulis) dinyalakan setiap hari kira-kira pukul 6 atau 7, setengah jam atau satu jam. Setengah jam aja biasanya habis 8 m3, kalau satu jam sisa 4 m3 ditandonnya,” tutur Cak Jo, panggilan akrab Suparjo. Pria yang sudah dua puluh satu tahun menjadi takmir masjid itu menambahkan, “Tapi rinciannya tanya Pak Asjhar aja, beliau yang punya gambar detailnya, sampai berapa yang keluar dari sprinkler-nya.” Pada saat musim hujan, penyiraman hanya dilakukan seminggu sekali sekadar memastikan saluran masih berfungsi dengan baik.
Memanen Hujan
Semua pihak sadar bahwa perkembangan jumlah sivitas akademika akan menaikkan kebutuhan air Masjid Manarul Ilmi. Apalagi selama ini pelayanan air dari PDAM Kota Surabaya selalu menurun kualitasnya pada musim kemarau. Debit air berkurang pada siang hari, bahkan tidak mengalir sama sekali. Untuk menyiasati hal itu, pihak masjid juga sudah membuat tandon besar untuk menampung air dari PDAM. Harapannya, keperluan air bisa dipenuhi dari tandon saat aliran air dari PDAM berhenti. Namun, jemaah Masjid Manarul Ilmi masih sering mengalami kehabisan air.
“Biasa itu Mas, kayak pas musim haji kemarin itu air ga ngalir. Saya kunci saja toiletnya, daripada nanti sudah terlanjur tapi ga adaairnya,” tutur Cak Jo saat ditanya mengenai tindakan takmir jika air di tandon sudah kosong.
Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan air dari sumber lain. Pertama, dibuatlah sumur dangkal. Gagal. Air yang dihasilkan dari sumur tidak bertahan lama, sumur segera kering. Pendalaman sumur pun tidak mungkin dilakukan, karena pada kedalaman sekitar enam meter air di kawasan ITS sudah terasa payau. Pengambilan air tanah juga tidak menjadi pilihan. Kendala perizinan dan komitmen ITS sebagai eco campus menjadi faktor pencegah utama.
Akhirnya, di tahun 2014 ITS bekerja sama dengan PT Takiron Indonesia untuk mengembangkan proyek percontohan rainwater harvesting system ‘memanen air hujan’. Memanen air hujan merupakan salah satu metode konservasi air. Prinsipnya, air hujan akan dikumpulkan dan ditampung di dalam tanah. Untuk kasus ITS, sumur penampungan ini tidak dihubungkan dengan akuifer air tanah, karena air yang tersimpan di dalam sumur akan dipakai kembali.
Meskipun hingga kini belum keseluruhan pengerjaan proyek diselesaikan, sudah cukup banyak air yang seharusnya terbuang justru dimanfaatkan kembali untuk keperluan jemaah masjid. Ketika semua program tuntas, akan lebih banyak lagi air yang terselamatkan. Metode-metode tersebut kemudian bisa ditiru oleh pihak lain untuk menciptakan kelestarian air.
[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Taman di sisi utara masjid yang selalu terawat. Aneka rumput-rumputan dan pepohonan tertanam di sekitar Masjid Manarul Ilmi, membuat suasana sangat asri. (Bayu M. Wicaksono)"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H