Lihat ke Halaman Asli

Peran Semua Pihak untuk Selamatkan Buruh Migran Indonesia

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Suatu malam saya termenung saat membaca situs web buruhmigran.or.id. Pada halaman “Tentang Kami” dijelaskan bahwa Pusat Sumber Daya Buruh Migran (Migrant Worker Resource Centre) merupakan layanan atau dukungan untuk pengarusutamaan isu buruh migran melalui pengelolaan informasi dan pengetahuan. Dalam kondisi isu mengenai buruh migran masih menjadi isu marjinal, bagaimana para buruh migran di luar negeri mampu melawan kekuasaan negara (asing) yang sering kali menyengsarakan mereka?

Dalam melihat isu perburuhan, kita bisa memakai teori risiko untuk membandingkan isu buruh dalam negeri dan buruh migran. Media juga mengadopsi metode itu untuk memilih isu yang akan diangkat. Risiko adalah hasil perkalian antara frekuensi dan dampak. Isu buruh di dalam negeri ditandai dengan frekuensi yang sering, tetapi dampaknya kecil. Pemogokan, demonstrasi buruh, kurangnya upah, tuntutan ini dan itu, serta berbagai hal terkait isu buruh dalam negeri adalah hal yang sudah jamak kita ketahui dan sering terjadi.

Karena seringnya itulah, isu buruh dalam negeri menjadi tidak menarik untuk diberitakan secara besar-besaran. Kecuali, bila ada isu yang berdampak besar, seperti Hari Buruh atau boikot jalan tol oleh ribuan buruh. Sementara itu, isu buruh migran amatlah jarang, tetapi begitu muncul dampaknya luar biasa besar, seperti hukuman mati, penghinaan martabat bangsa, atau gangguan hubungan diplomatik. Maka, isu buruh migran selalu memiliki pola ada dan hilang. Dan dalam kondisi hilang itu bukan berarti tidak ada insiden sama sekali, hanya belum meletup saja.

Kondisi isu yang ada dan hilang menunjukkan isu buruh migran hanya menjadi perhatian intensif jika memiliki dampak yang sangat besar, tidak ada sorotan untuk pelanggaran sedang dan kecil (berbeda dengan isu buruh lokal). Dari tinjauan isu di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa bangsa Indonesia masih belum cukup menaruh perhatian dalam isu buruh migran. Terbukti dengan tidak terangkatnya kasus-kasus sedang itu.

Maka, untuk berhasil menyelesaikan masalah buruh migran, seluruh bangsa Indonesia harus dilibatkan. Irfa Puspitasari, dosen hubungan internasional Unair telah menawarkan beberapa alternatif dalam opininya di Jawa Pos (22/4/2015). Namun, saya akan mengulasnya kembali dengan lebih menyeluruh.

Ada dua kelompok besar yang akan kita bahas: di dalam Indonesia dan di luar negeri. Kelompok di dalam Indonesia terdiri atas pemerintah dan masyarakat. Dalam menyelesaikan permasalahan buruh migran, pemerintah harus melakukan dua pendekatan, ekonomi dan regulasi. Akar permasalahan berupa ketiadaan pekerjaan yang layak, upah yang layak, dan kehidupan yang layak harus dihilangkan.

Penciptaan 10 juta lapangan kerja harus direalisasikan. Peningkatan kemampuan calon buruh migran juga harus dilaksanakan. Melalui pendekatan regulasi, pemerintah harus segera mereformasi kebijakan dan instansi yang bukannya melindungi buruh migran justru mempersulitnya. Tidak boleh ada pihak yang bermain-main dan mencari keuntungan pribadi.

Masyarakat di dalam negeri juga harus aktif menolak perlakuan tidak menyenangkan terhadap buruh migran Indonesia. Strategi yang paling tepat adalah memberlakukan sanksi ekonomi, boikot. Mari bersama kita tunjukkan bahwa Indonesia bukanlah bangsa yang lemah. Jangan beli produk yang dihasilkan oleh negara-negara yang jelas-jelas terus membuat masalah bagi buruh migran kita. Khusus di Saudi Arabia, Irfa Puspitasari malah mengusulkan pemboikotan haji dan umrah yang selama ini memberikan devisa yang luar biasa besar bagi Saudi Arabia. Mengingat, Indonesia adalah negara pengirim jemaah haji dan umrah terbanyak di dunia.

Intinya, masyarakat Indonesia harus menunjukkan kekuatannya sehingga tampaklah bahwa negara-negara tersebutlah yang selama ini begantung dari bangsa Indonesia. Sinisme terhadap Malaysia bisa menjadi salah satu contoh berhasil pelaksanaan metode ini.

Di luar negeri, entitas yang ada adalah pemerintah melalui jalur diplomasinya dan masayarakat yang bisa kita kelompokkan menjadi tiga: buruh migran profesional, buruh migran informal, dan pelajar/mahasiswa. Irfa menilai keaktifan diplomasi Indonesia di dunia internasional sudah seharusnya dimanfaatkan dalam kerangka perlindungan warga negaranya juga. Indonesia sudah banyak mengambil momentum aksi diplomasi yang menguntungkan berbagai negara. Langkah-langkah masa lalu seperti itu dapat digunakan untuk menekan negara yang bersangkutan untuk juga memenuhi keinginan Indonesia, utamanya dalam melindungi buruh migran.

Unsur masyarakat di luar negeri yang memiliki pengaruh cukup besar (kelompok buruh profesional dan pelajar) harus satu aksi melindungi buruh migran informal yang kedudukannya paling lemah. Negara yang bersangkutan harus melihat kerugian besar yang akan mereka dapatkan jika buruh migran kita dilecehkan. Solidaritas warga negara Indonesia harus terjaga.

Sebagai contohnya, di Saudi Arabia banyak cara yang bisa dilakukan. Misalnya, memobilisasi jemaah haji dan umrah untuk menunjukkan aksi solidaritas. Selama ini jemaah Indonesia sangat dihargai karena paling banyak menghabiskan uangnya untuk berbelanja, berbeda sekali dengan getirnya hidup buruh migran Indonesia yang menunggu hukuman mati tiba. Gerakan besar yang terkoordinasi akan membuka mata warga Saudi Arabia untuk tidak meremehkan bangsa Indonesia.

Selain jemaah haji, buruh migran profesional juga dapat melakukan aksi solidaritas serupa. Banyak pekerja profesional kita yang menduduki posisi manajerial menengah dan atas yang berpengaruh terhadap perusahaaan besar di luar negeri. Mereka juga mempunyai banyak relasi. Tuntutan mereka jelas akan menimbulkan keguncangan, paling tidak di perusahaannya.

Para mahasiswa berbagai jenjang juga dapat menjadi kelompok penekan yang efektif, terutama karena kelompok ini yang paling tekoordinasi dan aktif dalam berbagai kegiatan. Lewat forum-forum budaya, akademik, maupun ideologis, para mahasiswa dapat menjadi garda terdepan yang mencegah terjadinya kesewenang-wenangan terhadap buruh migran Indonesia.

Tulisan ini diikutsertakan “Lomba Blog Buruh Migrant Indonesia” bersama Melanie Subono.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline