Lihat ke Halaman Asli

KRL, Ketertiban, dan Revolusi Mental

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Adik perempuan saya setiap hari pergi ke kampus dengan menumpang KRL. Karena ukuran tubuhnya yang kecil, seringkali ia terbawa arus penumpang dan terjepit, terutama ketika menggunakan kereta khusus perempuan. Ibu-ibu yang akan memasuki kereta khusus perempuan benar-benar menggunakan berat badannya untuk menekan penumpang di dalam kereta supaya mereka bisa masuk. Mendengar cerita itu saya hanya tertawa membayangkan keadaan adik saya yang seperti menghadapi pegulat macam itu. Timbullah pertanyaan, haruskah cukup beringas untuk mendapatkan tempat di KRL?

Suatu hari lalu giliran saya yang menggunakan KRL dari Stasiun Manggarai. Pada saat KRL tiba, para penumpang langsung menyeruak mendekati pintu-pintu kereta. Bukan di sampingnya, melainkan tepat di depan bukaan pintu. Praktis, saat pintu KRL terbuka, penumpang yang ingin keluar dan masuk berdesakan, saling mencari celah dan kesempatan.

Saya yang berdiri di samping pintu pun didorong-dorong dan diteriaki oleh sekelompok perempuan—ibu-ibu sepertinya—untuk segera memasuki kereta. Saya hanya diam dan menunggu hingga gelombang penumpang-keluar selesai. Barulah kemudian saya memasuki kereta, diikuti oleh ibu-ibu yang sebelumnya mendorong-dorong saja. Ternyata masih cukup ruang di dalam kereta. Lalu kenapa mereka harus bersusah-payah dorong-mendorong beradu kekuatan dan kegesitan?

Tak bisa disangkal bahwa setiap orang mendamba ketertiban dan keteraturan. Semua orang yang pernah ke luar negeri, ke Singapura misalnya, selalu memberikan penilaian positif dan pujian atas ketertiban di MRT-nya. Orang-orang yang selalu berebut di KRL Jabodetabek pasti dengan terkagum-kagum juga ikut antre ketika berada di MRT Singapura. Bahkan, ada orang Indonesia yang pergi ke sana untuk mengagumi ketertiban itu saja, karena hal lain di Singapura ternyata ada di kota-kota besar di Indonesia.

Lalu, mengapa bisa tertib? Bukan, ini bukan karena MRT di Singapura lebih lengang daripada Jakarta. Saat jam sibuk, rute-rute di pusat kota Singapura bahkan lebih sesak daripada rute KRL Bogor—Jakarta di pagi hari. Jawabannya, karena kebiasaan.

Kebiasaan adalah hal yang seringkali kita lakukan dan anggap sebagai hal yang wajar terjadi. Meskipun kita ketahui itu salah, semakin lama kita menjumpainya maka kesalahan itu tidak lagi dipandang sebagai masalah. Akhirnya kita pun mengikutinya, semakin sering dan akhirnya menjadi perilaku. Jika perilaku dari berbagai orang pun menunjukkan kesamaannya, maka akan terbentuk pranata yang menegaskan kewajaran atas hal yang sebelumnya dianggap salah itu, jadilah sebuah budaya baru.

Orang-orang yang awalnya menjumpai kesalahan pada perilaku orang lain bisa memilih dua hal: menolak atau mengikuti. Penolakan bisa dikerjakan baik ke dalam diri sendiri (penolakan pasif) maupun kepada orang yang dianggap salah itu (penolakan aktif). Sebagai contoh, saat seorang pengamat berhenti karena lampu merah dan melihat orang lain berhenti melewati garis henti, kebanyakan pengamat yang memberikan penolakan cenderung cukup dengan tidak melakukan kesalahan yang sama. Jarang sekali pengamat yang memberikan teguran kepada si pelanggar.

Penolakan pasif seperti contoh di atas kebanyakan terjadi pada kesalahan yang tidak memberikan dampak langsung kepada si pengamat, sehingga tidak ada rasa tanggung jawab untuk ikut memperbaikinya. Seseorang yang hanya memberikan penolakan pasif amat rentan untuk berubah menjadi pengikut. Ketika pengikut semakin banyak dan semakin jarangnya penolak, maka otomatis pandangan akan nilai benar dan salah pun berubah.

Para penolak pasif membutuhkan figur yang menyokong penegakan nilai. Sebab, sulit untuk memberitahukan kebenaran kepada pengikut yang di pikirannya sudah tertanam pembenaran atas nilai yang salah itu. Lihat saja, betapa garangnya seorang pengendara lalu lintas yang diberitahu kesalahannya ketika dia melawan arus lalu lintas. Itulah bukti pembenaran. Belum lagi orang yang merokok di kawasan bebas asap rokok. Dengan dalih, “saya kan merokok di sini, itu larangannya ada di dinding sana” mereka tetap merokok dengan santainya.

Pemimpin-pemimpin formal dan kultural harus segera mengambil posisi sebagai figur penyokong. Jangan sampai resistensi menjadi begitu besar karena nilai yang benar sudah terlanjur hilang. Lihat saja begitu riuhnya proses pembenahan KRL dilakukan, masyarakat sudah terlalu terbiasa naik tanpa bayar, duduk di atap kereta, dan bergelantungan di pintu kereta. Bahkan, pada awal kebijakan menutup pintu kereta saja, banyak pengguna KRL yang protes. PT KCJ sampai harus mengeluarkan kebijakan tidak akan menjalankan KRL sebelum pintu tertutup. Setelah proses itu selesai, secara berangsur-angsur kesadaran masyarakat terhadap nilai ketertiban itu datang kembali. Siapapun yang berada di posisi pengambil kebijakan pembenahan KRL, dia telah menjadi figur yang baik.

Para penolak pun harus lebih berani mengambil peran. Jangan terus menunggu datangnya bantuan. Meminjam perkataan seorang psikolog, Dra. Virdhati Conitatun, individu yang belum memerankan perannya dengan baik cenderung mempertanyakan alasan timbulnya masalah. Pikiran-pikiran mengenai penyebab itu cenderung digunakan untuk berlindung dan justru menyalahkan orang lain. Padahal, dirinya bisa melakukan sesuatu untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Kita yakin, manusia Indonesia pun akan semakin tertib dan menjunjung nilai yang baik. Maka, saatnyalah kita mulai mewujudkannya mimpi itu sehingga tidak perlu ada lagi bangsa lain yang kita kagumi selain bangsa Indonesia sendiri. Mari bersama-sama merevolusi mental!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline