[caption id="attachment_347881" align="aligncenter" width="600" caption="Jembatan Merah Putih yang akan menghubungkan Galala dan Pokka di Ambon belum selesai dikerjakan, Selasa (25/2). "][/caption]
Awan kelabu memyelimuti Pulau Ambon. Pangkalan Udara Pattimura yang terletak di sisi barat Teluk Ambon mulai ditumpahi oleh rintikan kecil air yang turun dari langit. Saat itulah, tim Ekspedisi NKRI Subkorwil Namlea berangkat menyusuri pesisir Teluk Ambon dari sisi barat ke sisi timur. Di sanalah terdapat Pelabuhan Penyeberangan Galala, simpul transportasi yang menghubungkan Ambon dengan pulau-pulau lainnya di Kepulauan Maluku.
Sepanjang perjalanan selama satu jam, bus kami melewati jalan yang lengang yang kadang terdiri atas empat lajur dan kadang pula hanya terdiri atas dua lajur. Akan tetapi, dengan populasi kendaraan yang tidak cukup banyak, lalu lintas tidak pernah tersendat, bahkan di jalan berliku di tepi tebing yang terdiri atas dua lajur saja. Di sebelah kanan arah kelajuan bus, tampak perairan yang tenang dan menawan. Jauh sekali jika dibandingkan dengan Teluk Jakarta yang kotor dan tercemar.
Di Galala, sudah ada sebuah kapal feri tujuan Namlea. Kapal itu bersandar di sebuah dermaga dengan pintu rampa terbuka. Di dermaga lainnya, kapal yang berukuran lebih kecil menaikturunkan muatan dengan cepat. Tanpa menutup pintu rampanya, kapal tersebut meninggalkan Galala. Kapal-kapal kecil itulah yang beroperasi melayani lintas Galala—Pokka, memotong Teluk Ambon menjadi hanya berjarak 0,5 mil laut. Karena jarak yang pendek itulah, semua operator kapal di lintas tersebut tidak menutup pintu rampa selama pelayaran. Padahal, perilaku seperti itu menaikkan risiko selama pelayaran dan seharusnya dihindari.
Berbeda dengan kapal lintas Galala—Pokka yang datang dan langsung berangkat kembali, kapal menuju Namlea hanya berlayar sehari sekali. Pada loket penjualan tiket KMP Temi tujuan Namlea terpampang tulisan yang memberitahukan bahwa pemuatan kendaraan ke kapal paling lambat dilakukan pukul 17.30 WIT. Akan tetapi, masih ada beberapa kendaraan baik mobil maupun sepeda motor yang naik ke kapal setelah pintu menuju kapal secara formal ditutup.
Di dalam geladak kendaraan pun tidak hanya ada kendaraan dan muatannya, tetapi juga barang lepas. Kondisi tersebut tentu bertentangan dengan ketentuan Pasal 22 ayat 1 UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang menyebutkan bahwa, “Angkutan penyeberangan merupakan angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan atau jaringanjalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya”. Bahkan ada cukup banyak penumpang yang menggelar tikar dan tidur di geladak kendaraan, baik penumpang pejalan kaki maupun penumpang pada kendaraan. Padahal, keadaan tersebut sangat membahayakan keselamatan pelayaran. Sayangnya perilaku tersebut sudah menjadi kebiasaan sehingga tidak ada tindakan sama sekali dari perwira kapal yang bertanggng jawab atas keselamatan kapal dan muatannya.
Senin (24/3), tepat pukul 20.00 WIT awak kapal melepas tali tambat. Motor penggerak dinyalakan dan memutar propeler. Riak-riak gelombang kecil tercipta ketika kapal mulai bergerak meninggalkan dermaga. Tiga orang awak kapal telah siaga di posisi masing-masing untuk menutup pintu rampa. Perlahan..., pintu terangkat karena tarikan windlass yang dioperasikan oleh satu orang. Dua orang lainnya berada di geladak kendaraan dan mengawasi kerapatan penutupan pintu rampa. Untuk mencegah air masuk, bagian bawah pintu rampa diganjal dengan rantai yang dilapisi tali tambat.
Gemerlap lampu sepanjang Teluk Galala berpadu dengan indahnya kelap-kelip bintang di angkasa mengantar kapal ke luar dari teluk yang tenang menuju Laut Banda yang terkenal ganas dengan ombak yang tinggi. Hingga pada suatu saat, laut gelap seutuhnya. Lampu-lampu yang bersinar terang sudah menghilang. Hilang pulalah kesadaran sebagian besar penumpang yang memilih melewati delapan jam perjalanan dengan memasuki alam tidurnya.
Pelayaran Galala—Namlea sungguh tidak bisa disamakan dengan pelayaran Ujung—Kamal. Laut bergejolak kuat. Bunyi keras berkali-kali tercipta saat kapal terhempas turun dari puncak gelombang. Memang kapal dikenal sebagai bangunan dengan derajat kebebasan yang paling banyak, sehingga goyangan yang bisa tercipta selama pelayaran menjadi cukup kompleks dan sanggup mengocok perut. Itulah alasan mengapa banyak orang lebih suka tertidur selama pelayaran.
Dari ruang eksekutif yang berada di bagian terdepan geladak kedua (satu tingkat di atas geladak kendaraan), hempasan gelombang tinggi yang mendobrak-dobrak pintu palka terdengar sangat mengerikan. Kapal dengan kapasitas lebih dari 1000 GT ini pun laksana botol sabun yang diombang-ambingkan anak kecil di bak mandi. Memang dibandingkan luasnya lautan dan besarnya kuasa Tuhan, kapal ini beserta kemampuan para pembuatnya tidak ada apa-apanya.
Keyakinan itu akhirnya mengantarkan saya menuju mimpi semua orang yang berada di kapal untuk tiba di Namlea dengan selamat dan tidak kekurangan apapun.
Sampai akhirnya, suara ribut yang kembali hadir mengembalikan kesadaran saya. Di ujung horizon sana, titik-titik kecil cahaya lampu mulai tampak satu demi satu. Di sanalah Namlea, gerbang utama Pulau Buru. Banyak orang yang mulai bersiap-bersiap, tetapi banyak pula yang santai setengah tertidur. Menurut mereka, Namlea masih jauh, satu jam lagi.
Di Namlea sendiri, kapal dari Ambon akan bersandar di dermaga lama. Di situ pula kapal-kapal barang dan kapal Pelni bersandar dan melakukan bongkar muat. Dermaga baru Namlea yang masih dalam tahap pembangunan sekarang hanya dioperasikan untuk melayani lintas penyeberangan menuju Sanana dan Kayeli. Namun, kedua dermaga tersebut sama-sama terletak di Teluk Kayeli yang tenang. Di ujung barat Pulau Buru sendiri saat ini sedang dibangun Pelabuhan Teluk Bara. Nantinya, setelah pelabuhan tersebut beroperasi, lintas penyeberangan menuju Sanana akan dilayani dari Teluk Bara, bukan dari Namlea.
Tidak terasa kapal sudah tiba di Namlea. Selasa (25/2) pukul 05.00 WIT, pintu rampa dibuka. Ini bukan Kamal di Madura-yang saya kenal. Ini Namlea, gerbang Buru, pulau para raja.
[caption id="attachment_347883" align="aligncenter" width="600" caption="Sebuah kapal feri bersandar di pelabuhan baru Namlea, Rabu (26/2)."]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H