Lihat ke Halaman Asli

Ucapan Lebaran Bisa Tampak Murahan

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Tak semua yang digital itu lebih baik, tak semua yang digital itu lebih menarik. Di era digital, semua menjadi serba instan. Tak terkecuali soal kartu lebaran.

Sudah jadi tradisi di Indonesia, bahwa setiap hari lebaran tiba, orang-orang akan menyampaikan ucapan maaf dan doa buat keluarga dan teman-teman mereka. Perlu dicatat, ini tradisi lintas agama. Banyak juga orang Kristen yang tak kalah antusiasnya dalam kegiatan maaf-maafan dan doa-mendoakan ini. Cukup mengharukan.

Apalagi, kita hidup di era social media. Urusan ini jadi jauh lebih mudah. Buat saja desain kartu lebaran digital dengan Photoshop (atau cari template kartu lebaran via Google kalau tidak bisa), buat rangkaian kalimat yang menarik (kalau malas, ada ribuan kalimat yang siap di copy-paste lewat Google), unggah ke Facebook, lalu tinggal di tag kepada semua teman Anda. Mau lebih massive? Blast saja di Twitter, dan permintaan maaf langsung sampai kepada ribuan followers Anda, yang sebenarnya kenal juga tidak. Toh, tidak ada salahnya.

Cepat, mudah, dan murah. Itulah jadinya. Tapi, yang belakangan terkadang malah rancu. Murahnya bisa jadi murahan. Saking mudahnya dalam hal pembuatan, kartu lebaran model ini jadi berkurang nilainya, setidaknya dari sisi penerima ucapan. Sepertinya kita semua tahu, bahwa segala sesuatu yang handmade itu lebih bernilai ketimbang yang ‘cetakan’. Batik tulis itu lebih mahal dari batik cetak, karena pengerjaannya lebih sukar dan lama. Rolls-Royce jadi super mahal juga karena itu. Saya pikir, mobil ini lebih cocok berjalan di karpet ketimbang di aspal.

Ingatkah Anda betapa dulu kita sangat menanti kartu ucapan yang datang via pos? Meski hanya selembar, tapi ia ditulis tangan, dihias-hias, dan ditandatangani. Satu kartu hanya untuk satu orang, atau paling banyak satu keluarga. Ada kesan penghargaan yang timbul, ada hangatnya perhatian, dan sebaliknya, ada pemberian maaf dan doa yang tulus dari yang menerima. Sangat baik jika ditinjau dari ilmu komunikasi.

Buat saya, yang paling baik tentu dengan cara lama, yakni bertandang ke rumah dan mengucapkan secara langsung. Setelah itu, berturut-turut ialah via video call, telepon, video, kartu pos, sms, lalu social media (dengan catatan, penggunaannya seperti metode di atas, bukan dibuat satu-persatu).

Tak semua yang digital itu lebih baik, tak semua yang digital itu lebih menarik. Bagi saya, kartu ucapan seperti contoh di atas itu sama sekali tak menarik dan tidak meninggalkan kesan, meski pada akhirnya saya tetap menilai dari esensinya. Saling memaafkan dan mendoakan. Saya tetap menerima dengan senang hati. Siapa yang tidak?

Tapi maukah Anda memaafkan kekeliruan pihak Malaysia, memaafkan para koruptor, atau memaafkan para wakil rakyat yang makan gaji buta, jika mereka hanya memuat permintaan maaf lewat sebuah website atau situs jejaring sosial? Saya rasa tidak. Dan dalam hal ini, saya pikir saya tidak sendirian.

Tulisan ini diterbitkan di areamagz.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline