Lihat ke Halaman Asli

Indonesia Harus Bersuara mengenai Ketegangan Laut di Tiongkok Selatan

Diperbarui: 23 Mei 2024   16:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Philippine Coast Guard(PCG)/AFP 

Sengketa di Laut Tiongkok Selatan (LTS) menjadi panas baru-baru ini di perairan Filipina. Beberapa waktu terakhir, kapal penjaga pantai Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menunjukkan sikap yang agresif terhadap kapal-kapal Filipina di Beting Scarborough yang bersengketa. Hal itu meningkatkan ketegangan di wilayah yang mana ketenangan dan kedamaian sangatlah rapuh dan seharusnya dijaga oleh semua pihak.

Sejak akhir 2023, Filipina terlibat dalam serangkaian insiden dengan RRT yang menunjukkan sikap agresif di LTS. Kapal-kapalnya telah ditembak senapan air dan ditabrak oleh kapal penjaga pantai Filipina. Lanjut ke bulan-bulan pertama 2024, kapal-kapal Filipina yang berlayar di sekitar Beting Scarborough dan Second Thomas terus diusik oleh kapal-kapal penjaga pantai RRT.

Wilayah perairan tersebut diklaim oleh RRT sebagai bagian dari Sembilan Garis Terputus (SGT) yang merupakan kawasan tradisional penangkapan ikan oleh nelayan-nelayan mereka. Sebenarnya, klaim tersebut sudah ditolak oleh pengadilan internasional di The Hague ketika melakukan arbitrase antara Filipina dan RRT pada 2016 silam. SGT dinilai tidak sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau UNCLOS 1982 yang mengatur pergaulan internasional di laut.          

Dengan menempatkan kapal-kapal penjaga pantainya dalam posisi agresif, RRT ingin mengubah status quo yang tengah dipertahankan Filipina, yaitu wilayah yang disengketakan tidak berada di bawah kekuasaan mereka. Beijing menyadari tidak mungkin bisa mengambil alih wilayah yang mereka klaim sebagai SGT secara legal. Di sisi lain, perang dengan Filipina bukanlah suatu opsi. Sehingga, mereka mengganggu kapal-kapal Filipina dengan harapan membentuk suatu fait accompli, dan membuat Filipina mengakui keberadaan mereka di LTS secara de facto.  

Tindakan-tindakan RRT telah mengakibatkan kerusakan kapal-kapal Filipina. Beberapa awak kapal Filipina juga mengalami luka-luka.

Insiden-insiden tersebut, yang terjadi secara berulang kali hingga bulan-bulan berikutnya telah diprotes Filipina. Presiden Filipina, Ferdinand 'Bongbong' Marcos Jr. menyebutkan negaranya perlu sudut pandang baru dalam menghadapi sengketa di LTS. Manila juga telah melayangkan 'protes terberat' mereka kepada Beijing. Diplomat RRT sudah dipanggil untuk membahas kejadian-kejadian yang melibatkan senapan air dalam ketegangan antara kapal-kapal Filipina dengan RRT.

Beriringan dengan itu, Filipina juga semakin menunjukkan sikap yang lebih tegas menghadapi ancaman terhadap keagresifan RRT. Mereka telah memperkuat perjanjian pertahanan bersama dengan Amerika Serikat (AS). Filipina juga melakukan berbagai latihan gabungan dengan AS, Australia, dan Jepang.

Kendati memanasnya keadaan di sana, tidak banyak pihak di kawasan yang terdampak bersuara. Sejauh ini, hanya Manila yang menyampaikan protes keras terhadap sikap RRT. Suara mereka bagaikan kebisingan di tengah-tengah kesunyian yang dalam. Negara-negara tetangganya, yang menjadi bagian dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menunjukkan ketidakacuhan yang sulit untuk diabaikan.

Jalan Buntu Diplomasi

Sebetulnya, pemerintah Indonesia telah berkomentar. Tapi tanggapan mereka jauh dari sikap tegas yang membela posisi Filipina dalam ketegangan yang terbaru dengan RRT. Jakarta hanya menekankan pentingnya semua pihak untuk menyepakati code of conduct (CoC) di LTS. Dan pentingnya membangun kepercayaan semua pihak dalam rangka menangani konflik di kawasan tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline