Lihat ke Halaman Asli

Happy Ending

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1334244214661599235

Alkisah, ada sebuah kisah yang terlisankan dari seorang ayah kepada anaknya, kisah itu adalah runutan langkah sang ayah dalam hidupnya menuntun sang waktu.. tentang impiannya, tentang harapannya, tentang cita-citanya. Begitu lancar sang ayah berkisah, layaknya menghadapi bacaan novel tebal atau e-book ber-ratus-ratus halaman. Sang anak tidak pernah bosan mendengarnya, atau memang tidak ingin tampak bosan dalam mendengar sebagai bentuk penghormatan kepada sang ayah yang senantiasa setia mencerahkan nurani sang anak. "Bila engkau mengarungi hidup mu nanti,nak. Akan sangat berbeda waktumu dengan waktu saya kala itu", ucap sang ayah sambil menyeruput kopi hitam panas yang terhidang. "Walau waktu itu sendiri tidak pernah beda, dia sama" "Yang membedakan adalah bagaimana kita memandang sang waktu. Dalam proses pembentukan hingga hasil akhir yang akan kita miliki. Selayak bila engkau menanam padi di sawah, pasti akan tumbuh rumput disekelilingnya, tapi akan beda bila engkau menanam rumput, tidak akan pernah ada padi tumbuh bersamanya" "Adalah kita, manusia sudah memiliki garis hidupnya masing-masing didunia ini. Tapi untaian bab dalam kitab hidup kita akan saling berbeda satu sama lain, dan itu yang disebut sunnatulloh dalam islam. Jangan pernah engkau matikan akal pikiran mu,  cipta dan karsamu. Itulah kita, manusia". Senyum kecil menghiasi bibirku, "ya Pah".. Bersyukur hati kecilku kepada Sang Pemilik Waktu, yang telah menciptakan aku untuk hidup didunia ini dengan seorang ayah yang tidak kenal lelah meng-"Kalibrasi"- batinku.. "Jujurlah untuk dirimu sendiri dulu, karena bila tidak kamu tidak akan pernah mampu untuk jujur kepada orang lain, apalagi bila sam Tuhanmu, terus belajar dan jujur, karena hidup adalah gudangnya ilmu, gudangnya silaturahim dan juga gudangnya maksiat.,., Bagaimana mungkin akan kamu dapati "happy ending" bila dalam hidup engkau mengawali dari sebuah kebohongan, karena kamu akan lagi bohong, untuk dapt menutupi bohong yang pertama, demikian seterusnya. Jujur untuk bilang saya tidak mampu bila memang kamu belum mampu. Maka kamu akan belajar untuk dapat mampu. Bila kamu berbuat baik, lakukan seperti kamu buang hajat, karena orang buang hajat, tidak akan pernah mengingat apa yang sudah dibuangnya. Biarkan mengalir kebaikan dalam dirimu, pelan, sedikit demi sedikit dan biarkan anak cucumu yang akan memetik buahnya kelak. Karena tidak mungkin kamu dapat meminum air kelapa muda dari pohon kelapa yang kemarin engkau tanam. Bangkitkan "eling-mu" kepada Sang Pemilik nafas tidak saja dengan "hukum wajib" yang telah kamu pahami, karena banyak,bukan saja pada masamu saat ini, dulu juga terjadi pada waktu saya muda, banyak yang mengenakan "hukum wajib" itu untuk ajang bersolek, besar kepala, merasa suci, yang akhirnya menjerumuskan dirinya pada berhala yang namanya "SOMBONG". Padahal jubah kesombongan itu bukan manusia pemiliknya. Semoga kamu mampu mengawali dengan bijak hingga nanti akan kamu petik buahnya dengan "happy ending" --belajar untuk bisa, bisa untuk berbagi-- 12-04-2012, 22.15pm-kota seribu gua- (catatan ringan yang terinspirasi dari "happy ending-abdul&the coffee theory")

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline