Lihat ke Halaman Asli

Membaca Pertumbuhan 2010 dan Prospek Ekonomi Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12981018881032621664

Setelah BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi (Product Domestic Product/PDB) Indonesia tahun 2010 sebesar 6.1 persen, beragam analisis muncul. Setidaknya di harian Kompas cetak ada tiga artikel membahas pertumbuhan tersebut. Ekonom Indef, Ahmad Erani Yustika mengemukakan tiga pendapatnya. Pertama, sektor pertanian yang menyerap 41 persen tenaga kerja hanya tumbuh 2.9 persen, jauh dibawah rata-rata pertumbuhan nasional sehingga pertumbuhan ekonomi tidak mampu memecahkan masalah pengangguran dan kemiskinan. Kedua, sektor jasa/non tradable yang menyerap sedikit tenaga kerja tumbuh lebih cepat sehingga meningkatkan kesenjangan. Ketiga, terjadi disindustrilisasi (pertumbuhan sektor manufaktur selalu lebih rendah dari rata-rata nasional). Pengamat pasar modal, Yanuar Rizki berpendapat pertumbuhan didominasi oleh konsumsi orang kaya dan gagal menggerakkan perekonomian karena konsumsi dibelanjakan untuk barang-barang impor. Wartawan Kompas, Orin Basuki menggaris bawahi dominasi jawa yang menyumbang 58% PDB dan investasi riil masih terpusat di jawa.

Jika kita membaca artikel-artikel tersebut, gambaran suram tentang perkonomian Indonesia segera terlintas. Apakah memang ekonomi kita sesuram itu?

Sebenarnya, komposisi pertumbuhan 2010 tidak bisa dikatakan gagal mengatasi masalah pengangguran ataupun meningkatkan kesenjangan. Sektor penyerap tenaga kerja terbesar setelah pertanian adalah perdagangan yang menyerap tenaga kerja sebesar 22.5 juta pekerja atau sekitar 22% dari total pekerja. Sektor ini tumbuh 8.7%, jauh lebih cepat dari rata-rata pertumbuhan nasional dan tentunya berkontribusi positif terhadap pemerataan dan penurunan angka pengangguran. Sehingga secara keseluruhan, pengaruh pertumbuhan semua sektor terhadap tingkat pengangguran dan kemiskinan tidak bisa dianalisa secara langsung dan memerlukan pengumpulan data lebih lanjut.

Lebih rendahnya pertumbuhan sektor pertanian dibandingkan sektor lainnya adalah fenomena yang lazim ditemui dalam sejarah pembangunan ekonomi di negara-negara besar yang berhasil berrubah menjadi negara maju, khususnya negara-negara di asia timur. Pertanian memiliki absolute input constraint yaitu lahan pertanian, sehingga dalam suatu titik, penambahan input akan menghasilan tambahan output yang lebih rendah.

Belajar dari pengalaman Jepang (negara lain di kawasan seperti Korea & Taiwan memiliki pola yang hampir sama), menurut hemat saya, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di Indonesia hanya bisa diatasi dengan mengurangi jumlah pekerja di sektor pertanian. Data empiris hampir seluruh perekonomian dunia menunjukan bahwa rasio total gaji dengan output (labor share to output ratio) adalah tetap, jika jumlah pekerja sektor pertanian turun, maka pendapatan per pekerja di sektor pertanian akan naik lebih cepat walaupun pertumbuhan sektor pertanian relative lambat. Tentunya ini merupakan program besar nasional yang tidak hanya melibatkan kebijakan ekonomi, tetapi juga sektor lain seperti pendidikan.

Jepang saat ini berhasil menjadi negara maju sekaligus negara yang paling merata tingkat pendapatanya. Kunci sukses Jepang ini terletak pada keberhasilannya mengurangi jumlah pekerja di sektor pertanian. Grafik dibawah menggambarkan bahwa pada tahun 1956, jumlah pekerja di sektor pertanian di Jepang hampir sama dengan kondisi Indonesia saat ini yaitu mencapai 35%. Di puncak keemasan ekonomi Jepang di awal 90an, jumlah pekerja sektor pertanian Jepang turun menjadi hanya sekitar 6%. Walaupun pemerintah Jepang telah memberikan subsidi besar di sektor pertanian (bisa dilihat dari meningkatnya jumlah modal yang digunakan di sektor pertanian di grafik c), rata-rata gaji pekerja di sektor pertanian hanya 20% dari rata-rata gaji sektor lainnya. Bayangkan besarnya ketimpangan jika tidak ada perpindahan pekerja sektor pertanian!

Source: Esteban-Prettel & Sawada (2009)

Saya juga kurang sependapat dengan pendapat desindustrilisasi perekonomian Indonesia. Mungkin memang kontribusi sektor manufaktur menurun, tetapi penurunan tersebut tidak sedramatik yang digambarkan dan belum tentu merupakan gejala desindrustrilisasi. Jika kita masuk ke detail industri penyusun sektor manufaktur, kontributor utama rendahnya pertumbuhan sektor manufaktur adalah pertumbuhan industri pengolahan minyak mengingat stagnannya produksi minyak nasional. Jika kita mengeluarkan industri pengolahan minyak, pertumbuhan sektor manufaktur hampir sama dengan pertumbuhan ekonomi nasional, hanya tertinggal rata-rata 0.6% pertahun dari tahun 2000 sampai 2010. Penelitian Wibowo (2009) menunjukkan bahwa skala ekonomi industri manukfaktur di Indonesia saat ini tidak berubah dibandingkan sebelum krisis 1997 dan tetap produktif. Ini mengindikasikan bahwa menurunnya kontribusi sektor manufaktur lebih disebabkan external shock seperti kemunculan China.

Komposisi pertumbuhan tahun juga jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya karena lebih didukung oleh pertumbuhan investasi. Secara agregat, kontribusi konsumsi semakin menurun menjadi hanya 65%, jauh lebih rendah misalnya dari kontribusi konsumsi tahun 2003 yang mencapai hampir 80%. Tahun ini kontribusi investasi mencapai 32% atau rekor tertinggi setelah krisis ekonomi. Sehingga layaklah kita menjadi lebih optimistis terhadap prospek pertumbuhan kedepan.

Menurut hemat saya, yang seharusnya menjadi perhatian kita adalah trend penurunan kontribusi net ekspor. Jika pada tahun 2000 kontribusi net ekspor mencapai 10.5%, saat ini kontribusinya hanya mencapai 0.8%. Trend ini tidak lazim dialami negara-negara di kawasan asia yang kebanyakan memiliki surplus neraca perdagangan yang besar.

Tentang terpusatnya pertumbuhan di Jawa, yang harus kita pahami adalah Jawa menampung 136 juta jiwa atau 57% dari total penduduk Indonesia sehingga wajar klo kontribusi GDP Jawa mencapai 58%. Jika kontribusi PDB jawa jauh lebih rendah dari 57%, ketimpangan pendapatan antar penduduk di Indonesia akan semakin lebar. Mengurangi jumlah penduduk Jawa juga bukan pekerjaan yang mudah, malahan jika tidak ada anomali di Indonesia, penduduk Indonesia akan semakin terkonsentrasi di Jawa. Trend global menunjukkan penduduk semakin terkonsentrasi di kota-kota besar atau pusat-pusat ekonomi. Di Jepang yang mengalami penurunan jumlah penduduk pun, jumlah penduduk di kota-kota besar tetap tumbuh akibat dari urbanisasi dan perpindahan penduduk dari kota-kota yang lebih kecil. Hasilnya,wilayah pedesaan semakin kosong dan kota yang kalah bersaing lambat laun akan hilang. Sebagai contohnya adalah kota Nagasaki yang di tahun 70an menjadi pusat industri perkapalan dan pelabuhan utama Jepang, sekarang jumlah penduduknya semakin berkurang dan semakin didominasi oleh penduduk usia lanjut.

Akhirnya, menurut hemat saya, pertumbuhan ekonomi tahun 2010 cukup berkualitas dan berkontribusi positif terhadap perbaikan kehidupan rakyat. Kita pantas berbangga dengan capaian Indonesia tahun 2010.Di media internasional sangat mudah ditemukan artikel yang sangat optimistik terhadap kondisi dan prospek perekonomian Indonesia. Sebagai contohnya, artikel di Business Week merangkum beberapa pendapat ekonom terkemuka yang menyarankan untuk memasukan Indonesia menggantikan Rusia dalam kelompok BRIC. Contoh lainnya adalah artikel di Wall Street Journal melaporkan hasil studi Standard Chartered Bank yang meramalkan Indonesia akan mempunyai GDP terbesar kelima didunia pada tahun 2050.

Kedepan, pertumbuhan Indonesia akan semakin cepat. Jika kita jadikan prediksi IMF sebagai target pertumbuhan minimal Indonesia. Paling tidak, Indonesia akan tumbuh 6.2% tahun ini, kemudian 6.5% tahun depan, 6.7% di tahun 2013, dan mencapai 7% pada 2014 dan 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline