Lihat ke Halaman Asli

Sang Pemantik

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar satu minggu sebelum Ramadhan, Aku sempet ketemu kawan waktu kecil. Kami  berdua ngobrol di halaman rumahnya. Waktu itu habis maghrib, kami ngorbrol dari urusan kuliah, kerjaan, anak kucing tetangga, sampai topik penghangat suasana soal cinta. Masalah yang terakhir jadi bahasan terakhir tapi paling lama. Hal ini bukan hanya salah satu human interest melainkan juga ada sebuah fenomena dalam ceritanya.

Ceritanya mirip dengan kisah ikal sang laskar pelangi dan A Ling. Hal yang membuat beda karena ini merupakan kisah nyata. Hmmm... kelihatanya sudah bisa ditebak bagaimana alur cerita dan ending ceritanya, namun bukan itu yang ingin aku sampaikan dalam tulisan ini.  Dari cerita ini ini ada pelajaran yang dapat diambil tetapi masih tentang cinta.

Beginilah cerita. Panggil saja temanku itu Sarman. Di kelasku ada seorang anak perempuan yang bernama Lady. Seperti layaknya anak kecil yangbermain, mereka saling menggoda dan menganggu. Namun kejadian itu tidak berlangsung lama, karena pada kelas 3, Lady harus pindah ke Sulawesi ikut kepindahan kerja Orang Tuanya.

Ceritanya memang sederhana, namun setelah hampir dua puluh tahun berpisah, ada kalimat yang membuat terenyuh dari seorang Sarman. Ia berkata,

“Bay, Gw sampai sekarang masih keinget Lady.....Ga tahu kenapa, seandainya gw punya istri, gw pengen punya istri kayak Lady. Sikapnya yang ngotot dan keras waktu SD, ngebuat terus inget. Gw inget sering berantem sama dia dulu. Seandainya bisa, gw pengen ketemu dia. Sekarang kira – kira dia ada dimana ya?”

Aku tersentak lagi tersenyuh mendengarnya. Dalam lamunku, aku berpikir, “Apakah ini yang disebut sebenarnya cinta atau hanyalah cinta monyet seorang anak SD ?”.  Perasaan yang dimiliki menembus ruang dan waktu. Ia masih menginggat setiap momen bersamanya, seolah Lady begitu dekat dengannya. Ia masih ingat bagaimana membuat Lady menangis, berkejar – kejaran di lorong teras kelas, berebut pensil atau sekedar piket kelas bersama ? Kejadian – kejadian yang sebenarnya mungkin aku sendiri lupa, tetapi mengapa ia masih mampu menginggatnya dengan detil. Ingatannya begitu terjaga oleh perasaannya. Hati dan jiwa mampu menjadi peti yang menyimpan harta karun masa lalu. Setiap rasa menempatkan memori dalam susunan yang terbaik. Ibarat komputer menempatkan setiap folder/directori dengan rapi. Data akan tertata yang rapi membuat kita mudah memanggilnya.


Aku berulang kali bertanya pada hati, mungkinkah ini hanyalah cinta monyet biasa. Aku berusaha meyakinkan diri dengan kata “iya”, namun ternyata gagal.  Pikiranku bergelayut di awang – awang mencari sebuah jawaban. Perasaan sarman bukan sekedar cinta monyet anak kelas tiga SD. Itu hanyalah titik awal dimana ia mengenal bentuk imajiner dari cinta antara laki – laki dan perempuan.

Dalam hati setiap manusia sesungguhnya memiliki satu bentuk ideal yang selalu diimpi – impikan termasuk untuk urusan cinta. Contoh sederhana, percaya atau tidak, kita kadang sulit mendeskripsikan seperti apa orang yang sebenernya mimpikan menjadi pendamping hidup ini. Ada yang berkata gampang kalau hanya mendeskripsikannya. Tapi apa iya ? Kita menginginkan seseorang yang pengertian, menyayangi, ramah, romantis, hormat kepada orang tua kita dan sebagainya. Dalam pandanganku, apakah sedemikian mudah menggambarkan sosok itu ? Jawabnya adalah tidak. Kalau semua orang mempunyai harapan yang dengan derajat perasaan yang sama, kita tidak perlu repot untuk menyeleksi hati dalam memilih pendamping. Dengan keadaan yang demikian kita hanya cukup menjadi  apa yang diinginkan dalam pandangan umum tersebut. Sayangnya,hal ini tidak seperti itu pada realitasnya. Setiap manusia memiliki relatifitas perasaan yang berbeda dengan orang lain. Menurut ilmu pengetahuan perbedaan ini di dasari oleh nature dan nurture. Nature merupakan pengaruh yang bersifat genetis dan akamiah yang sifatnya merupakan pemberian Tuhan Yang Maha esa, baik berupa fisik maupun watak. Nurture merupakan lingkungan yang mempengaruhi tumbuh kembang manusia dalam setiap tahap kehidupan.

Kembali kepada bentuk ideal yang kita harapkan, ia merupakan sosok yang kita dambakan dalam alam sadar dan bawah sadar kita. Pada alam sadar, kita terus menilai setiap sosok temui yang kemudian dievaluasi oleh alam bawah sadar, kotak penyimpan nilai standar. Alam sadar memberikan ujian – ujian pada dimensi – dimensi yang berbeda. Sikap marah, senang, iri, dan bahagia hanyalah sedikit standar ukur yang sering kita gunakan menilai. Nilai – nilai yang ada yang akan cocokan dengan jawaban yang ada dalam papan bawah sadar kita. Setelah itu layaknya komputer, kita langsung menampilkan tabel dan grafik perasaan. Kemudian, hasil tersebut dibandingkan dengan kotak penyimpan nilai standar tersbut. Setiap sosok akan menempati rangking sendiri dalam hati.

Pada kasus Sarman, aku mencoba memahaminya Lady sebagai pemantik aktifnya kotak penyimpan nilai standar tersebut. Siapa pun bisa menjadi pemantiknya, namun setiap manusia memiliki pemantik dan cara yang berbeda untuk menyalahkan. Jika salah satu diantara kita ada perempuan, bisa jadi pemantik itu adalah sosok ayah, teman di perjalanan mudik, temannya teman, sepupu, adik kita atau siapa pun.

Tuhan YME mendatangkan sang pemantik dengan caranya sendiri. Ia bisa datang karena suatu kesengajaan atau pun kadang tidak. Invisible Hand yang dimiliki Tuhan, membuat hidup ini selalu menarik. Melalui tangan – tangan tersembunyiNya Tuhan mempertemukan, memisahkan atau menyatukan setiap insan. Sang pemantik bisa jadi terbakar bersama api yang dibakarnya, bisa redup lantas mati atau hanya mengiringi dalam separuh pembakaran, semua tergantung pada kehendak Sang Pencipta.

Lady merupakan jenis pemantik yang menyulut lantas mati. Ia membakar api cinta tapi lantas menghilang.  Ia menghilang bukan karena mati melainkan lenyap karena seperti itu kehendak Tuhan menempatkannya. Mungkin Tuhan memandang Lady menjadi pemantik, bukan menjadi api yang tumbuh besar dan mati bersama kayu yang dibakar. Meski Lady telah tiada menghilang bersama waktu, ia tetap menjadi sosok ideal yang hidup di sanubari Sarman. Tuhan telah menyiapkan api yang lebih baik untuk Sarman untuk menemani hingga menjadi abu. Ia bukanlah pemantik, karena ia merupakan api yang sesungguhnya. Dan percayalah ia telah tertulis di Lauhul Manfuz, Papan Besar, yang mencatat kejadian yang telah digariskan Tuhan Yang Maha Esa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline