Indonesia di masa lalu ada gambaran yang muram. Termasuk dalam urusan perminyakan. Negara besar ini terlambat memahami kebutuhan yang diperlukan. Sehingga berpuluh tahun lamanya bergantung pada negara kecil seperti Singapura untuk mencukupi pasokan BBM-nya. Ironis memang.
Tapi tahun-tahun kelam itu telah berakhir. Ada secercah harapan baru di tubuh Pertamina. Transformasi telah dilakukan. Hambatan Pertamina sebenarnya dari segi politik. Karena ini perusahaan negara yang sendiko dhawuh terhadap kebijakan Pemerintah.
Di masa lalu kita tahu bagaimana wajah pemerintahan kita. Bangsa ini dininabobokan dengan kecukupan sumber energi dan sumber pangan. Setelah ledakan penduduk terjadi, dan kita mengalami defisit dalam banyak hal, barulah terjadi ketimpangan.
Jalan untuk menambal defisit itu dilakukan dengan jalan impor. Selama bertahun-tahun bangsa ini menempuh jalan pintas. Persoalan sebenarnya tidak diselesaikan. Ini juga yang terjadi dalam urusan penyediaan BBM selama ini.
Barulah ketika Jokowi memimpin, pembangunan kilang mulai direncanakan. Indonesia harus mandiri dalam hal energi. Sebelumnya, Indonesia selalu mengimpor BBM dalam jumlah besar, karena tidak punya kilang sendiri, atau kilangnya tidak memadai. Sejak 2014 itulah mulai dibangun enam kilang. Terdiri dari kilang pengembangan atau Refinery Development Master Plan (RDMP) dan kilang baru atau Grass Root Refinery (GRR).
Dengan proyek RDMP dan GRR akan meningkatkan kapasitas kilang untuk pengolahan minyak mentah menjadi dua kali lipat, dari 1 juta barrel pada saat ini, menjadi 2 juta barrel. Hal itu akan membuat defisit BBM bisa ditutupi. Kita tak perlu membuang uang untuk membeli bahan bakar jadi.
Indonesia tidak akan bergantung lagi dengan impor BBM jika kilang yang dibangun itu segera selesai. Karena kita bisa mengolahnya sendiri. Dari olahan minyak itu pula akan muncul industri lanjutan, misalnya petrokimia.
Beban berat itu kini ada di pundak Pertamina. Memang ada kesalahan masa lalu yang telah terbiarkan selama 30 tahun. Indonesia menjadi sapi perah eksportir minyak dunia. Singapura salah satunya. Di bawah Pemerintahan Jokowi, cara pandang itu diubah. Pertamina di bawah kendali Dirut Nicke Widyawati mencoba menghadapi tantangan tersebut.
Memang bukan langkah yang mudah. Membangun kilang itu butuh modal besar. Pertamina atau Negara, mungkin tidak akan membiarkan uang besar mandek di sana. Membangun kilang memang penting, tapi memastikan kelangsungan likuiditas perusahaan jauh lebih penting.
Oleh sebab itu, Pertamina menjalin kerjasama dengan pihak yang mampu melaksanakannya. Terjadi kerja patungan dengan pihak lain agar keuangan Pertamina tidak tergerus semuanya. Salah satunya dengan Saudi Aramco yang sudah berpengalaman soal perminyakan.
Pertamina adalah perusahaan kelas dunia. Usianya sudah 62 tahun. Di sepanjang perjalanan itu tentu ada kisah pasang-surut. Pertamina terus menapak dengan membuktikan peningkatan kualitas. Memang tidak mudah, tapi mereka terus berbenah. Terbukti perusahaan ini terus memberikan kontribusi yang menanjak bagi negara.