Gempa 6,3 SR yang mengguncang Jogjakarta dan Jawa Tengah pada Mei 2006 silam, hanya berlangsung 57 detik saja. Namun dampaknya, lebih dari 5.700 orang meninggal dan tak kurang dari 40.000 yang terluka. Gempa yang kurang dari 1 menit itu bahkan mampu menyebabkan 570.490 rumah rusak. Seketika, jutaan jiwa kehilangan segalanya, orang-orang yang dicintainya, harta benda yang dimilikinya. Sekejap saja, mereka yang kaya harta menjadi miskin dan mereka yang miskin seolah tak lagi punya harapan.
Ketika Gunung Merapi meletus pada 21 September 2010 dan disusul dengan beberapa letusan berikutnya dalam rentang waktu yang berdekatan, berdampak pada sektor permukiman, infrastruktur, telekomunikasi, listrik dan energi, serta air bersih. Di sektor permukiman, akibat erupsi Gunung Merapi telah mengubur sejumlah dusun di Provinsi DI Yogyakarta dan mengakibatkan ribuan rumah penduduk mengalami kerusakan. Tercatat 2.636 unit rumah rusak berat dan tidak layak huni, 156 rumah rusak sedang, dan 632 rumah rusak ringan, sehingga secara keseluruhan 3.424 rumah di wilayah Provinsi DI Yogyakarta yang mengalami kerusakan dampak erupsi Gunung Merapi. Sementara di wilayah Provinsi Jawa Tengah, tercatat total 3.705 rumah yang mengalami kerusakan akibat erupsi Gunung Merapi, dengan sebaran 551 rumah rusak berat, 950 rumah rusak sedang, dan 2.204 rumah rusak ringan.
Berdasarkan hasil penilaian kerusakan dan kerugian yang diakibatkan erupsi Gunung Merapi, sesuai data tanggal 31 Desember 2010 yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dampak bencana erupsi Gunung Merapi tersebut telah menimbulkan kerusakan dan kerugian sebesar Rp. 3,557 triliun. Kerusakan dan kerugian terbesar terjadi pada sektor ekonomi produktif dengan perkiraan kerusakan dan kerugian mencapai Rp. 1,692 triliun (46,64% dari total nilai kerusakan dan kerugian), kemudian diikuti sektor infrastruktur sebesar Rp. 707,427 miliar (19,50%), sektor perumahan Rp. 626,651 miliar (17,27%), lintassektor Rp. 408,758 miliar (13.22%), dan sektor sosial Rp. 122,472 miliar (3,38%).
Data dari dua bencana diatas sama sekali tak mewakili puluhan atau bahkan ratusan ribu bencana yang pernah terjadi di negeri ini. Namun dua data tersebut sedikit menggambarkan bahwa bencana boleh disebut sebagai penyebab kemiskinan tercepat di muka bumi ini.
Bisa dibayangkan, gempa selalu terjadi dalam hitungan detik, namun dampaknya sangat luar biasa. Tsunami pun demikian, sebagai rangkaian dari gempa prosesnya hanya beberapa menit, namun daya hancurnya sangat dahsyat. Angin puting beliung, biasanya hanya berlangsung dalam hitungan menit, ia mampu melibas dan menerbangkan apa saja yang dilintasinya seperti rumah, kendaraan atau hewan ternak. Belum lagi banjir bandang, datangnya tiba-tiba, beberapa menit saja. Rumah, ladang dan kebun, ternak dan perniagaan langsung habis tersapu banjir.
Banyak orang tak mengira bahwa perniagaan yang dijalani puluhan tahun, rumah yang dibangun dengan biaya ratusan juta bahkan miliaran rupiah, perkebunan yang turun temurun menghidupi keluarga, kendaraan yang dibeli dengan jerih payah hasil bekerja bertahun-tahun, perabotan rumah yang dicicil beberapa bulan dan tahun, perhiasan yang disimpan bertahun-tahun untuk bekal pendidikan anak-anak saat dewasa nanti, dalam sekejap hilang, hancur, ludes terberangus bencana. Saat itu juga, sebagian orang tak mampu menahan tangis, sebagian lain bahkan merasa hidupnya sudah habis sehingga berpikir lebih baik mengakhiri hidup. Putus asa.
Kehadiran para relawan dan donatur ke lokasi bencana, seperti menghidupkan kembali harapan mereka. Bahwa mereka tak sendiri meratapi nasib, bahwa ada yang masih mau mendengar tangisannya, memeluk deritanya dan menghapus air mata dukanya. Namun kesedihan tak serta merta usai saat gempa, tsunami, banjir bandang, angin puting beliung dan bencana lainnya berlalu.
Sebagai contoh kita bicara banjir dan dampak yang ditimbulkannya. Saat banjir tiba, rumah terendam hingga menyisakan atap. Tak satupun barang-barang berharga yang sempat diselamatkan kecuali baju yang menempel di badan. Di dalam rumah, ada banyak perabot rumah yang rusak oleh banjir, elektronik yang tak mungkin lagi bisa digunakan, perhiasan yang hanyut, tempat tidur yang basah dan berlumpur, pakaian yang habis terseret banjir, buku-buku dan peralatan sekolah yang rusak dan hilang, serta rumah yang setelah banjir surut biasanya masih dipenuhi lumpur setinggi satu meter. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H