Jam menunjukkan sekitar pukul 10 pagi menjelang siang. Bareng teman, saya pergi ke ITB naik motor buat beli tiket. tiket apakah itu? tabu untuk diungkapkan. Intinya bukan tiket masuk job fair. loh!!! Ada perasaan aneh sekaligus gelisah sesaat setelah motor diterbangkan (maksa banget ngelucunya). Sepengalaman saya, jam-jam segitu adalah waktu rawan razia kendaraan bermotor. Ditambah lagi, jalan yang akan saya lewati adalah jalan yang biasanya dimanfaatkan Pak Polisi buat menggelar tahlilan, atau lebih tepatnya menggelar razia. sepanjang perjalanan, saya mencoba untuk menghilangkan perasaan gundah tersebut. Dan berharap hanya perasaan belaka dan bukan kenyataan. Alhamdulillah yah.......saya akhirnya berkesempatan 'bersilaturahim' dengan bapak-bapak berseragam coklat. Maksudnya bapak pramuka? pengennya sih gitu, nyatanya mereka lah yang saya harapkan tidak bertemu untuk saat ini. Pak Polisi. Ah..lagipula ngapain mesti gelisah? toh, surat-surat motor saya lengkap semua. Ada surat akte kelahiran, surat keluarga, surat cinta sampai surat dengan alamat palsunya Ayu Ting Ting pun saya siapin. Dijamin deh, bapak polisi yang nyegat saya bakalan keki berat, tahu kalau calon 'korban' nya memiliki semua persyaratan berkendara. Satu hal yang sempat dikhawatirkan adalah, helm kawan saya yang tidak standar. Dan ketakutan saya terjadi juga. motor saya dihadang pak polisi yang sangar dan sangat berwibawa. dalam hati saya katakan, "mampus gue, kena kali ini. helm butut itu biang keroknya". Dan sudah terlihat tanda-tanda bahwa saya bakal kena tilang. Dilihat dari pak polisi yang langsung mengeluarkan surat tilangnya dan mencoret-coret sesuatu. Saya iseng nanya, "pak, lagi nulis apa?" Pak polisi jawab, "lagi nulis diary" Ternyata setelah dijelaskan, bahwa saya kena tilang karena tidak menyalakan lampu besar di siang hari. Saya menghela nafas dengan sangat berat seolah-olah menyalahkan waktu dan kesempatan yang tidak tepat. kenapa? karena sebelumnya, setiap saya pergi naik motor, lampu besar pasti saya nyalakan dengan kesadaran sendiri bukan karena paksaan atau tekanan pengaruh tilang jika tidak menyalakannya. Giliran saya sedikit khilaf tidak menyalakan malah langsung kena tilang. Secara spontan, otak saya langsung bekerja agar tidak sidang atau SIM dan STNK tida ditahan (jujur, saya memang warga yang kurang taat hukum). Dan mencoba agar menggantinya dengan uang sidang ditempat. Tampaknya pak polisi juga ngga mau ribet. Dia bilang, "ada uneg-uneg yang ingin disampaikan?" karena melihat muka saya yang dipasang memelas kaya adegan seorang anak siap didampat ibu tirinya. Dengan terbat-bata saya menjawab, "ii..ii..iya pak. Mmm...gimana ya, pak? baiknya saya langsung bayar dendanya aja deh. Saya nggak bisa menunggu waktu sidang sambil SIM dan SYNK saya ditahan" "kamu ada berapa?" kata pak polisi to the point namun wajahnya berpaling pada surat tilang yang keliatannya masih asyik nulis diary. Imajinasi saya yang tinggi mengatakan bahwa tulisannya sudah sampai pada, "dan anak muda culun itu pun menyerah...ingin berdamai dengan uang tebusan...dan jangan harap saya melepasnya dengan mudah dan murah. hahahaha" Saya keluarkan uang 20 ribu rupiah. Pak polisi langsung menolak, "mana bisa!" Saya tambah satu lagi uang 20 ribu rupiah jadi total 40 ribu rupiah. dan, huup...dengan sigap uang pun berpindah tangan. Rela nggak rela sih. "pak, kalo bisa pake kembalian dong, 10 ribu juga ngga apa-apa?" kata saya ngarep. Pak Polisi mendelik lalu sambil melengos pergi dia bilang, "harusnya kamu saya tilang berkali lipat. Asal kamu tahu, kalo UU muka jelek sudah disahkan, sudah pasti kamu bakal kena!" !@!@#%!%$^#^%&% [caption id="" align="alignnone" width="595" caption="Satria Baja Hitam pun kena tilang"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H