Nestapa Hati Nurani
Oleh Bayu Aristianto
Potret tubuh rentan lelaki berperawakan kurus sembari mendorong gerobak lusuh, ditengah hiruk pikuk gempita masyarakat urban-kosmopolitan, tentu tak ayal menyiratkan kesenjangan distribusi kesejahteraan yang akut. Kisah Walang (64 tahun) dan Sa’aran (60 tahun) mengais pundi-pundi rupiah di ibukota sebagai “pengemis keliling” seolah menegur palung bathin setiap yang memandang. Rasa iba serta sedih berpadu dengan keprihatinan berujung pada upaya konkret meringankan beban ekonomi melalui pemberian beberapa lembar rupiah. Sekilas tampak jelas corak masyarakat masih kental nuansa “kesalehan sosial” disamping bentuk pencitraan diri dengan label filantropi kontemporer.
Bahwa ternyata setelah diciduk oleh Satpol Pamong Praja Pancoran dan diinapkan di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2, Cipayung, ditemukan pecahan 100 ribuan dan 2 ribuan dengan akumulasi total 25 juta lebih merupakan fenomena sosial yang mencengangkan. Pasalnya kejadian Walang dan Sa’aran diakui sebagai antiklimaks problematika merebaknya orang miskin bermental pengemis. Nominal 25 juta tentu bukanlah jumlah yang sedikit di tengah fluktuasi ekonomi kini, apalagi jumlah demikian diduga terkumpul dari “meminta bela kasih dari pengguna jalan”. Terlepas dari kebenaran pengakuan Walang bahwa uang di dalam gerobaknya hasil dari menjual sapi, akan tetapi diakui fenomena ini masih menyisakan kegetiran terkait usaha mengemis yang seakan telah bertransformasi menjadi satu bidang profesi tersendiri.
Penulis meraba atas meluasnya kemiskinan di negeri ini tidak serta merta menempatkan masyarakat terpinggirkan (marginal), mengambil keputusan “beradu takdir” sebagai pengemis di kota besar. Parameter seseorang memilih “memutus urat malu” sebagai pengemis seringkali disebabkan masyarakat menengah (berkecukupan) menganggap dengan memberikan sedikit rupiah akan berandil pada citra diri yang positif. Pola pikir dan pandangan agama (religious worldview) dikalangan kaum berada, tidak dapat dinafikan juga berkontribusi pada sikap dermawan kepada kelompok masyarakat bawah. Ungkapan bahwa “pengemis tidak akan tuntas, apabila masyarakat masih terfragmen pada kedermawanan konsumtif dibandingkan bantuan produktif”, sungguh memperoleh pembenaran atas fakta empirik di ranah nyata. Masyarakat masih menempatkan hati nurani sebagai payung pembenaran atas sikap dermawan kepada pengemis, sampai titik ini terasa relevan tindakan memberikan rupiah kepada pengemis guna mempersempit kesenjangan sosial yang masih mengangga.
Namun sungguh menjadi paradoks sosial, apabila distribusi kemakmuran hanya pada penyaluran bantuan konsumtif semata. Melepaskan fungsi produktif dari bantuan tentu akan bertentangan denganasas cita-cita menuntaskan kemiskinan. Oleh karena itu produktifitasan bantuan kepada kaum papa akan menjadi barometer meningkatkan taraf sosial-ekonomi penerima bantuan. Sedangkan bantuan konsumtif hanya menambah besar kemungkinan lahirnya pengemis-pengemis baru.
Terakhir, penulis menyadari bahwa memperhadapkan kenyataan real dengan idealitas cita-cita hanya akan melahirkan perbenturan kontraproduktif. Untuk itu perlu penalaran serta pemahaman kembali untuk menggunakan hati nurani secara proporsional sesuai kadar keyakinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H