Lihat ke Halaman Asli

Riba dalam Desain Kesejarahan

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kajian mengenai riba senantiasa menjadi diskursus hangat dalam ilmu ekonomi Islam. Hal ini terlihat dari pembahasan mengenai riba yang senantiasa mewarnai konstalasi pemikiran umat Islam dan perdebatannya hampir tidak menemukan titik temu. Perdebatan pemikiran mengenai riba dan bunga bank menunjukkan bahwa persoalan riba sebenarnya sangat terkait erat dengan masalah uang. Evolusi konsep riba ke bunga tidak lepas dari perkembangan lembaga keuangan. Untuk itu, tulisan ini mencermati dan menganalisis persoalan riba dalam pendekatan Historis (Historical Approach).

Konsep riba sebenarnya telah lama dikenal dan kerap mengalami perkembangan dalam pemaknaan dan interpretasi memahami konsepsi riba secara komprehensif dan holistik. Kajian mengenai riba, ternyata bukan hanya menjadi bahan perbincangkan umat Islam samata, tetapi berbagai kalangan di luar Islam-pun memandang serius persoalan ini. Jika dirunut mundur hingga lebih dari dua ribu tahun silam, kajian riba ini telah dibahas oleh kalangan non-Muslim, seperti Hindu, Budha (Rivai, dkk, 2007: 761), Yahudi, Yunani, Romawi dan Kristen (Antonio, 2001: 42).

Konsepsi  riba di kalangan Yahudi, yang dikenal dengan istilah “neshekh” dinyatakan sebagai hal yang dilarang dan hina. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian lama) maupun dalam undang-undang Talmud. Banyak ayat dalam Old Testament yang melarang pengenaan bunga pada pinjaman kepada orang miskin dan mengutuk usaha mencari harta dengan membebani orang miskin dengan riba (Antonio, 2001: 43) diantaranya adalah sebagai berikut:

1.Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan sebagai berikut: “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engakau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia; janganlah engkau bebankan bunga uang terhadapnya”.

2.Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyebutkan sebagai berikut: “Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan atau apapun yang dapat dibungakan”.

3.Kitab Levicitus (Imamat) pasal 25 ayat 36-37 menyatakan sebagai berikut: “Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba”.

Sedangkan pada masa Yunani dan Romawi Kuno, praktek riba merupakan tradisi yang lazim berlaku (Islahi, 1988: 124). Pada masa Yunani sekitar abad VI SM hingga 1 M, terdapat beberapa jenis bunga yang bervariasi besarnya (Antonio, 2001: 43). Sementara itu, pada masa Romawi, sekitar abad V SM hingga IV M, terdapat undang-undang yang membolehkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan “tingkat maksimal yang dibenarkan hukum” (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu, namun pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double countable).

Pada masa Romawi terdapat 4 jenis tingkat bunga (Antonio, 2001: 44), yaitu sebagai berikut:

1.Bunga maksimal yang dibenarkan: 8%-12%

2.Bunga pinjaman biasa di Roma: 4%-12%

3.Bunga di wilayah taklukan Roma: 6%-100%

4.Bunga khusus Byzantium: 4%-12%

Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga tersebut dicela oleh para ahli filsafat Yunani, diantaranya Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM), begitu pula para ahli filsafat Romawi, seperti Cato (234-149 SM), Cicero (106-43 SM) dan Seneca (4 SM-65 M) mengutuk praktik bunga, yang digambarkannya sebagai tindakan tidak manusiawi (Islahi, 1988: 124). Konsep riba di kalangan Kristen mengalami perbedaan pandangan, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga periode sebagai berikut:

Pertama, pandangan para pendeta awal Kristen (abad I-XII) yang mengharamkan riba dengan merujuk pada Kitab Perjanjian Lama dan undang-undang dari gereja. Pada abad IV M, gereja Katolik Roma melarang praktik riba bagi para pendeta, yang kemudian diperluas bagi kalangan awam pada abad V M. Pada abad VIII M, di bawah kekuasaan Charlemagne, gereja Katolik Roma mendeklarasikan praktik riba sebagai tindakan kriminal (Iqbal dan Mirakhor, 2007: 71).

Kedua, pandangan para sarjana Kristen (abad XII-XVI) yang cenderung membolehkan bunga, dengan melakukan terobosan baru melalui upaya melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pemikiran bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274) dan St. Thomas Aquinas (1225-1274) (Antonio, 2001: 47).

Ketiga, pandangan para reformis Kristen (abad XVI-1836) seperti Martin Luther (1483-1536), Zwingli (1454-1531), Bucer (1491-1551) dan John Calvin (1509-1564) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga (interest). Pada periode ini, Raja Henry VIII memutuskan berpisah dengan Gereja Katolik Roma, dan pada tahun 1545 bunga (interest) resmi dibolehkan di Inggris asalkan tidak lebih dari 10%. Kebijakan ini kembali diperkuat oleh Ratu Elizabeth I pada tahun 1571 (Karim, 2001: 72; Rivai, dkk, 2007: 763).

Dengan latar belakang sejarah tersebut di atas, maka seluruh praktik operasionalisasi perbankan modern yang mulai tumbuh dan berkembang sejak abad XVI M ini menggunakan sistem bunga. Sistem bunga ini mulai tumbuh, mengakar, dan mendarah-daging dalam industri perbankan modern sehingga sulit untuk dipisahkan. Bahkan mereka beranggapan bahwa bunga adalah pusat berputarnya sistem perbankan. Jika tanpa bunga, maka sistem perbankan menjadi tak bernyawa dan akhirnya perekonomian akan lumpuh (Mannan, 1997: 165). Sementara itu, riba telah jelas dan tegas dilarang dalam Islam. Pelarangan riba dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan secara bertahap, sejalan dengan kesiapan masyarakat pada masa itu, seperti pelarangan minuman keras. Adapun tahap-tahap pelarangan riba dalam al-Qur'an dapat dijelaskan sebagai berikut:

a)Tahap pertama, disebutkan bahwa riba akan menjauhkan kekayaan dari keberkahan Allah, sedangkan shodaqoh akan meningkatkan keberkahan berlipat ganda (QS. Ar-Rum: 39).

b)Tahap kedua, pada awal periode Madinah, praktik riba dikutuk dengan keras, sejalan dengan larangan pada kitab-kitab terdahulu. Riba dipersamakan dengan mereka yang mengambil kekayaan orang lain secara tidak benar dan mengancam kedua belah pihak dengan siksa Allah yang pedih (QS. An-Nisa’: 160-161).

c)Tahap ketiga, pelarangan riba dengan dikaitkan pada suatu tambahan yang berlipat ganda (QS. Ali Imron: 130). Ayat ini turun setelah perang Uhud yaitu tahun ke-3 Hijriyah. Menurut Antonio (2001: 49), istilah berlipat ganda harus dipahami sebagai sifat bukan syarat sehingga pengertiannya adalah yang diharamkan bukan hanya yang berlipat ganda saja sementara yang sedikit, maka tidak haram, melainkan sifat riba yang berlaku umum pada waktu itu adalah berlipat ganda.

d)Tahap keempat merupakan tahap terakhir di mana Allah dengan tegas dan jelas mengharamkan riba, menegaskan perbedaan yang jelas antara jual beli dan riba dan menuntut kaum Muslimin agar menghapuskan seluruh hutang-pihutang

yang mengandung riba (QS. Al-Baqarah: 278-279).

Pergulatan konteks sejarah tentu mempengaruhi secara dominan proses menginterpretasikan konsep riba. Uraian singkat diatas merupakan bagian dari dialektika memahami terma riba dalam ranah kesejarahan. Kultur masyarakat memiliki andil untuk menempatkan diskursus mengenai riba dalam kerangka perjalanan sejarah. Diakui bersama bahwa integrasi dan interkoneksi menjadi parameter penting untuk membedah pemahaman yang utuh dan padu terkait riba karena disadari bahwa pendekatan historis adalah satu bagian penting menilai gejala ekonomi kontemporer selain juga tetap membutuhkan pendekatan lainnya agar memperoleh kolektifitasan keilmuan yang paripurna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline