Lihat ke Halaman Asli

Kontekstualisasi Kajian Murabahah dalam Doktrin Filsafat

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A.Pendahuluan

Upaya mengembangkan ekonomi syariah, sebagai core alternatif mendistribusikan kesejahteraan merupakan gejala dalam dunia bisnis syariah dewasa ini. Keadaan demikian ditandai merebaknya produk-produk berbasis “syari’ah” di beragam lembaga keuangan maupun lembaga pengembangan ekonomi masyarakat. Khususnya lembaga perbankan kini memandang bahwa menjalankan produk “syari’ah” dianggap marketable dan bankable dalam meningkatkan profitabilitas serta menjamin peran pemerataan ekonomi berkeadilan di kalangan masyarakat.

Bercermin bahwa diakui iklim perekonomian global saat ini masih membutuhkan produk berbasis pengembangan kemandirian masyarakat guna menjawab dinamika dan perubahan kebutuhan masyarakat kontemporer. Hal demikian juga menjadi kekhawatiran umat Islam, ditengah gejolak ekonomi pada satu dasawarsa terakhir. Ekonomi kapitalis (berlandaskan pada stigma mensukseskan pendapatan dari aspek kapital/modal) belum memberikan kestabilan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan yang mumpuni, disamping semakin meluasnya jarak (gap) antara kelompok proletar (masyarakat kelas bawah) dengan masyarakat elite (borjouis). Hadirnya ekonomi syari’ah tidak hanya dipahami sebagai terobosan alternatif menjawab tantangan lembaga keuangan modern akan tetapi sepantasnya menempatkan ekonomi syariah sebagai bagian penting menyelesaikan problematika kemiskinan, peningkatan taraf kehidupan sosial-ekonomi masyarakat, dan membentuk kestabilan perekonomian yang memadai.

Tentu memperbincangkan ekonomi syari’ah, tidak lepas dari perspektif produk-produk yang ditawarkan, diantaranya musyarakah, mudharabah, murabahah, ijarah, hiwalah, qard hasan, dan lain sebagainya. Landasan ekonomi Islam merupakan bentuk dari sistem ekonomi berbasis transaksi jual-beli (sell and buy transaction) dengan menfokuskan pada pertukaran objek transaksi, dan penambahan nilai keuntungan berdasarkan pada konsensus diantara kedua pihak, dibandingkan ekonomi kapitalis yang berfokus pada langkah meraup keuntungan (capital) semaksimal mungkin melalui sistem bunga (interest). Pada titik inilah garis berseberangan antara ekonomi syari’ah dengan ekonomi kapitalis terlihat jelas, meskipun nantinya jenis produk kedua sistem ekonomi tersebutakan berdinamika sesuai dengan konteks kebutuhan dalan lingkup ruang dan waktu, tanpa meninggalkan subtansi nilai-nilai dasar, dimana ekonomi syari’ah berlandaskan prinsip akuntabilitas dan keterbukaan informasi pada transaksi jual-beli dan ekonomi kapitalis berbasis peningkatan keuntungan modal melalui presentase bunga yang tinggi. Pada karya tulis ini, penulis berupaya merekonstruksi ekonomi syariah dari aspek produk mudharabah, hal tersebut disebabkan keinginan kuat untuk menjabarkan konsep mudharabah dalam perspektif filsafat. Walaupun disadari bahwa kajian ini tidak lepas dari konteks kesejarahan. Kajian filsafat sejatinya memposisikan suatu objek pengamatan dari sisi substansial, oleh karena itulah penulis melakukan penalaran keilmuan secara lebih mendasar terkait konsep mudharabah.

B.Doktrin Filsafat Bisnis Ekonomi Islam Pada Prinsip Murabahah

Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berusaha, termasuk melakukan kegiatan-kegiatan bisnis. Dalam kegiatan bisnis, seseorang dapat merencanakan suatu dengan sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan sesuatu yang diharapkan, namun tidak ada seorangpun yang dapat memastikan hasilnya seratus persen. Suatu usaha, walaupun direncanakan dengan sebaik-baiknya, namun tetap mempunyai resiko untuk gagal. Faktor ketidakpastian adalah faktor yang given, sudah menjadi sunnatullah, sebagaimana Allah SWT bersabda :“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”

Landasan teologis normatif (syari’ah) diperbolehkannya pelaksanaan prinsip murabahah, sebagaimana dapat disimak pada ayat 29 surat An-Nisa’ berikut :“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali ada transaksi di antaramu”

Petikan nilai normatif ayat Al-Qur’an diatas tentu dapat dipahami sebagai landasan substansial diperbolehkannya aplikasi dan aktualisasi prinsip murabaha dalam sistem perekonomian modern. Siti Murtiyani, pakar ekonomi kontemporer, menjelaskan bahwa prinsip murabaha menekankan pada konsep tolong menolong (ta’awun) dalam menghadapi ketidakpastian pasar. Hal demikian merupakan salah satu prinsip yang sangat mendasar dari ekonomi Islam, yang dianggap dapat mendukung aspek keadilan. Keadilan merupakan aspek mendasar dalam perekonomian Islam.[1] Penetapan suatu hasil usaha didepan dalam suatu kegiatan usaha dianggap sebagai sesuatu hal yang dapat memberatkan salah satu pihak yang berusaha, sehingga melanggar aspek keadilan. Hal ini karena prinsip ketidaktentuan usaha sehingga hasil yang didapat bisa sangat bervariasi, dari mulai untung sampai rugi. Sebagai contoh, bunga adalah suatu hasil yang ditetapkan didepan, sebelum usaha, sehingga bunga seperti memastikan usaha pasti mendatangkan keuntungan, dan bisa jadi memberatkan salah satu pihak.

Prinsip murabahah selain menerapkan transaksi jual-beli berkeadilan juga mengaplikasikan konsepsi sharing (berbagi). Penerapan konsep sharing sesungguhnya mempunyai manfaat yang sangat besar, namun penerapan konsep sharing mempunyai beberapa kelemahan. Agar optimal, penerapan konsep sharing harus dilakukan dengan pengetahuan yang memadai agar mekanisme sharing yang memiliki tujuan yang baik ini tidak disalahgunakan pihak yang semata-mata ingin mengambil keuntungan.[2] Doktrin ekonomi Islam di transformasikan dalam mekanisme memahami konsep sharing (berbagi). Secara mendalam sharing dalam Islam tentu memerlukan pemahaman komprehensif dan holistik. Pemilihan kontrak bagi muslim ditentukan oleh minimal dua faktor penentu, yaitu ekspektasi keuntungan yang diharapkan (tinggi) dan sesuai dengan syariah. Berbeda dari preferensi non muslim yang hanya berdasarkan keuntungan semata, preferensi muslim dalam memilih tipe kontrak harus sesuai dengan konsep maslahat yang sesuai dengan syariah. Kontrak yang walaupun mendatangkan keuntungan yang sangat besar, namun jika tidak sesuai dengan syari’ah , tidak dapat diterima. Kontrak dengan bunga yang tinggi misalnya, memang mendatangkan keuntungan yang besar, namun tidak sesuai dengan syariah, maka kontrak itu ditolak.

Sharing, merupakan suatu kontrak usaha yang dianjurkan dalam Islam Konsep syariah sangat menganjurkan tolong menolong dalam menghadapi ketidakpastian dalam dunia usaha. Anjuran Islam tersebut ditambah lagi dengan petunjuk yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas transaksi kontrak. Anjuran tersebut misalnya perintah untuk berbuat jujur (Sidiq). Konsep kejujuran akan mendorong transparansi dalam berkontrak. Transaparansi dapat melahirkan kontrak usaha yang bermutu dan berkualitas. Islam juga mempunyai konsep penghargaan terhadap waktu dan dorongan untuk bekerja keras didunia. Penghargaan terhadap waktu dan bekerja keras adalah syarat untuk keberhasilan suatu usaha. Islam juga mewajibkan amanah terhadap sesuatu yang dipercayakan orang kepada kita. Konsep amanah adalah konsep yang sangat diperlukan dalam sebuah kontrak usaha, apalagi sharing. Ketiga konsep Islam tesebut tentu sangat mendorong terjadinya kontrak yang berkulitas dalam sharing.

Pembahasan konsep sharing secara empiris maupun teoritis sebenarnya telah banyak dilakukan oleh para ekonom. Hal ini karena sharing memang dilakukan oleh berbagai macam masyarakat. Dari beberapa pembahasan, muncul beberapa permasalahan yang menjadikan sharing tidak optimal. Masalah yang menyebabkan tidak optimalnya sharing antara lain adalah level informasi yang berbeda yang dialami oleh pihak yang melakukan kontrak sharing, dan preferensi masing-masing individu pelaku sharing tersebut. Sejak awal Islam menuntun umatnya, untuk mengedepankan keadilan dan kesejahteraan, nilai-nilai esensi dari doktrin ekonomi Islam juga menempatkan keadilan dan konsep berbagi (sharing) sebagai wadah meningkatkan taraf perekonomian masyarakat. Namun disadari bahwapenulis berupaya menyajikan beberapa permasalahan yang memerlukan perhatian yang seksama terkait sharing, diantaranya:

1.Preferensi Individu

Bagi individu, pemilihan jenis kontrak termasuk sharing, ssungguhnya ditentukan oleh faktor utama sejauh mana jenis usaha tersebut dapat memberikan ekspectasi pendapatan yang tinggi . Dalam prinsip ekonomi, manusia yang rasional adalah manusia yang berfikir margin yang didapat dan prinsip opportunity cost.[3] Seseorang lebih suka mendapatkan lebih banyak daripada mendapatkan lebih sedikit. Namun dalam Islam, tentu saja terdapat perbedaan dari segi preferensi. Seorang Muslim tidak hanya sekedar mengejar hasil yang banyak atau keuntungan tanpa mempertimbangkan faktor etika dan moral. Faktor moral, halal dan haram, etika adalah hal yang juga sangat dipertimbangkan dalam preferensi individu.

Kontrak sharing, pada prinsipnya memberikan keleluasaan bagi pengusaha (Fund User) untuk menentukan level optimal usaha yang dilakukannya. Pada kondisi seperti itu maka preferensi individu dari masing-masing pihak akan menentukan kontrak sharing.[4] Dengan kata lain, seorang shahibul mal ingin keuntungan yang besar, seorang mudharib pun menginginkan keuntungan yang besar pula.

2.Asymmetric Information

Kondisi tersebut adalah kondisi tersebut akan sangat ideal bila masing-masing pihak mendapatkan informasi yang lengkap dan berimbang (Symmetric Information). Pada keadaan ini, pilihan sharing adalah pilihan yang sangat ideal. Dalam prakteknya, sangat kecil kemungkinan didapatkan kondisi ideal, dimana informasi yang didapat simetrik.[5] Ketidak jelasan atau ketidak seimbangan dalam informasi ini yang terjadi pada saat kontrak akan meningkatkan absolut risk aversion.[6] Sebagai contoh misalnya, seorang shahibul mal ingin memberikan pinjaman kepada mudharib. Karena kurangnya informasi mengenai harapan tingkat return (expected return) dari suatu usaha, maka shahibul mal akan bertindak risk averse (menghindari resiko). Tindakan ini wajar sebagai perilaku melindungi investasinya. Tindakan risk averse ini akan mempengaruhi kesehatan likuiditas (aliran modal),[7] sehingga sharing berjalan tidak optimal.

Kondisi asymmetric information dalam sharing ini dapat terjadi karena dua hal yaitu :

a.Sulitnya mengaudit integritas dan akuntabilitas antara dua pihak yang berkontrak.

b.Terbatasnya informasi mengenai produktivitas suatu usaha.

Terbatasnya informasi mengenai produktifitas suatu usaha juga menjadi suatu permasalahan dalam optimalisasi sharing. Untuk mengantisipasi asymmetric information dalam pembiayaan murabahah memungkinkan adanya dhomman (jaminan), karena sifat dari pembiayaan murabahah merupakan jual-beli yang pembayarannya tidak dilakukan secara tunai, maka tanggungan pembayaran tersebut merupakan hutang yang harus dibayar oleh mustari (pihak pembeli). Penggunaan anggunan (dhomman/jaminan) sejatinya dimaknai sebagai tindakan ba’i (penjual) untuk menerapkan prinsip kehati-hatiaan (prudential principle).

Dalam usaha, mudharib seringkali mempunyai informasi yang lebih banyak daripada shahibul mal. Shahibul mal, walaupun memiliki data, namun biasanya tidak seakurat dan serinci mudharib sebagai pelaku usaha. Hal seperti ini bisa menyebabkan mudharib memiliki keuntungan informasi yang tidak dipunyai oleh shahibul mal, dan dapat digunakan dalam melakukan bargaining ketika menjalankan kotrak sharing. Sebagai contoh misalnya, industri rumah makan, atau restoran. Mudharib tahu bahwa margin keuntungan rata-rata untuk restoran misalnya 50%. Shahibul mal tidak tahu hal seperti ini, karena awam dalam bisnis tersebut. Ketika mudahrib melakukan bargaining sharing dengan shahibul mal, ia sudah dibekali dengan informasi mengenai expected return,[8] sedangkan shahibul mal tidak. Hal ini memungkin kan shahibul mal kemudian mengenakan kontrak sharing yang jauh lebih rendah dari yang sebenarnya dapat dihasilkan. Akibat dari berbagai macam kendala dalam sharing tadi, maka muncullah berbagai alternatif variasi kontrak sharing. Variasi kontrak tersebut merupakan suatu antisipasi dari keadaaan-keadaan sharing dari yang ideal sampai yang tidak ideal. Tidak dapat dinafikan bahwa mekanisme sharing dalam ekonomi syariah memberikan espektasi untuk menjalankan sistem ekonomi berlandaskan pada mekanisme peningkatan dan pengembangan kehidupan masyarakat.[9]

Doktrin ekonomi islam menempatkan nilai-nilai humanis moralis pada tataran prinsip dasar dalam menjalankan berbagai produk pembiayaan, penyaluran, maupun penyimpanan finansial. Senada konsep murabahah juga menekankan pada keadilan dan pemerataan kesejahteraan ekonomi. Antara pihak ba’i dengan mustari ketika melangsungkan kontrak (akad) tentu bersepakat pada tsaman (harga) objek jual-beli. Walaupun prosesi konsep murabahah terlihat sederhana, namun ekonomi Islam mendudukan kedua pihak pada posisi yang setara, guna mengantisipasi terjadinya penyalahgunaan kepercayaan (abuse of trust) diantara masing-masing pihak.

C.Diktum Filsafat Ekonomi Islam dalam Konsep Murabahah.

Menakar mengenai ukuran keadilan, seringkali terbentur pada pemaknaan yang beragam. Multiinterpretasi mengenai keadilan bukanlah hal yang semestinya dperhadapkan secara kontradiktif, karena keadilan an sich berdimensi banyak sesuai dengan koridor ketentuan yang digunakan (berbagai bidang dan perspektif). Misalnya ekonomi, maupun hukum. Pada konteks kekinian berbicara mengenai keadilan erat kaitannya dengan peningkatan ekonomi yang merata, tanpa diskriminasi, marginalisasi ekonomi, maupun dikotomi kesejahteraan. Mengupas filsafat keadilan dalam aspek ekonomi islam, khususnya dalam praktik konsep murabahah sangat berkorelasi dengan bangunan ekonomi Islam secara komprehensif. Bangunan Ekonomi Islam didasarkan pada fondasi utama yaitu tauhid. Fondasi berikutnya, adalah syariah dan akhlak. Pengamalan syariah dan akhlak merupakan refleksi dari tauhid. Landasan tauhid yang tidak kokoh akan mengakibatkan implementasi syariah dan akhlak terganggu. Dasar syariah membimbing aktivitas ekonomi, sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah syariah. Sedangkan akhlak membimbing aktivitas ekonomi manusia agar senantiasa mengedepankan moralitas dan etika untuk mencapai tujuan. Akhlah yang terpancar dari iman akan membentuk integritas yang membentuk good corporate governance danmarket disiplin yang baik.

Dari fondasi ini muncul 3 prinsip derivatif sebagai pilar ekonomi Islam Pembahasan komperhensif mengenai prinsip-prinsip ini selanjutnya akan dijelaskan secara lebih detail di bawah ini:[10]

1.Tauhid

Tauhid merupakan fondasi utama seluruh ajaran Islam. Dengan demikian Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktivitas umat Islam, baik di bidang ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Dalam Al-Qur‟an disebutkan bahwa tauhid merupakan filsafat fundamental dari ekonomi Islam. Hakikat tauhid juga dapat berarti penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi, baik menyangkut ibadah maupun muamalah. Sehingga semua aktifitas yang dilakukan adalah dalam kerangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai kehendak Allah. Dalam konteks ini Ismail Al- Faruqi mengatakan,

“ it was al- tauhid as the first principle of the economic order that created the first “ welfare state” and Islam that institutionalized that first socialist and did more for social justice as well as for the rehabilitation from them to be described in terms of the ideals of contemporary western societies”. (Tauhid sebagai prinsip pertama tata ekonomi yang menciptakan “negara sejahtera” pertama, dan Islamlah yang melembagakan sosialis pertama dan melakukan lebih banyak keadilan sosial. Islam juga yang pertama merehabilitasi (martabat) manusia. Pengertian (konsep) yang ideal ini tidak ditemukan dalam masyarakat Barat masa kini)[11]

Landasan filosofis inilah yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme dan sosialisme, karena keduanya didasarkan pada filsafat sekularisme dan materialisme. Dalam konteks ekonomi, tauhid berimplikasi adanya kemestian setiap kegiatan ekonomi untuk bertolak dan bersumber dari ajaran Allah, dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan Allah dan akhirnya ditujukan untuk ketaqwaan kepada Allah. Konsep tauhid yang menjadi dasar filosofis ini, mengajarkan dua ajaran utama dalam ekonomi. Pertama, Semua sumber daya yang ada di alam ini merupakan ciptaan dan milik Allah secara absolut (mutlak dan hakiki). Manusia hanya sebagai pemegang amanah (trustee) untuk mengelola sumberdaya itu dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan manusia secara adil. Dalam mengelola sumberdaya itu manusia harus mengikuti aturan Allah dalam bentuk syariah. Firman Allah, “Kemudian kami jadikan bagi kamu syariah dalam berbagai urusan, maka ikutilah syariah itu. Jangan ikuti hawa nafsu orang-orang yang tak mengetahui” (QS:1Al-Jatsiyah 8)

Salah satu contoh praktik ekonomi saat ini yang bertentangan dengan Tauhid adalah bunga. Bunga (interest) yang memastikan usaha harus berhasil (untung) bertentangan dengan tauhid. Firman Allah, “Seseorang tidak bisa memastikan berapa keuntungannya besok”,(Ar-Rum: 41). Padahal setiap usaha mengandung tiga kemungkinan, yaitu untung, impas atau rugi. Lebih dari itu, tingkat keuntungan itupun bisa berbeda-beda, bisa besar, sedang atau kecil. Jadi, konsep bunga benar-benar tidak sesuai dengan syariah, karena bertentangan dengan prinsip tauhid. [12]

Kedua, Allah menyediakan sumber daya alam sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia yang berperan sebagai khalifah, dapat memanfaatkan sumber daya yang banyak itu untuk kebutuhan hidupnya. Dalam perspektif teologi Islam, semua sumber daya yang ada, merupakan nikmat Allah yang tak terhitung ( tak terbatas ) banyaknya, sebagaimana dalam firmannya “ Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak bisa menghitungnya” (QS.14:34). Berbeda dengan pandangan di atas, para ahli ekonomi konvensional selalu mengemukakan jargon bahwa sumber daya alam terbatas (limited). Karena itu menurut ekonomi Islam, krisis ekonomi yang dialami suatu negara, bukan karena terbatasnya sumber daya alam, melainkan karena tidak meratanya distribusi (maldistribution), sehingga terwujud ketidakadilan sumber daya ( ekonomi ), selanjutnya konsep tauhid ini mengajarkan bahwa segala sesuatu bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, termasuk dalam menggunakan sarana dan sumber daya harus disesuaikan dengan syariat Allah. Aktivitas ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi, ekspor-impor idealnya harus bertitik tolak dari tauhid (keilahian) dan berjalan dalam koridor syariah yang bertujuan untuk menciptakan falah dan ridha Allah. Seorang muslim yang bekerja dalam bidang produksi misalnya, maka itu tidak lain diniatkan untuk memenuhi perintah Allah. “Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya dan hanya kepada-Nya kami dikembalikan”. (QS. Al-Mulk: 15). Demikian pula ketika berdagang, bekerja di pabrik atau perusahaan. Semuanya dalam bingkai ibadah kepada Allah. Makin tekun seseorang bekerja, makin tinggi nilai ibadah dan takwanya kepada Allah. Demikian gambaran seorang muslim yang menganggap bahwa pekerjaannya itu adalah ibadah kepada Allah.

Aspek tauhid dalam produksi akan tercermin dari output yang dihasilkan. Seseorang yang berproduksi dengan nama Allah, maka barang yang diproduksi akan terjaga kebaikan dan kehalalannya. Sehingga mereka tidak akan memproduksi barang-barang yang membawa mudharat seperti rokok, miras apalagi narkoba serta barang-barang haram lainnya. Termasuk juga dalam proses produksi barang-barang halal. Tidak hanya dalam aspek produksi, aspek tauhid pun idealnya dimiliki seorang muslim yang hendak membeli, menjual, dan meminjam. Ia selalu tunduk pada aturan-aturan syariah. Ia tidak membeli atau menjual produk dan jasa-jasa haram, memakan uang haram (riba), memonopoli milik rakyat, korupsi, ataupun melakukan suap menyuap. Ketika seorang muslim memiliki harta dan ingin menginvestasikannya agar produktif, ia tidak akan menginvestasikannya secara ribawi di lembaga-lembaga finansial yang berbasis bunga. Ia juga tidak akan menggunakannya untuk bisnis spekulasi di pasar modal atau pasar uang (money changer dan bank devisa). Seorang muslim akan menginvestasikannya berdasarkan prinsip-prinsip syariah seperti skim mudhabarah, musyarakah, dan bentuk investasi syariah lainnya.

Prinsip konsumsi yang sesuai syariah salah satunya adalah tidak berlebih-lebihan, menjauhi israf (mubazzir). Perilaku tersebut dilarang dalam agama Islam. (QS.17:36) Meskipun sumber daya yang tersedia cukup banyak, manusia sebagai khalifah Allah tidak boleh boros dan serakah dalam menggunakannya. Boros adalah perbuatan setan ( QS.17:27 ) dan serakah adalah perilaku binatang. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya haruslah dilakukan secara efisien dan memikirkan kepentingan generasi mendatang serta memperhatikan lingkungan.[13] Seorang muslim sejati, meskipun memiliki sejumlah harta, ia tidak akan memanfaatkannya sendiri, karena dalam Islam setiap muslim yang mendapat harta diwajibkan untuk mendistribusikan kekayaan pribadinya itu kepada masyarakat sesuai dengan aturan syariah. Masyarakat berhak untuk menerima distribusi itu. Kekayaan moral (akhlak) ekonomi Islam dalam kegiatan ekonomi sebagaimana yang digambarkan di atas tidak muncul dalam sistem ekonomi kapitalis yang berdasarkan mekanisme pasar. Karena menurut faham ini, ekonomi merupakan ranah yang bebas dari nilai-nilai, termasuk moral dan agama. Prinsip Tauhid sebagaimana dijelaskan pada bagian ini memiliki hubungan yang kuat dengan prinsip-prnsip ekonomi Islam yang lain, seperti keadilan, persamaan, distribusi dan hak milik.

2.Maslahah

Prinsip kedua dalam ekonomi Islam adalah maslahah. Penempatan prinsip ini diurutan kedua karena mashlahah merupakan konsep yang paling penting dalam syariah, sesudah tawhid. Mashlahah adalah tujuan syariah Islam dan menjadi inti utama syariah Islam itu sendiri. Secara umum, maslahah diartikan sebagai kebaikan (kesejahtraan) dunia dan akhirat. Para ahli ushul fiqh mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang mengandung manfaat, kegunaan, kebaikan dan menghindarkan mudharat, kerusakan dan mafsadah (jalb al-naf‟y wa daf‟ al-dharar). Imam Al-Ghazali menyimpukan, maslahah adalah upaya mewujudkan dan memelihara lima kebutuhan dasar, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

Al-mashlahah sebagai salah satu model pendekatan dalam ijtihad menjadi sangat vital dalam pengembangan ekonomi Islam dan siyasah iqtishadiyah (kebijakan ekonomi). Mashlahah adalah tujuan yang ingin diwujudkan oleh syariat. Mashlahah merupakan esensi dari kebijakan-kebijakan syariah (siyasah syar`iyyah) dalam merespon dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Maslahah `ammah (kemaslahatan umum) merupakan landasan muamalah, yaitu kemaslahatan yang dibingkai secara syar‟i, bukan semata-mata profit motif dan material sebagaimana dalam ekonomi konvensional.[14]

Pengembangan ekonomi Islam dalam menghadapi perubahan dan kemajuan sains teknologi yang pesat haruslah didasarkan kepadamaslahah. Al-Ghazali menerangkan ”di mana ada maslahah, maka di situ ada syariah Allah”. Ini berarti bahwa segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan, maka di sana ada syariah Allah.

3.Keadilan

Prinsip keadilan merupakan pilar penting dalam ekonomi Islam. Penegakkan keadilan telah ditekankan oleh Al quran sebagai misi utama para Nabi yang diutus Allah (QS.57:25). Penegakan keadilan ini termasuk keadilan ekonomi dan penghapusan kesenjangan pendapatan. Allah yang menurunkan Islam sebagai sistem kehidupan bagi seluruh umat manusia, menekankan pentingnya adanya keadilan dalam setiap sektor, baik ekonomi, politik maupun sosial. Komitmen Al-quran tentang penegakan keadilan terlihat dari penyebutan kata keadilan di dalamnya yang mencapai lebih dari seribu kali, yang berarti ; kata urutan ketiga yang banyak disebut Al quran setelah kata Allah dan „Ilm. Bahkan, menurut Ali Syariati dua pertiga ayat-ayat Al quran berisi tentang keharusan menegakkan keadilan dan membenci kezhaliman, dengan ungkapan kata zhulm, itsm, dhalal.

Tujuan keadilan sosio ekonomi dan pemerataan pendapatan / kesejahteraan, dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari filsafat moral Islam. Demikian kuatnya penekanan Islam pada penegakan keadilan sosio ekonomi. Maka, adalah sesuatu yang keliru, klaim kapitalis maupun sosialis yang menyatakan bahwa hanya mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Harus kita bedakan bahwa konsep kapitalis tentang keadilan sosio ekonomi dan pemerataan pendapatan, tidak didasarkan pada komitmen spiritual dan persaudaraan (ukhuwah) sesama manusia. Komitmen penegakkan keadilan sosio ekonomi lebih merupakan akibat adanya tekanan dari kelompok. Secara konkrit, misalnya sistem kapitalisme yang berkaitan dengan uang dan perbankan, tidak dimaksudkan untuk mencapai tujuan–tujuan keadilan sosio ekonomi yang berdasarkan nilai spritual dan persaudaraan universal. Sehingga, tidak aneh, apabila uang masyarakat yang ditarik oleh bank konvensional (kapitalis) dominan hanya digunakan oleh para pengusaha besar (konglomerat). Kemanfaatan dari lembaga perbankan tidak dinikmati oleh rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk sebuah negara. Fenomena ini terlihat sangat jelas terjadi di Indonesia. Akibatnya yang kaya semakin kaya dan miskin makin miskin. Ketidakadilan pun semakin lebar. Sebagaimana disebut di atas, konversi ekonomi Barat (terutama kapitalisme) kepada penegakan keadilan sosio ekonomi, merupakan tekanan-tekanan kelompok masyarakat dan tekanan-tekanan politik. Maka, untuk mewujudkan keadilan sosio-ekonomi itu mereka mengambil beberapa langkah, terutama melalui pajak dan transfer payment. Meskipun ada usaha melalui instrumen pajak, namun langkah-langkah ini menurut Milton Friedman, terbukti tidak cukup efektif untuk mengatasi ketidakadilan, karena nyatanya pajak selalu menguntungkan pengusaha, dan para penjabat pajak bersama kelompok-kelompoknya. Konsep sosio ekonomi dalam Islam berbeda secara mendasar dengan konsep keadilan dalam kapitalisme dan sosialisme. Keadilan sosio ekonomi dalam Islam, selain didasarkan pada komitmen spritual, juga didasarkan atas konsep persaudaraan universal sesama manusia.

Al quran secara eksplisit menekankan pentingnya keadilan dan persaudaraan tersebut. Menurut M. Umer Chapra, sebuah masyarakat Islam yang ideal mesti mengaktualisasikan keduanya secara bersamaan, karena keduanya merupakan dua sisi yang tak bisa dipisahkan.[15] Dengan demikian, kedua tujuan ini terintegrasi sangat kuat ke dalam ajaran Islam sehingga realisasinya menjadi komitmen spritual (ibadah) bagi masyarakat Islam. Komitmen Islam yang besar pada persaudaraan dan keadilan, menuntut agar semua sumber daya yang menjadi amanat suci Tuhan, digunakan untuk mewujudkan maqashid syari‟ah, yakni pemenuhan kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan dasar (primer), seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Persaudaraan dan keadilan juga menuntut agar sumberdaya didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat melalui kebijakan yang adil dan instrumen zakat, infaq, sedekah, pajak, kharaj, jizyah, cukai ekspor-impor dan sebagainya.

Aspek Tauhid yang menjadi fondasi utama ekonomi Islam, mempunyai hubungan kuat dengan konsep keadilan sosio-ekonomi dan persaudaraan. Ekonomi Tauhid yang mengajarkan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak dan manusia hanyalah sebagai pemegang amanah, mempunyai konsekuensi, bahwa di dalam harta yang dimiliki setiap individu terdapat hak-hak orang lain yang harus dikeluarkan sesuai dengan perintah Allah, berupa zakat, infaq dan sedekah dan cara-cara lain guna melaksanakan pendistribusian pendapatan yang sesuai dengan konsep persaudaraan umat manusia. Sistem keuangan dan perbankan serta kebijakan moneter, misalnya, dirancang semuanya secara organis dan terkait satu sama lain untuk memberikan sumbangan yang positif bagi pengurangan ketidakadilan dalam ekonomi dalam bentuk pengucuran pembiayaan (kredit) bagi masyarakat dan memberikan pinjaman lunak bagi masyarakat ekonomi lemah melalui produk qardhul hasan. Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan sosial ekonomi, Islam secara tegas mengecam konsentrasi asset kekayaan pada sekelompok tertentu dan menawarkan konsep zakat, infaq, sedeqah, waqaf dan institusi lainnya, seperti pajak, jizyah, dharibah, dan sebagainya. Al-Quran dengan tegas mengatakan, “Supaya harta itu tidak beredar di kalangan orang kaya saja di antara kamu” (QS. 59:7), “Di antara harta mereka terdapat hak fakir miskin, baik peminta-minta maupun yang orang miskin malu meminta-minta” (QS. 70:24). Berdasarkan prinsip ini, maka konsep pertumbuhan ekonomi dalam Islam berbeda dengan konsep pertumbuhan ekonomi kepitalisme yang selalu menggunakan indikator PDB (Produk Dosmetik Bruto) dan per kapita. Dalam Islam, pertumbuhan harus seiring dengan pemerataan. Tujuan kegiatan ekonomi, bukanlah meningkatkan pertumbuhan menurut konsep ekonomi kapitalisme. Tujuan ekonomi Islam lebih memprioritaskan pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran. Islam dan ajarannya menekankan keseimbangan antara petumbuhan dan pemerataan. Pertumbuhan an sich bukan menjadi tujuan utama, kecuali dibarengi dengan pemerataan. Dalam konsep Islam, pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua sisi yang tak terpisahkan,. Berdasarkan prinsip ini, maka paradigma tricle down effect, yang dikembangkan pihak Barat dan pernah diterapkan di Indonesia selama rezim orde baru, bertentangan dengan konsep keadilan ekonomi menurut Islam.Selanjutnya, sistem ekonomi kapitalis dicirikan oleh menonjolnya peran perusahaan swasta (private ownership) dengan motivasi mencari keuntungan maksimum, harga pasar akan mengatur alokasi sumber daya, dan efisiensi. Sistem ini pun selalu gagal dalam membuat pertumbuhan dan pemerataan berjalan seiring. Sistem ekonomi kapitalis yang bebas nilai pada akhirnya menghasilkan manusia yang tamak, boros dan angkuh. Sistem kapitalis juga telah melahirkan sejumlah bankir hebat, beberapa industriawan yang kaya raya, sejumlah pengusaha yang sukses. Di balik keberhasilannya, sistem ekonomi ini telah mengakibatkan banyak konsumen yang tidak mampu memenuhi kebutuhan minimumnya. Kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin terjadi terjadi secara tajam. Perusahaan-perusahaan yang lemah akan tersingkir dan tersungkur. Perlu ditegaskan, bahwa melekatnya hak orang lain pada harta seseorang (QS. 70:24), bukanlah dimaksudkan untuk mematahkan semangat karya pada setiap individu atau menimbulkan rasa malas bagi sebagian orang. Juga tidak dimaksudkan untuk menciptakan kerataan pemilikan kekayaan secara kaku. Dalam perspektif ekonomi Islam, proporsi pemerataan yang betul-betul sama rata, sebagaimana dalam sosialisme, bukanlah keadilan, malah justru dipandang sebagai ketidakadilan. Hal ini menggambarkan bahwa Islam menghargai prestasi, etos kerja dan kemampuan seseorang dibanding orang yang malas.

Dasar dari sikap yang koperatif ini tidak terlepas dari prinsip Islam yang menilai perbedaan pendapatan sebagai sebuah sunnatullah. Landasannya, antara lain bahwa etos kerja dan kemampuan seseorang harus dihargai dibanding seorang pemalas atau yang tidak mampu berusaha. Bentuk penghargaannya adalah sikap Islam yang memperkenankan pendapatan seseorang berbeda dengan orang lain, karena usaha dan ikhtiarnya.[16] Firman Allah, “Sesungguhnya Allah melebihkan rezeki sebagian kamu atas sebagian lain”. (QS. 16:71). Namun, orang yang diberi kelebihan rezeki, harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu (dhu‟afa). Sehingga seluruh masyarakat terlepas dari kemisikinan. Konsep keadilan sosio-ekonomi yang diajarkan Islam menginginkan adanya pemerataan pendapatan secara proporsional. Dalam tataran ini, dapat pula dikatakan bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi yang dilandaskan pada kebersamaan. Sehingga timbul anggapan disebagian masyarakat yang menyatakan bahwa prinsip keadilan sosio-ekonomi Islam mempunyai kemiripan dengan sistem sosialisme. Bahkan pernah ada pendapat yang menyatakan bahwa sistem sosialisme itu jika ditambahkan dan dimasukkan unsur-unsur Islam ke dalamnya, maka ia menjadi Islami. Pendapat dan pandangan yang menyatakan kemiripan sistem keadilan sosio Islam dengan sosialisme tidak sepenuhnya benar, malah lebih banyak keliruannya. Prinsip ekonomi sosialisme, yang menolak kepemilikan individu dan menginginkan pemerataan pendapatan, jelas berbeda dengan prinsip ekonomi Islam. Sosialisme sama sekali tidak mengakui hak milik individu.

Reaksi marxisme dibungkus secara politis revolusioner dalam paham komunis yang intinya mengajarkan bahwa seluruh unit ekonomi dikuasakan kepada negara yang selanjutnya didistribusikan kepada seluruh masyarakat secara merata. Hal ini didasarkan semangat pertentangan terhadap pemilikan individu. Sedangkan dalam ekonomi Islam, penegakkan keadilan sosio-ekonomi dilandasi oleh rasa persaudaraan (ukhuwah), saling mencintai (mahabbah), bahu membahu(takaful) dan saling tolong menolong (ta‟awun), baik antara si kaya dan si miskin maupun antara penguasa dan rakyat.

D.Penutup

Intensitas kontribusi ekonomi Islam kini semakin mendapatkan ruang pembenaran, betapa ekonomi Islam menjadi jawaban pendorong pemerataan kesejahteraan berkeadilan. Upaya pendekatan melalui doktrin filsafat terhadap kontestualisasi penggunaan konsep murabahah, tak ayal dapat dimaknai sebagai proses memudahkan penerapan prinsip ekonomi Islam yang substansial. Acuan nilai-nilai dasar dengan mengembangkan nilai ke-tauhidan melalui aktualisasi ketakwaan untuk menerapkan sistem ekonomi yang humanis-teologis. Disamping memperteguh diri dalam mengimplementasikan nilai kemaslahatan ummat (social oriented) dengan memberdayakan ummat berlandaskan keingginan memajukan kehidupan yang tentram. Terakhir, menegakkan nilai keadilan pada kerangka mengoptimalkan menyebarkan kesejahteraan dan memutus jurang pemisah antara satu kelas masyarakat tertentu dengan kelas masyarakat elite, serta mengkikis budaya hedonis.

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, M. Syafi’i, 2001, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta :Gema Insani Press.

Dar , Humayon A. and Presley John R, 2001, Lack of Profit Loss Sharing in Islamic Banking: Management and Control Imbalances, Virginia: Loughborough University.

Mankiw, Gregory, 2002, Principle of Economic, Orlando : Harcourt Inc.

Muljawan, Dadang, 2001Bank Syariah, Filosofi dan Operasi, Jakarta: Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia.

Rahman, Afzalur, 1995, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf.

Sukirno, Sadono, 2002, Pengantar Teori Mikroekonomi, Jakarta: RajaGrafindo Perkasa.

Siddiqi, M. Najatullah, 1996, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam, Yogyakarta:Dana Bakti Primayasa.

[1] M. Syafi’I Antonio,Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta :Gema Insani Press, 2001), hlm. 74.

[2] Ibid, hlm. 59.

[3] Dadang Muljawan,Bank Syariah, Filosofi dan Operasi, (Jakarta: Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2001), hlm. 51.

[4] M. Najatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam, (Yogyakarta:Dana Bakti Primayasa, 1996), hlm. 49.

[5] Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikroekonomi, (Jakarta: RajaGrafindo Perkasa, 2002), hlm. 63.

[6] Ibid, hlm. 93.

[7] Ibid, hlm. 102

[8] Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikroekonomi, (Jakarta: RajaGrafindo Perkasa, 2002), hlm. 84.

[9] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), hlm. 42.

[10] Gregory Mankiw, Principle of Economic, (Orlando :Harcourt Inc, 2002), hlm. 31.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline