Berbicara mengenai peta persebaran kekuatan persepakbolaan Asia saya yakin apabila publik pencinta sepakbola tidak menafikan bahwa sepakbola Asia masih didominasi oleh kekuatan-kekuatan tradisional seperti Jepang, Korea Selatan, Iran, Australia, dan negara-negara dari sub-kawasan Timur Tengah (Asia Barat) seperti Arab Saudi.
Baru-baru ini juga Qatar perlahan menggebrak muncul dalam kalangan elit tim sepakbola Asia yang lagi-lagi menunjukkan kompaknya kedigdayaan tim-tim Asia Barat dan Asia Timur.
Dibalik digdayanya tim-tim yang disebutkan di atas agaknya sedikit bijak direnungkan bahwa dominasi negara tradisional dalam sepakbola Asia masih kental diwarnai gap kualitas yang masih terlalu jauh antar negara-negara di kawasan bahkan dalam lingkup yang lebih kecil yakni sub-kawasan itu sendiri.
Tidak terlalu sulit menerka oleh karena kita dapat mengambil contoh dengan mudah seperti halnya bicara sepakbola Asia Barat tidak dapat dipisahkan dari Arab Saudi dan Iran, sedangkan membahas Asia Timur akan sulit menceraikannya dari popularitas Jepang dan Korsel.
Atau bahkan siapa sih yang tidak mengenal tangguhnya dominasi Thailand dan Vietnam mewakili Asia Tenggara meskipun Asia Tenggara mulai menunjukkan progres keketatan kualitas beberapa tahun terakhir.
China sebagaimana yang banyak diketahui adalah negara dengan status tidak terbantahkan sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia pun setali tiga uang dengan kultur prestasi dalam aspek olahraga yang semakin mentereng dalam beberapa tahun terakhir.
Setidaknya hal tersebut dapat digambarkan dengan bagaimana pencapaian China dalam Olimpiade Beijing 2008 sebagai tuan rumah ataupun dalam beberapa edisi Olimpiade terakhir.
Gambaran yang menunjukkan bagaimana kualitas China meningkat begitu pesat---China tumbuh sebagai negara Asia yang perlahan mendominasi cabang olahraga populer seperti akuatik, gimnastik, angkat besi, bulu tangkis, hingga loncat indah tidak hanya di level Asia tetapi bahkan dunia.
Akan tetapi dibalik gemilangnya prestasi China dalam sejumlah besar cabang olahraga tersebut sejatinya masih ada yang mengganjal di dalam benak mayoritas masyarakat China.
Negara tersebut begitu digdaya dalam sejumlah besar cabang olahraga, tetapi sebaliknya tidak dengan sepakbola. Dalam cabang olahraga yang diklaim sebagai olahraga paling populer di masyarakat dunia tersebut China tak ubahnya negara kelas tiga, bahkan dalam level sub-kawasan di mana China harus "legowo" menerima dominasi kultur sepakbola Jepang dan Korea Selatan yang begitu menggeliat bertahun-tahun lamanya. Sebaliknya sepakbola China secara ironi seolah berjalan di tempat.