Mungkin, Liga Prancis boleh saja luput dari hingar bingar jutaan pasang mata penggemar sepakbola di seantero dunia. Tapi dibaliknya, sungguh, Liga Prancis adalah sarana yang memadai untuk bagi pemain muda mengasah diri sebelum menjadi pemain-pemain wahid yang siap bersaing dilevel yang lebih tinggi. Sehingga tentu saja, banyak klub dari Ligue 1 memilih mendayagunakan para pemain muda mereka untuk mengusung panji klubnya masing-masing, sebab minimnya pemain jadi berstatus "bintang" yang beredar di sana.
Tetapi, hikmah lain yang didapatkan adalah berlimpahnya sumber daya pemain potensial yang mengorbit di Liga Prancis, hingga dampak langsungnya bisa dilihat saat ini, yaitu berupa regenerasi yang sangat cepat dan mulus bagi Timnas Prancis di bawah asuhan Didier Deschamps. Pemain muda Perancis pun terbukti, mampu membawa negara tersebut melaju ke final Euro 2016, membuktikan kelas pemain muda tersebut yang merupakan dampak langsung dari berlimpahnya bibit muda di kasta tertinggi Liga Prancis.
Tentu saja tidak semua pemain muda ini langsung dicomot Deschamps dari Ligue 1 yang merupakan liga lokal . Namun,hal ini tidak dapat dipisahkan bahwa pemain timnas Perancis yang bermain diklub besar dan elite, namanya dibesarkan terlebih dahulu oleh bermacam klub di Ligue1. Sebagai contoh adalah Samuel Umtiti di Barcelona yang dibesarkan Lyon,Kurt Zouma di Chelsea yang dibesarkan Saint-Etienne, dan N'golo Kante yangsebelum menjadi highlight bersama Leicester City dan kini Chelsea, membela Caen di Ligue 1 selama dua musim.
Seorang Dimitri Payet juga menghabiskan karir juniornya di Marseille sebelum menjadi sensasi bersama West Ham dan kini kembali lagi ke klub masa kecilnya, sedangkanbeberapa pemain malah telah menjadi bagian tulang punggung timnas meskipunmasih bermain di liga lokal. Seperti Nabil Fekir (Lyon), Alexandre Lacazette (Lyon), dan Djibril Sidibe (Monaco).
Berbicara mengenai pengembangan pemain muda, tidak terlepas dari berbagai klub yang menyerahkan pencapaiannya kepada para pemain tersebut alias menjadikan merekasebagai tulang punggung tim dalam usia yang relatif muda. Hal tersebut didukung dengan minimnya pemain kelas dunia berlabel superstar yang merumput di Liga Prancis.Sehingga tidak ada pilihan lain bagi klub-klub di liga tersebut, kecuali merekalah yang harus memoles dan memproduksi pemain bintangnya sendiri dengan setiap potensi yang ada.
Klub-klub terutama selain PSG yang merupakan klub taipan minyak Timur Tengah menghadapi masalah demikian, namun walau begitu,justru sampai pada journee 25 ini, posisi PSG malah berada diposisi kedua klasemen, di bawah klub yang dua musim terakhir konsisten memolespemain muda yakni AS Monaco, dan dibuntuti oleh klub sensasional musim ini yangmenerapkan metode yang sama, Nice dan selanjutnya Lyon yang perlahan mulai bangkit menyeruak ke jajaran papan atas kembali. Di antara jajaran klub dipapan atas klasemen yang tumpuannya merupakan para young guns tersebut, AS Monaco selain tentu saja Nice, adalah klub yang paling menarik perhatian saya. Terutama dengan filosofi pelatihnya yakni Leonardo Jardim.
Pada tiga sampai empat musim sebelum musim ini berlangsung, AS Monaco adalah seolah menjadi klub pesakitan dengan instabilitas yang tinggi menyusul eksodus pemain bintang yang mendera mereka setelah sempat membuat Monaco menjadi salah satu klub di jajaran elite Liga. Perlahan pemain bintang mereka seperti James Rodriguez, Aymen Abdennour,Yannick Carrasco, Geoffrey Kondogbia, dan Lucas Ocampos bergiliran dijualmaupun dipinjamkan.
Tak terkecuali para penyerang andalan mereka seperti Anthony Martial (dijual permanen) dan Radamel Falcao (pinjaman) yang sama-sama berlabuh ke Manchester United, sebelum akhirnya pada dua musim ini Falcao kembali ke Monaco. Penjualan para pemain tersebut memantik reaksi keras fans Monaco kepada presiden klub Dmitry Rybolovlev (The Guardian, September 2014) di mana Rybolovlev lebih menekankan pentingnya penggunaan pemain dariakademi klub seiring keberhasilan Monaco mengorbitkan Thierry Henry, David Trezeguet, maupun Emmanuel Petit di masa lalu. Jardim yang pada saat itu masih dalam periode baru sebagai pelatih Monaco, bahkan menyebut kebijakan klub yang diterapkan Rybolovlev adalah "sampah" dan merasa sangat frustrasi dengan keadaan tersebut.
Musim berikutnya setelah gelombang eksodus para pemain bintang, Monaco secara drastis menjadi klub yang loyo. Monaco mendapatkan pinjaman istimewa yakni Stephan El-Shaarawy yang dipinjamkan dari AC Milan. Namun tetap saja, Monaco terseok-seok pada periode tersebut, jauh berbeda dengan tim yang secara heroik memukul Arsenal di Emirates 3-1 pada babak 16 besar Liga Champions yang menjadi titik penting tersingkirnya Arsenal dari kompetisi Eropa pada musim tersebut. Perlahan, Jardim mulai memanfaatkan para bibit muda yang dimilikinya dari akademi, serta melakukan kebijakan-kebijakan transfer penting walaupun tidak terbilang mewah pada posisi yang dianggapnya memerlukan perbaikan.
Jardim mulai melakukan pengorbitan pemain muda, baik pengorbitan akademi maupun pembelian dan peminjaman penting pada diri seperti Thomas Lemar (21), Gabriel Boschilia (20),Tiemoue Bakayoko (22), Jemerson (24), Almamy Toure (20), Kevin N'doram (21),Abdou Diallo (20), Djibril Sidibe (24), Benjamin Mendy (22). N'doram dan Toure merupakan produk asli akademi Monaco, bersama pemain yang tengah menjadi fenomena musim ini Kylian Mbappe Lottin (18) dan striker yang diaktifkan kembali dari tim cadangan (reserves) yakni Valere Germain (26).
Sedangkan kebijakan transfer pemain kunci yang cukup cerdik telah diterapkan Jardim dalam mendapatkan beberapa pemain yang kini menjadi pilar utama Monaco. Para pemain seperti Fabinho yang kini menjadi sosok integral nan versatile baik di lini tengah ataupun bek sayap Monaco didapatkan setelah Monaco meminjamnya selama dua musim sebelum musim berikutnya mempermanenkannya sampai dengan 2019 (Wikipedia, 2016).