Lihat ke Halaman Asli

Filsafat Mendukung Agama untuk Tidak Menjadi Sesat

Diperbarui: 7 Agustus 2017   05:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa beda agama dan filsafat?

Agama mengklaim sudah menemukan kebenaran. Kebenarannya bersifat mutlak. Ajaran-ajaran di dalam agama diterima sebagai suatu yang telah sempurna. Sedangkan filsafat memeriksa kesahihan suatu klaim atas kebenaran. Filsafat menguji kesempurnaan itu, mencoba mencari bolong-bolong dalam klaim kesempurnaan itu.

Dalam hal ini memang kelihatannya agama dan filsafat bertentangan bagai air dan minyak. Namun pertentangan itu berguna, mengapa?

Kekerasan atas nama agama justru muncul karena adanya klaim kemutlakan itu. Akan tetapi klaim kemutlakan juga justru yang membuat agama berguna bagi kehidupan manusia. Agama memberikan janji yang sangat yakin dan pasti sebagai obat penawar bagi jiwa manusia yang gelisah. Kemutlakan itu memberi rasa aman. Rasa aman menjamin hidup yang harmonis baik di dalam diri maupun dalam interaksi dengan orang lain.

Namun rasa aman ini tidak abadi karena kemutlakan itu tidak melekat pada diri manusia. Kemutlakan itu ada di luar sana jauh dari manusia, jikapun manusia menjadi dekat dengan kemutlakan, itu hanya sentuhan seketika. Hanya sesaat mereka merasa tentram dan berikutnya mereka akan gelisah lagi. Munculnya kembali rasa gelisah atau khawatir menjadikan manusia mencari biang keladinya. 

Hal yang paling terlihat dari segala biang keladi itu adalah semua yang bertentangan dengan apa yang dipercayanya sebagai yang mutlak (yang ideal atau yang sempurna) itu. Lalu, muncullah sikap menyalahkan kepada segala hal yang tidak sesuai dengan apa yang dipercayainya, di mana yang dipercayainya itu sesungguhnya apa yang diharapkannya namun tidak mungkin hadir baginya. Kepercayaan itu menjadi kekecewaan. Kekecewaan menjadi amarah. Itulah mengapa agama selalu dekat dekat kekerasan. Kepercayaan, kekecewaan dan amarah selalu bergeser silih berganti di dalam diri manusia.

Filsafat mencoba mengambil jarak dari kepercayaan agar manusia tidak terlalu mudah kecewa (manakala sesuatu tidak sama dengan yang dipercayainya). Tidak terlalu mudah kecewa menjadikan pula diri tidak mudah tenggelam dalam amarah. Jauh dari amarah jauh pula dari sifat kasar dan keras. Justru menjadi lembut ini pulalah tujuan adanya agama. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline