Apa jadinya bila pertengkaran hebat yang terjadi di antara saudara serahim terjadi kala dewasa, orangtua sudah tiada? Apakah masih ada kedamaian? Atau bahkan terjadi permusuhan akhir hayat?
Pertengkaran saudara kandung di masa anak-anak adalah wajar. Mungkin pemicunya rebutan permen, rebutan makanan, rebutan mainan, bahkan rebutan digendong ibu bapak. Biasalah namanya anak-anak, butuh kasih sayang penuh dari orangtua.
Berselisih dengan adik atau kakak kandung dapat diatasi dengan bimbingan orangtua. Pengarahan yang mapan dari kedua orangtua agar memberi pemahaman atas tindakan yang dilakukan oleh putra-putrinya.
Akan tetapi, yang dikhawatirkan adalah apabila suatu saat nanti, kedua orangtua telah tiada, apakah ada pihak atau orang yang mendamaikan perselisihan putra-putrinya?
Oke, kita anggap dia masih punya saudara. Andaikata, tidak punya saudara lagi, tidak memiliki pakdhe budhe, tidak punya silsilah keluarga lain. Artinya tunggal. Keluarga kecil.
Mungkin tidak ada pihak yang bakal melerai pertikaian. Walau ada istri, suami dan mertua. Tetapi, mereka bukan keluarga inti, keluarga sedarah. Jadi kekuasaannya rendah, lemah.
Mungkin pertikaian saudara kandung akan damai dengan sendirinya. Ya, pasti itu. Walau butuh waktu. Sebab yang mananya saudara kandung, saudara serahim, saudara semani tentu tetap menjadi saudara meski salah satu saudaranya begitu bejat perilakunya.
Sederhananya, saudara tidak akan pernah tega melihat saudara lainnya tersakiti. Ini sudah ketetapan.
Akan tetapi, kedekatan saudara atau tali persaudaraan bisa saja putus sewaktu-waktu dan dapat rekat kembali.
Biasanya, faktor pemicu keretakan hubungan tersebut adalah hal sepele atau hal serius. Misal hal sepele, seperti tidak sempat melayat ke rumah mertua kakak, tidak sempat menjenguk istri adik saat di ICU, dan masalah ringan lainnya.