Lihat ke Halaman Asli

Bayu Samudra

TERVERIFIKASI

Penikmat Semesta

Jangan Bodoh karena Pajak Pulsa, Ini Bentuk Kewajiban Warga Negara

Diperbarui: 1 Februari 2021   19:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Poster mengenai Pajak Pulsa (foto dari pajak.go.id)

Bagi orang awam, pajak pulsa adalah hal baru. Baru dengar. Baru tahu. Baru ngeh. Baru sadar. Baru ingat. Bagi kita orang berilmu, pajak pulsa adalah hal biasa. Sebab, kita sudah dengar pengenaan pajak pulsa sejak lama. Kita sudah tahu aturan itu sejak dulu. Kita sudah ngeh dan yakin atas pembelian pulsa selama ini telah dipungut pajak. Kita sudah sadar, bahwa pulsa, token listrik, kartu perdana, dan voucer adalah barang kena pajak. Kita sudah ingat, saat beli pulsa atau voucer harga bayar sudah dikenai PPN. Jadi, apa masalahnya?

Pajak adalah iuran wajib yang dibebankan kepada setiap individu bila mana yang bersangkutan dikenai beban pajak, baik pajak penghasilan hingga pajak pertambahan nilai.

Kenapa dalam pengertian pajak di atas, saya sematkan kata "hingga", karena pajak itu banyak macamnya. Variatif. Beranekaragam. Ada pajak kendaraan, pajak penghasilan, pajak hadiah, pajak pembelian barang mewah, pajak bumi dan bangunan, pajak hiburan, pajak penggalian bahan tambang, pajak pertambahan nilai, pajak minuman beralkohol, pajak tembakau, dan pajak lainnya yang berseliweran setiap hari.

Lah mengapa, kita risau atas pemberitaan pajak pulsa? Bukannya kita sudah terbiasa hidup dengan pajak? Apa kita sudah lupa? Baiklah, saya maklumi. Sebab semakin bertambah usia, tingkat penguatan ingatan mulai menurun.

Pajak pulsa yang tengah viral saat ini, karena minimnya informasi dan mungkin permainan gejolak publik. Masyarakat menentang kebijakan. Politisi bermain rangkul-rangkulan. Ingin dapat jatah suara pada pemilu mendatang. Cerdik.

Namun tulisan ini, tidak bakal memojokkan pemerintah bahkan penggiring opini publik. Toh saya tidak sedang membahas mereka.

Perlu kita sadari, setiap kali belanja di toko swalayan. Ambil contoh, toko merah kuning biru. Saat kita beli, biskuit. Pada struk belanja terdapat pajak pertambahan nilai atau PPN yang telah kita lunasi. Kita sudah bayar pajak, pajak pertambahan nilai. 

Anggap harga biskuit sebelum dikenai pajak adalah Rp8500. Kita bayar di kasir sebesar Rp9350 dan harga biskuit pada katalog rak barang memang tertulis angka 9350. Artinya, harga biskuit sudah dikenai pajak pertambahan nilai sebesar 10% (sepuluh persen). Kok hanya 10%, kenapa gak 25%? Sudah ketentuan perundangan-undangan, bahwa besaran nilai PPN adalah 10%. Entah kamu beli di Jakarta atau di Jayapura, nilai PPN adalah 10%.

Itu contoh bila kamu beli biskuit di toko swalayan. Kamu langsung dikenai PPN 10% setiap beli barang di sana. Lain hal, bila kamu beli barang yang sama (biskuit) di warung atau toko depan gang. Harga biskuit tetap pada angka Rp8500. Kok gak ada PPN? Itulah kelebihan warung atau toko depan gang. Haha. Hal ini dikarenakan, biaya pajak pertambahan nilai biskuit atau barang yang dijual di warung atau toko depan gang telah dibayarkan oleh perusahaan daripada produk tersebut. Makanya, biskuit di warung sudah dibayar PPN oleh pabrik biskuit. Kalau belanja biskuit di toko swalayan, pembeli yang bayar PPN.

Iki critane kok totok dek biskuit barang se? Dudu bahas pajek pulsa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline