Lihat ke Halaman Asli

Hilangnya Marwah Kejagung Sebagai Penegak Hukum

Diperbarui: 15 April 2016   18:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum adalah satu aspek paling penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebab, semua aspek kehidupan di Indonesia diatur oleh hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Mengutip pendapat ahli filsafat hukum Theo Huijbers, fungsi hukum yaitu untuk memelihara kepentingan umum di dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia, mewujudkan keadilan dalam hidup bersama dan sarana rekayasa soaial (social engineering).

[caption caption="sumber foto : kompas.com"][/caption]Oleh karena itu, penegakan hukum adalah merupakan satu hal yang absolute dan tidak bisa dinegosiasikan. Polri, Kejaksaan, TNI, dan KPK adalah ujung tombak dan harapan kia semua akan penegakan hukum yang berkeadilan dan tidak pandang bulu, karena seperti yang tertulis dalam UUD 1945, semua orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Sehingga, dalam penegakan hukum tidak boleh ada keistimewaan kepada siapapun.

Meskipun Polri, Kejaksaan, TNI, dan KPK adalah lembaga yang diamanatkan untuk menegakan hukum, tapi mereka juga memiliki koridor hukum tersendiri yang harus ditaati. Misalkan Polri yang menjaga keamanan dalam negeri, TNI menjaga kedaulatan RI dari pihak luar, Kejaksaan menuntut terdakwa, dan KPK yang mengunkap kasus korupsi. Semua tugas dan protab mereka sudah jelas dituangkan dalam konstitusi kita.

Polri di bawah kepemimpinan Badrodin Haiti mampu menjawab keraguan publik atas kinerja polisi yang dinilai kurang baik di tengah masyarakat dengan membuktikan bahwa polisi adalah pelayan masyarakat. TNI yang dikomandoi Jenderal Gatot Nurmantyo mampu menjaga kedaulatan RI, terlihat dari cara TNI AL yang kerap menangkap kapal asing ilegal yang menangkap ikan di perairan Indonesia. Lalu ada Ketua KPK Agus Rahardjo yang langsung mengungkap kasus suap reklamasi di Jakarta Utara tak lama dirinya dilantik Presiden Jokowi.

Namun, hal berbeda terjadi di Kejaksaan, setelah KPK menangkap tangan seorang jaksa di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta beberapa waktu lalu, kini KPK kembali menangkap seorang jaksa wanita di Bandung bernama Deviyanti Rochaeni karena diduga terlibat dalam kasus korupsi dana BPJS Kabupaten Subang. “ketidakberesan” korps Adhyaksa ini ternyata bukan hanya pada tingkat Kejati, beberapa kalangan menilai Kejaksaan Agung yang dipimpin politisi Nasdem HM Prasetyo mengalami pernurunan kualitas dibandingkan ketika Basrief Arief memimpin.

Bahkan Kejagung sekarang mengurusi sesuatu yang bukan menjadi wewenangnya, salah satunya ketika memanggil Ketua Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) Mahful M Tumanurung karena kepercayaan organisasi tersebut diduga menyimpang dari ajaran agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Menurut Koordinator Setara Institute Hendardji, Kejagung tidak berwewenang untuk menyelidiki kasus perbedaan keyakinan atau agama karena yang lebih berwewenang adalah Kementerian Agama.

Selain itu, Kejagung juga dinilai menyalahi kewenangan menyidik ketika mencoba menyelidiki kasus Build, Operate, and Transfer (BOT) PT Grand Indonesia yang dituduh membangun Menara BCA dan Apartemen Kempinski secara ilegal saat menjalani kerja sama bisnis dengan PT Hotel Indonesia Natour (HIN) yang merupakan BUMN. Banyak kalangan menilai kasus ini seperti dipaksakan karena dalam kontrak perjanjian dua perusahaan tersebut, PT GI diperbolehkan membangun dua bangunan yang salah satunya dipakai PT HIN untuk ngantor. Yang lebih membuat masyarakat heran adalah bangunan tersebut mulai dibangun tahun 2007 dan mengapa baru dipermasalahkan sekarang di tahunn 2016. Diduga ada permainan antara pihak Komisaris PT HIN yang baru dengan sejumlah oknum di Kejagung.

Mengutip pernyataan pengamat hukum Muhammad Mirza Harera, jika memang ada permasalahan dalam kontrak kerja sama PT GI dengan PT HIN maka harus diselesaikan secara perdata karena baik PT GI dan PT HIN telah menjalin kerja sama bisnis dengan cara perdata. Jika terjadi permasalahan maka kedua belah pihak harus “duduk bareng” untuk mecari win-win solution, bukan dipaksakan ke ranah pidana seperti yang Kejagung kerjakan saat ini.

Melihat kinerja Kejagung semenjak dipimpin HM Prasetyo, Mirza menilai rasanya tidak salah ketika Kemenpan-RB menilai Kejagung sebagai institusi atau paling buruk selama 2015. Dikutip dari Sindo news 

Menurut saya, perlu ada “perubahan wajah” jaksa agung jika tidak mau hukum di Indonesia tambah kacau. Dari kasus di atas terlihat jelas bagaimana kinerja Kejagung timpang dari aparat penegak hukum lain yang menjalankan tugasnya dengan baik. Bahkan kinerja Kejagung masih kalah jauh oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) yang lebih menunjukan hasil progresif di banding Kejagung yang terkesan mencari-cari kasus dan menjadi perpanjangan tangan dari oknum-oknum tidak bertanggungjawab.

DI bawah kepemimpinan HM Prasetyo Kejagung seakan tidak memiliki marwah sebagai aparat penegak hukum dan jauh dari cita-cita Presiden Jokowi. Tentunya masyarakat berharap jangan sampai perangkat hukum dijadikan alat untuk menindas orang lain yang digunakan oleh segelintir orang yang “abuse of power”.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline