Lihat ke Halaman Asli

Sampai Kapan Kejaksaan Agung Dijadikan Alat Politik?

Diperbarui: 17 Maret 2016   20:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber: detik.com"][/caption] Akhir-akhir ini publik disuguhi oleh berbagai tontonan hukum dari Kejaksaan Agung yang melibatkan nama-nama besar para pesohor. Anehnya hampir semua kasus tersebut dicurigai memiliki motif politis tertentu, bahkan bisnis. Kejaksaan Agung sebagaimana kita mahfum dikepalai oleh seorang mantan jaksa yang kemudian menjadi politisi Partai Nasdem, HM Prasetyo. Bahkan sebelum menjadi Jaksa Agung pada tanggal 20 November 2104, Prasetyo telah sempat pula duduk sebagai anggota DPR RI dari fraksi partai pimpinan Surya Paloh tersebut.

Kasus yang melibatkan pesohor tersebut di antaranya kasus Mobile 8, kasus Built-Operate-Transfer (BOT) Kawasan Grand Indonesia, dan kasus dana hibah korupsi KADIN Jatim. Kasus Mobile 8 menyeret nama tokoh politik, Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo, yang juga mantan tandem dan lalu menjadi rival Surya Paloh. Sementara Kasus BOT Grand Indonesia mentarget PT. CKBI dan PT. Grand Indonesia, yang menguasai kawasan elite strategis Jakarta. Sedangkan kasus dana hibah KADIN Jatim melibatkan La Nyala Matalitti, Ketua Umum PSSI.

Banyak pengamat hukum berpendapat bahwa kasus-kasus tersebut tidak memiliki legal standing yang kuat. Misalnya, yang dipermasalahkan dalam kasus Mobile 8 adalah restitusi pajak. Banyak pihak yang bingung kenapa resitusi pajak diselidiki oleh Kejaksaan Agung sedangkan mengenai perselisihan pajak seharusnya menjadi ranah Direktorat Jenderal Pajak. Dan lagi, tidak ada nama Hary Tanoe di dalam struktur mobile 8. Dalam kasus BOT GI, yang dipermasalahkan adalah dibangunnya Apartemen Kempinski dan Menara BCA. Padahal pendirian dua bangunan itu tidak melanggar hukum berdasarkan kontrak BOT tersebut.

Masyarakat tentu tidak bisa dibodohi. Ini dagelan berbalut kriminalisasi dan premanisme politik. Hukum hanya dijadikan alat politik dan lebih parah lagi, dijadikan alat untuk memenuhi kepentingan bisnis antar genk. Dengan rentetan kasus janggal ini, masyarakat semakin mempertanyakan kinerja Kejaksaan Agung di bawah HM. Prasetyo yang sangat partisan, pesenan dan tak punya visi reformasi hukum.

Pada kasus Mobile 8, perkara yang dipermasalahkan terjadi pada tahun 2005-2009. Jika memang hal ini merupakan pelanggaran, mengapa diangkat setelah bertahun-tahun berlalu. Selain itu, Ditjen Pajak juga menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan kerugian negara akibat restitusi pajak tersebut. Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa sampai saat ini Kejaksaan Agung belum bisa menentukan tersangka. Salah satunya karena kurangnya alat bukti untuk menyangkakan adanya pelanggaran hukum.

Alih-alih menegakkan hukum, kemunculan kasus Mobile 8 justru lebih terasa sebagai manuver politik yang dilakukan oleh Surya Paloh akibat rivalitas yang semakin meruncing dengan Hary Tanoe. Masyarakat menyaksikan melalui pemberitaan di media massa bagaimana Hary Tanoe dengan Surya Paloh terlibat perselisihan “kelas atas” sejak Hary Tanoe memutuskan keluar dari Partai Nasdem. Hal ini semakin meruncing semenjak Perindo yang didirikan Hary Tanoe, menurut survei LSI mendulang dukungan dari masyarakat sementara secara simultan kepercayaan kader dan simpatisan kepada Nasdem semakin menukik turun.

Perang “pembunuhan karakter” juga semakin terlihat jelas ketika kasus Mobile 8 diwarnai dengan drama curhat Jaksa Agung Prasetyo di hadapan DPR RI yang melaporkan bahwa ada jaksa yang merasa diancam oleh Hary Tanoe. Jaksa tersebut kemudian melaporkan pesan yang dianggap mengancam tersebut ke Mabes POLRI namun akhirnya POLRI tidak melihat adanya unsur ancaman dalam pesan tersebut. Hal-hal ini semakin meyakinkan masyarakat bahwa Jaksa Agung sebagai operator dari langkah-langkah politik Surya Paloh.

Selanjutnya, yang dipermasalahkan dalam kasus BOT Grand Indonesia adalah pembangunan dua gedung pencakar langit yang dianggap ilegal karena tidak termasuk bangunan yang didefinisikan di dalam kontrak BOT tersebut. Kontrak BOT tersebut ditandatangani oleh para pihak pada tahun 2004, Apartemen Kempinski dan Menara BCA sudah lama berdiri dan dikenal luas oleh masyarakat. Namun mengapa baru diselidiki sekarang? Kasusnya dipublikasi di media sedemikian rupa, padahal jelas-jelas ini adalah kasus perdata, bukan pidana.

Beredar desas-desus bahwa Surya Paloh tertarik untuk berinvestasi pada sektor perhotelan dan akan sangat diuntungkan jika kontrak BOT Grand Indonesia dievaluasi.

Sementara, dugaan bahwa Jaksa Agung dijadikan alat untuk memuaskan kepentingan politik Surya Paloh semakin meruncing ketika Jaksa Agung menetapkan La Nyala Matalitti sebagai tersangka untuk kasus dana hibah KADIN Jatim. Change.org (lihat di sini!) yang menghimpun petisi untuk mendukung La Nyala melawan kedzoliman Jaksa Agung dengan jelas ada poin kedua dan ketiga membeberkan bahwa terjadi perselisihan antara Surya Paloh dengan La Nyala.

Jika hal ini terus berlanjut, marwah institusi penegakan hukum kita akan terus dicederai. Kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum dan kinerja aparat penegak hukum akan semakin merosot sehingga menyulitkan cipta kondisi yang baik bagi pembangunan nasional. Jaksa Agung HM Prasetyo, sudahlah, jangan menambah kacau penegakan hukum di negeri ini. Jika tidak bisa memperbaiki, jangan merusak .... !

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline