Lihat ke Halaman Asli

Dari Masalah Angkutan ke Masalah Perempuan

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Usia Ajie 28 tahun. Lulus sarjana langsung tes ujian PNS, tapi gagal. Ada yang menyarankan supaya Ajie memakai 'jalur cepat', minimal tiga ekor kerbau mesti dijual untuk memuluskan jalan menuju harapan. Tapi Pak Jalil, bapak Ajie, tak ingin mencoreng nama baiknya sebagai seorang haji, setiap tawaran yang berbau KKN ditolaknya. Untunglah, Pak Jalil punya kenalan asal Lebaksari yang menyarankan agar Ajie menghonor dulu di SMP Lebaksari. Maka, selesai mengurus administrasi, Ajie resmi mengajar di sana untuk mata pelajaran Kerajinan Tangan.

Di sekolah tersebut, Ajie adalah satu-satunya guru dari luar kecamatan Lebaksari. Tempat tinggalnya yang jauh di kecamatan Cikaso menempatkan dirinya sebagai guru yang paling banyak kendala dalam masalah transfortasi. Perjalanan Cikaso-Lebaksari yang terentang 18 km bukanlah perjalanan semacam tur yang menyenangkan. Dari Cikaso Ajie bisa naik bis kecil jurusan Tasik (menjauh dari pusat kota kabupaten Kuningan yang jaraknya tinggal 5 km lagi), kemudian turun di sebuah persimpangan yang tertancap plang bertuliskan KE LEBAKSARI. Di simpang itu, beberapa angkutan pedesaan goprok menunggunya. Ajie tak punya pilihan, kecuali ia bisa memilih mobil mana yang sudah berpenumpang dan yang mesinnya siap dihidupkan.

Di dalam angkutan pedesaan ini Ajie duduk berhimpitan dengan ibu-ibu penjual di pasar. Ah, yang namanya ibu-ibu penjual di mana-mana selalu sama, mulut mereka tak bisa berhenti berceloteh. Telinga semakin menderita karena celotehan mereka digabung dengan bunyi raungan mesin mobil yang rebek. Belum lagi yang namanya penjual di pasar bawaannya pasti keranjang atau bakul, satu dua dari sekian banyak bakul itu isinya mungkin saja ikan asin atau mungkin juga terasi, busuknya meruap. Bakul-bakul itu bertumpuk di dalam angkutan, menambah sempit ruangan. Suasana gerah semakin ekstrim oleh ulah lelaki tua yang merokok di sebelahnya. Nah, bagaimana kalau separuh penumpangnya nggak mandi pagi? Dan bagaimana pula kalau tiba-tiba seseorang kentut? Hidung pastinya akan sangat menderita.

Ketika mobil melewati jalan kerakal banyak lubang, pantat Ajie menjadi makin terasa ambeien-nya. Sebentar-sebentar terangkat dari jok yang keras, sedetik kemudian terhempas. Setiap mobil melewati kelokan tajam, penumpang di sebelah nya meliuk dan mendesak tempat duduknya. Wuaaah..., Ajie tak bisa berkutik. Ia benar-benar sengsara. Dan itu terjadi selama satu jam, sebelum mobil sampai di wilayah kecamatan Lebaksari yang jalannya agak mulusan.

Itu baru perjalanan dari rumah ke sekolah, bagaimana saat pulangnya di siang hari? Dasar nasibnya harus jelek, jam kepulangan Ajie dari mengajar berbarengan pula dengan jam kepulangan para bakul di pasaran itu. Silakan bertanya; apakah para bakul itu tak kehabisan celotehnya?

Kasihan melihat anaknya kerap mengeluh soal pengangkutan, maka Pak Jalil pergi ke dealer motor Honda. Pulangnya, sang haji menuntun Revo.

Nah, sejak ada sepeda motor, Ajie mulai merasakan nikmatnya perjalanan. Ia bisa berhenti istirahat sesuka hati di mana saja sambil menikmati pemandangan desa. Telaga, sawah, sungai, gunung dan perbukitan, serta..., ah, perempuan. Setiap desa yang dilewatinya senantiasa menyuguhkan gadis-gadis, baik yang sengaja nongkrong di tepi jalan, maupun yang memang lagi menunggu angkutan.
Bicara soal perempuan, Ajie jadi teringat sama Tini Anggraeni, sejawatnya di SMP yang lumayan menarik. Melihat sikap Tini yang suka grogi kalau disapa, Ajie dapat menebak bahwa gadis itu cinta kepadanya. Tapi Ajie bukan cowok gampangan dalam soal cinta, ia senantiasa mengorek sisi terburuk pribadi Tini. Terlepas dari itu, Ajie tak mau profesionalitasnya terusik gara-gara menjalin hubungan asmara dengan rekan sekantor.

Saat masih bimbang-bimbangnya memikirkan Tini, pada suatu pagi di bulan Februari, motornya tanpa sengaja nyeruduk lengan seorang gadis desa Batuhieum. Ajie tidak mengalami luka dalam insiden tersebut, tetapi cewek bernama Winne yang disenggolnya terkapar pingsan di jalan.
Sejak peristiwa itu, setelah ia perhatikan cantiknya wajah Winne, pikirannya jadi selalu terpusat ke Batuhieum. Tini? Harus bye-bye dari ingatan.

Nyaris setiap hari sepulang mengajar Ajie mampir ke rumah Winne, dan ia selalu diterima dengan suka-cita oleh kedua orang tua Winne. Tapi sayang seribu kali sayang, Winne kerap menghindari pertemuan. Jika pun dipaksa menemani, Winne akan diam seribu bahasa di depan Ajie. Ternyata oh ternyata, gadis tertutup seperti inilah yang disukai Ajie.

"Sepanjang aku kenal yang namanya perempuan, baru pertama kali aku dipertemukan sama cewek yang matanya tak berbinar melihat ketampananku." Ia semakin penasaran. Ia ingin menaklukan keangkuhan hati gadis itu.

Maka, sebulan kemudian Ajie memantapkan pikiran untuk segera melamar. Ia memboyong kedua orang tuanya ke Batuhieum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline