Persoalan karut marut izin pertambangan tanah air masih belum ada titik terangnnya. Menteri Investasi dan BPKM Bahlil Lahadalia yang menjadi sentral pusaran isu terkait kebijakannya dalam pencabutan izin usaha tambang yang telah dibekukan pemerintah tetap jadi sorotan publik.
Apalagi belakangan beredar kabar bahwa dalam kapasitasnya sebagai Ketua Satgas Percepatan Investasi, Bahlil disebut-sebut meminta upeti ke sejumlah pengusaha yang ingin mendapatkan kembali izin usaha tambang dan Hak Guna Usaha (HGU).
Alasan Bahlil dalam melakukan pencabutan konsesi tersebut karena belum beroperasi atau tidak produktif. Akibatnya, tidak kurang dari 2.000 izin usaha pertambangan (IUP) dan HGU yang tidak produktif harus jadi korban.
Maka kepada para pihak yang semula telah memegang hak dan konsesi namun mengalami pembekuan tersebut, mereka harus meminta kembali untuk menghidupkan izin dan melalui orang-orangnya diduga, Bahlil memintameminta fee dengan besaran Rp 5-25 miliar, tergantung kondisi perusahaan dan banyaknya bahan penambangan.
Tak hanya meminta uang, pemilik perusahan pemilik konsesi tersebut juga diisukan harus menyerahkan porsi saham sebanyak 30 persen kepada yang izinnya sudah dihidupkan kembali.
Menurut pengamat Ekonomi Energi dan Pertambangan Fahmy, Radhi tindakan Bahlil tersebut sangat merugikan negara. Akademisi dari UGM tersebut menambahkan, jika kemudian tindakan Bahli itu terbukti adanya maka dampak besar yang bisa ditimbulkan adalah kian menjamurnya tambang-tambang ilegal di tanah air dan kerugiannya tak cuma kepada pemerintah, tetapi juga masyarakat dan lingkungan "Karena biasanya banyak dari perusahaan yang legal itu punya banyak jaringan pertambangan ilegal. Itu yang terjadi selama ini," kata Fahmy, Sabtu.
Maka tindakan Bahlil dalam kapasitasnya sebagai Investasi, sejatinya telah keluar dari aturan kewenangan terkait pencabutan izin ribuan konsesi tambang tersebut. Mengapa keluar aturan karena secara Undang-Undang yang berhak memberi izin dan mencabutnyba adalah kementerian lain yakni ESDM. Sementara dasar Bahlil dalam melukan dan mengeluarkan keputusan tersebut ada pada Kepres Nomor 11 Tahun 2021. Secara strata hukum, status Keppres ada di bawah Undang-Undang.
Untuk hal demikian, pengamat ini mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga hukum terkait untuk berani menindak Bahlil. "KPK dan penegak hukum lain perlu segera bertindak demi kepentingan negara, tidak siapapun yang melakukan dugaan tindakan itu, harus ditindak," tegasnya.
Bahkan, jika dalam penyelidikan terdapat kuat, maka Presiden harus segera memecat Bahlil dari Kabinet Indonesia Maju. "Berkaca dari kasus SYL, dan menteri lainnya, jika KPK punya alat bukti yang cukup dan jadi tersangka, dia harus dipecat dari Menteri," paparnya.
"Di sisi lain, DPR juga harus memberikan tekanan agar KPK bertindak, tanpa harus menunggu Jokowi," pungkasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H