Lihat ke Halaman Asli

Bataona Noce

Aku... Nanti, kalian akan mengenaliku di sana....

Permintaan "Maaf" Sudah Tidak Relevan?

Diperbarui: 21 Juli 2018   12:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aku, setahun terahir benar-benar hilang dari dunia literasi. Banyak yang bertanya, "Mengapa?", dan aku hanya menjawab, "Aku hanya butuh waktu untuk menyepi, mengisi sela-sela kekosongan". Nah, anggaplah kalian sangat menantikan setiap tulisan 'keren' yang saya terbitkan (hitung-hitung sebagai fans, dih, pede amat ya...). Dan kalian pura-pura bertanya: "Kamu koq tega banget! Kemana aja setahun  ini? kita kangen banget tau...." Lalu aku menjawab santai (sellow), "Maaf ya teman-teman...." Apakah kalian dengan lapang dada bersedia menerima maafku?

Jelas bahwa jawaban teman-teman akan ada yang menerima, tetapi ada juga yang akan menolak (dih, ngapain coba!). Pertanyaannya adalah apakah permintaan maaf masih diperlukan?

Maaf merupakan sebuah tuntutan pembebasan, sama seperti kata ampun. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata maaf memiliki tiga pemahaman, yaitu tuntutan pembebasan, permintaan ampun dan permohonan. Pada kesempatan ini kita akan melihat pemohaman maaf yang pertama dan kedua. Sebab pemahaman yang ketiga hanya lebih seperti permintaan izin.

Pertama, maaf sebagai tuntutan pembebasan dari sebuah hukuman dan denda, misalnya, "Saya minta maaf atas kejadian kemarin!". Kedua, maaf sebagai permintaan ampun, misalnya, "Maafkanlah saya yang telah menyakitimu!" atau "Ampunilah saya yang telah menduakanmu!" Sejak kecil, kita semua pasti diajarkan perihal bermaaf-maafan. 

Kita pelajari, kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari (meski ada yang tidak, iya kan? hhhhe) dan kita tumbuh berkembang hingga dewasa berdasarkan etika bermaaf-maafan. Secara tidak sengaja, permaafan telah terbentuk dan mengakar kuat dalam pikiran sehat kita, sehingga kita lupa fungsi sesungguhnya dan menjadikannya hanya sebagai sebuah kebiasaan.

Selanjutnya saya akan memberikan sebuah challenge kepada teman-teman. Datangi pacar kalian dan katakan dengan tegas kalau kamu meminta putus, bahwa dia adalah orang yang egois dan tidak pantas bersama kamu. Atau yang lebih ekstrim (contoh), kalian temui siapapun di jalanan lalu menusuk perutnya  dengan sebuah pisau hingga meninggal dunia (maaf, agak keras.... lho penulis sendiri minta maaf... ahaaha). 

Setelah itu teman-teman mendatangi keluarganya dan meminta maaf. Apakah kalian akan dimaafkan? Iya, ada kemungkinan dimaafkan. Apakah setelah meminta maaf, masalah tersebut akan terselesaikan? Sepenuhnya tidak... toh orang yang kamu tusuk perut sudah meninggal dunia.

Jadi, dengan tegas saya mengatakan bahwa sebenarnya permintaan maaf sudah tidak relevan lagi pada zaman sekarang. Dulu atau sebelumnya iya, tetapi tidak untuk zaman sekarang! Sebab yang terpenting dan terutama adalah berubah. Maaf saja tidak cukup. Sering terlambat ke sekolah tidak akan terselesaikan hanya dengan permintaan maaf, tetapi dengan sebuah perubahan, berubah untuk tidak mengulangi hal yang sama.

Salam santun dari saya! (Bataona Noce)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline