Jika ada yg mengatakan "aku malu jadi orang Indonesia" sudah dipastikan yang ngomong belum membaca limpahan kekayaan manuskrif nusantara yang membuktikan adiluhungnya peradaban nenek moyang bangsa Indonesia.
Bagaimana tidak adi luhung kalau pada abad ke-5 berdasarkan sumber Tibet, para Tokoh agama datang kenusantara untuk menerjemahkan kitab Hindu dari bahasa sansekerta ke Bahasa Mandarin era Mataram Kuno ( Ho~ling) para tokoh agama itu di bantu menerjemahkan oleh pendeta Mataram kuno.
Di nusantara era itu sudah ada pusat penerjemahan bahkan mengalahkan tradisi Hindu di India.
Nusantara Hindu jika dicermati lebih teliti jelas berbeda dengan Hindu india.
Ini bisa dibuktikan dengan fakta dan data arkeologi.
Era kerajaan Kutai sang raja menyediakan tempat khusus ( mulia ) bagi para Brahmana yang disebut Waprakeoevara. Hal ini berbeda dari struktur masyarakat hindu di India yang meletakkan Brahmana diatas kasta sang Raja, yaitu Kasta Ksatria.
Dalam prasasti Tugu (Poerbatjaraka, 1952:14-15). Diceritakan bahwa sang raja merupakan cucu Pendeta yang berkasta Brahmana. Padahal seharusnya raja berasal dari kasta Ksatria.
Dalam tradisi hindu India tidak mungkin satu keluarga memiliki dua kasta. Tetapi di Nusantara bisa terjadi.
Kekhasan lainnya adalah penyamaan raja dengan dewa ini sesungguhnya tidak lazim di India.
Ini sesungguhnya local Genius yaitu bagaimana kebudayaan lokal mengolah kebudayaan asing itu sesuai dengan karakteristik maupun kepentingan masing-masing. ( lihat, Noerhadi Magetsari" LOCAL GENIUS" Jumantara vol.01 No.1 Th 2010).
Jadi bisa di terima ungkapan Bung Karno Menganut Hindu bukan berarti Jadi Hindustan ( India ). Nusantara dengan demikian punya daya tawar dalam menerima sebuah nilai dan peradaban.
Bukan mencerna tanpa pikir meninggalkan kontemplasi.
Sehingga bisa melahirkan peradaban adiluhung yang tak tertandingi.
Borobudur bukti nyata lahir dari perpaduan antara aliran Tantrayana dan Mahayana. Ini merupakan mutiara berharga nenek moyang menerima kebaikan darimanapun untuk kebaikan semesta rahmatan lil alamin.
Lagi-lagi fasafah Bhineka Tunggal Ika tidak datang tiba-tiba dan bisa dijadikan perekat tali kebangsaan Indonesia.