Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan salah satu titik rawan terjadinya penyimpangan, salah satunya adalah praktik pungutan liar (pungli). Pungutan liar dalam proses ini bukan hanya mencoreng transparansi dan akuntabilitas, tetapi juga berpotensi menjadi tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah perkara Purwanto, Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada Dinas Pekerjaan Umum Pontianak. Dalam proses pengadaan tersebut, Purwanto diketahui memungut biaya sebesar Rp700 ribu untuk dokumen greed 5 dan Rp400 ribu untuk dokumen greed 4 dari 36 perusahaan peserta lelang. Total pungutan yang ia peroleh mencapai Rp23,7 juta, tanpa dasar hukum yang sah dan tanpa persetujuan Kepala Dinas Pekerjaan Umum. Modusnya cukup sederhana: peserta lelang tidak akan mendapatkan dokumen pengadaan tanpa membayar pungutan tersebut.
Pungutan Liar dan Regulasi yang Dilanggar
Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 secara tegas melarang adanya pungutan dalam bentuk apa pun dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Sayangnya, dalih biaya operasional seperti makan dan minum panitia lelang sering dijadikan alasan untuk menarik pungutan liar dari peserta lelang. Tindakan ini melanggar prinsip-prinsip dalam pengadaan, yaitu transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas.
Tindakan Purwanto tidak hanya melanggar regulasi administratif, tetapi juga memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa seseorang memberikan sesuatu dapat dijatuhi hukuman pidana. Dalam kasus ini, pungutan liar tersebut masuk kategori pemaksaan karena peserta lelang tidak memiliki pilihan lain selain membayar.
Proses Hukum dan Polemik Penegakan Hukum
Kasus ini telah melalui perjalanan hukum yang panjang. Pengadilan Negeri Mempawah memutus Purwanto bersalah dengan pidana penjara 1 tahun dan denda Rp2 juta. Namun, Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat memperingan hukuman dengan mengganti pidana penjara menjadi masa percobaan selama 1 tahun, yang memicu perdebatan. Mengapa pelaku yang secara jelas melanggar hukum hanya dihukum dengan masa percobaan?
Untungnya, Mahkamah Agung mengoreksi putusan tersebut dan mengadili sendiri kasus ini. Dalam Putusan Nomor 114 K/Pid.Sus/2011, Mahkamah Agung menjatuhkan kembali pidana penjara 1 tahun dan denda Rp2 juta kepada Purwanto. Putusan ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung berkomitmen untuk menegakkan hukum sesuai aturan yang berlaku.
Pelajaran dari Kasus Purwanto
Kasus ini memberikan beberapa pelajaran penting:
- Pentingnya Transparansi dan Kepatuhan Regulasi: Setiap proses pengadaan barang/jasa pemerintah harus mematuhi regulasi yang berlaku untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan.
- Penegakan Hukum yang Konsisten: Kasus ini menunjukkan bahwa proses hukum dapat menjadi mekanisme koreksi terhadap putusan yang kurang adil. Namun, perjalanan panjang menuju keadilan juga menjadi refleksi atas kelemahan sistem peradilan yang memerlukan penyempurnaan.
- Pencegahan Pungli: Pemerintah harus memastikan bahwa kebutuhan operasional pengadaan barang/jasa dikelola secara transparan dan tidak dibebankan kepada peserta lelang.
Pungutan liar bukan hanya merugikan peserta lelang, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Oleh karena itu, perlu ada pengawasan yang lebih ketat dan sanksi yang tegas untuk menghilangkan praktik-praktik pungli dalam pengadaan barang/jasa. Kasus Purwanto menjadi pengingat bahwa penyalahgunaan kekuasaan, sekecil apa pun, harus mendapatkan perhatian serius demi menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.