Jakarta -- Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 358 K/Pid/2020 tanggal 30 April 2020 menegaskan bahwa sengketa terkait proyek Land Grading Bagendang di Kalimantan Tengah antara PT Trimuda Adhipradana dan PT Binasawit Abadi Pratama bukanlah tindak pidana, melainkan murni persoalan perdata.
Kasus ini bermula dari kerja sama antara Direktur Utama PT Trimuda Adhipradana, HP, dengan saksi pelapor ET dan IGW dari PT Binasawit Abadi Pratama dalam proyek pekerjaan Land Grading di Kabupaten Waringin Timur, Kalimantan Tengah. Kerja sama tersebut melahirkan sejumlah perjanjian kontrak dan tender yang dimenangkan PT Trimuda Adhipradana sebanyak tiga kali berturut-turut.
Namun, pelapor melaporkan HP atas dugaan tindak pidana penipuan karena merasa tidak puas dengan pelaksanaan proyek. Pengadilan Negeri menyatakan HP bersalah atas tindak pidana penipuan dan pemalsuan dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP serta Pasal 263 Ayat (2) KUHP jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Mahkamah Agung: Hubungan Hukum Bersifat Perdata
Mahkamah Agung di tingkat kasasi membatalkan putusan tersebut dan menyatakan bahwa sengketa ini merupakan persoalan keperdataan. Menurut Mahkamah Agung, hubungan hukum antara kedua perusahaan telah diatur melalui perjanjian kerja sama (SPK), sehingga pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat tidak selesainya proyek atau tidak terbayarnya seluruh pekerjaan hanya dapat mengajukan gugatan wanprestasi atau cidera janji, bukan tuntutan pidana.
Mahkamah Agung sejalan dengan pandangan ahli hukum pidana, Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H., yang menyatakan bahwa perkara ini tidak memenuhi unsur tindak pidana tertentu, termasuk Pasal 378 KUHP tentang penipuan. Menurutnya, untuk memenuhi unsur tindak pidana penipuan, harus ada tindakan menyampaikan informasi yang tidak benar dengan maksud menipu. Selama perjanjian kontrak dibuat dalam hubungan bisnis yang sah, hal itu tetap menjadi ranah keperdataan.
Resiko Perjanjian Tidak Bisa Dipidanakan
Mahkamah Agung juga menekankan bahwa kerugian yang timbul akibat tidak selesainya proyek atau tidak terbayarnya keseluruhan nilai proyek merupakan risiko dari sebuah perjanjian. Risiko ini, yang disebut wanprestasi, adalah persoalan perdata dan tidak dapat dianggap sebagai tindak pidana. Hubungan kontrak antara kedua belah pihak menunjukkan adanya keabsahan hukum keperdataan yang menjadi dasar dalam penyelesaian sengketa.
Keputusan Akhir
Putusan Mahkamah Agung ini menjadi pengingat penting bahwa tidak semua kerugian dalam dunia usaha dapat langsung dianggap sebagai tindak pidana. Sengketa yang lahir dari hubungan kontrak sebaiknya diselesaikan melalui jalur perdata, seperti gugatan wanprestasi, dan bukan melalui jalur pidana yang memerlukan unsur-unsur tertentu untuk dipenuhi.