Lihat ke Halaman Asli

Basuki Kurniawan

UIN KHAS Jember

Perbup Blitar Nomor 6 Tahun 2023: Penataan Pedagang Kaki Lima yang Lebih Manusiawi

Diperbarui: 21 November 2024   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Blitar, Jawa Timur, tengah merencanakan penataan pedagang kaki lima (PKL) di area Alun-alun Kanigoro yang berlokasi di kompleks Kantor Bupati Blitar. Namun, langkah ini belum dapat direalisasikan sepenuhnya karena masih menunggu terbitnya Peraturan Bupati (Perbup) terkait zonasi PKL di wilayah Kabupaten Blitar.

Meski Peraturan Daerah (Perda) tentang penataan PKL sudah ada, implementasinya masih membutuhkan aturan pelaksana berupa Perbup untuk mengatur zonasi yang lebih spesifik. Darmadi, perwakilan dari Disperindag, mengungkapkan bahwa proses penyusunan aturan zonasi PKL masih berlangsung. Ia menegaskan harapannya agar Perbup tersebut segera diterbitkan, sehingga penataan PKL, tidak hanya di kompleks Kantor Bupati, tetapi juga di seluruh Kabupaten Blitar, dapat segera dilaksanakan.

Pedagang kaki lima (PKL) adalah salah satu penggerak utama ekonomi lokal yang berkontribusi besar terhadap keberlangsungan hidup masyarakat, terutama di kawasan perkotaan. Dalam upaya mendukung keberadaan mereka, Pemerintah Kabupaten Blitar menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Kebijakan ini bertujuan menciptakan lingkungan usaha yang tertib, bersih, dan kondusif bagi PKL. Namun, implementasi kebijakan ini masih menghadapi berbagai tantangan di lapangan.

Salah satu persoalan utama adalah minimnya fasilitas yang layak bagi PKL. Di banyak lokasi, belum tersedia area yang memadai untuk para pedagang. Akibatnya, mereka sering kali harus menempati tempat yang melanggar aturan, memicu konflik dengan masyarakat dan aparat penegak hukum.

Selain itu, kurangnya sosialisasi mengenai Perbup ini menjadi masalah yang signifikan. Sebagian besar pedagang tidak memahami esensi dan manfaat dari kebijakan tersebut. Ketidaktahuan ini menyebabkan kekhawatiran, bahkan penolakan terhadap upaya penataan. Prosedur yang kurang jelas juga menyulitkan PKL untuk memanfaatkan peluang yang dijanjikan dalam Perbup ini.

Tantangan lain adalah lemahnya pengawasan dan ketidakadilan dalam implementasi aturan. Penegakan kebijakan yang tidak merata menciptakan ketidakpuasan di kalangan PKL. Beberapa kawasan sudah tertata dengan baik, namun kawasan lain dibiarkan tanpa pengelolaan yang memadai.

Agar kebijakan ini lebih efektif dan bermanfaat, pendekatan yang lebih manusiawi dan inklusif perlu diutamakan. Pemerintah dapat melibatkan PKL dalam proses perencanaan dan penataan, sehingga solusi yang dihasilkan lebih relevan dengan kebutuhan mereka. Selain itu, penyediaan fasilitas yang layak seperti area berjualan strategis, akses air bersih, dan sanitasi perlu menjadi prioritas.

Pelatihan dan pendampingan juga harus diberikan untuk meningkatkan keterampilan PKL dalam manajemen usaha, pemasaran, dan pengelolaan keuangan. Pemerintah juga perlu memperkuat mekanisme pengawasan agar implementasi kebijakan ini berjalan adil dan konsisten di semua wilayah.

Perbup Nomor 6 Tahun 2023 merupakan langkah awal yang baik, tetapi keberhasilannya bergantung pada komitmen pemerintah untuk menjadikannya lebih berpihak pada pemberdayaan ekonomi lokal. Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan humanis, kebijakan ini dapat menjadi bukan hanya alat penertiban, tetapi juga sarana pemberdayaan ekonomi kecil yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline