Lihat ke Halaman Asli

Bahasa Alat Propaganda??? Warisan Penjajah untuk Kita

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh : Basuki

Bahasa merupakan suatu identitas dari sekelompok social masyarakat tersebut. Bahasa merupakan suatu ikatan dari kebudayaan. Karena salah satu unsur kebudayaan adalah bahasa. Bahasa diwarnai oleh berbagai dialek dan berbagai macam varian sesuai dengan daerahnya masing-masing. Maka dari itulah mungkin para peneliti menyimpulkan bahwa bahasa merupakan identitas setiap manusia.

Kita belum mengetahui sejauh mana perkembangan bahasa yang ada di dalam masyarakat. Pada dasarnya bahasa dibuat sebagai alat komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Tanpa bahasa memang sangat mustahil manusia bisa berkembang se pesat yang kita rasakan pada saat ini. Namun, ada kejanggalan yang penulis lihat dalam kehidupan sehari-hari, yaitu terjadinya saling mengejek antara pengguna bahasa yang satu dengan pengguna bahasa lainnya. Contohnya daerah Sibuhuan, Padang Lawas, Sumatera Utara dan sekitarnya sangat sering diejek oleh daerah lainnya dengan penuturan pada akhir kalimat, tepatnya di awal suku kata terakhir yang diucapkan dengan nada panjang.

Sadia saikat kaaaacang on” , “berapa seikat kaaaaaaacang ini”

Apakah ini ajaran nenek moyang, atau memang sudah membudaya. Jika memang betul, ini sangat dikhwatirkan. Yang ditakutkan adalah bahwa jalinan sosial akan semakin meregang. Karena secara individual pengguna bahasa tersebut akan merasa terkucilkan di tengah masyarakat pengguna bahasa lainnya. Jadi, apakah ini akan kita pertahankan dan kita budayakan? Menurut hemat penulis masalah ini akan menjadi sangat besar jika terus dibiarkan. Contohnya, apabila masalah ini terus dibiarkan bisa jadi akan terulang penjajahan terhadap diri kita masing-masing.

Pada masa dahulu kala kita masih ingat dari hasil membaca dan mendengarkan, cerita demi cerita yang dilontarkan atau dituliskan bahwa Negara kita dijajah dengan menggunakan trik propaganda antara masyarakat adat yang satu dengan masyarakat adat lainnya atau lebih dikenal dengan “devide et impera” (politik pecah belah). Antar masyarakat adat tersebut saling membantai dipecah belah dengan pengadudombaan. Dengan begitu, para penjajah lebih mudah dalam menjalankan aksinya.

Tanpa disadari oleh masyarakat tersebut bahwa telah terjadi pembodohan yang telah berlangsung lama. Anehnya masyarakat pengguna bahasa yang berdialek lain juga dialeknya diejek oleh masyarakat daerah lain pula. Contohnya bahasa Mandailing(Mohon maaf kepada orang Mandailing). Bahasa Mandailing terkenal sangat susah mengucapkan huruf /z/, huruf /z/ akan terdengar seperti huruf /s/. sehingga jika mereka membaca “Plaza” maka akan terdengar “Plasa”. Bahkan yang paling parah ketika mereka membaca al-quran pelafalan huruf /z/ pun masih terdengar di tuturan orang awam. Ini dikhatirkan akan lebih berdampak negative lagi.

Hemat penulis menyimak polemik yang ada sebenarnya adalah hasil dari saling mengejek. Karena pada dasarnya manusia ingin sekali di uongke (dianggap manusia; mulia). Karena satu daerah mengejek, maka para pendahulu yang diwariskan oleh penjajah dengan strategi mengadu domba/pecah belah “devide et impera” pun digunakan.

Ketika kita membaca buku bahasa Indonesia untuk perguruan tinggi (Aleka, 2010:18) mengatakan bahwa “Fungsi bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia ialah sebagai alat pemersatu suku-suku bangsa di Republik Indonesia yang beraneka ragam”. Itu sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Namun dengan fenomena sosial yang terlihat, maka sangat jelas bahwa bahasa dalam konteks ini bukan lagi sebagai alat untuk pemersatu bangsa, malah sebaliknya pemecah belah rasa nasionalisme.

Harapan saya, semoga bahasa tetap dijadikan sebagai alat pemersatu suku dan bangsa di Indonesia. Jangan sampai bahasa malah menjadi alat propaganda daerah satu dengan daerah yang lain. apalagi Sibuhuan, Mandailing Natal, Sipirok, Padangbolak (Gunungtua) dan Padangsidimpuan adalah satu rumpun, yaitu Angkola. Semoga tetap menjalin persaudaraan yang baik sesama suku dan antar suku lain. akhir kata, api bisa membesar tanpa ditiup angin, apalagi angin itu membawa api terbang ke daerah lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline