Indonesia di gadang-gadang akan mencapai on top of the golden age pada 2045 mendatang, hal ini disampaikan oleh salah satu menteri koordinator Bidang Pembangunan manusia dan Kebudayaan (menko PMK) muhadjir efendy yang mana tuturan ini lebih di titik beratkan bagi kaum muda-mudi yang akan berselancar dalam kontestasi politik mendatang.
Menjadi suatu tanggungjawab besar bagi setiap kaum muda-mudi dalam menapaki moment politik mendatang sebagai hajat besar untuk proses penentu pada kiblat negara yang sudah di petakan, tentunya ini bukan hal yang muda kerena dengan kondisi ini juga banyak sekali bentuk permasalahan yang akan berujung pada persoalan sosial yang berkepanjangan bahkan dapat mempengaruhi skala stabilitas negera ini jika tidak diselaraskan dengan prinsip-prinsip yang moderat.
Melalui peraturan komisi pemilihan umum (PKPU) nomor 2 tahun 2024 telah di tetapkan skema dari keberlangsungan pilkda serentak, ini sebagai bentuk dari pelaksanaan dan keberlangsungan demokrasi cita-cita bangsa indonesia. Konsebsi suatu negara adalah dari orientasi tatanan politik itu sendiri yang tentunya kiblat dari politik negara bukan dari hasil menerawang ataupun berangan angan semata akan tetapi ini berangkat dari tekad dan perwujudan strategis yang matang dengan pertimbangan atas kebutuhan masyarakat dan stabilitas negara.
Perwujudan dari tekad politik sejatinya telah dibumikan oleh Founding Father Indonesia Bung Karno dalam pidatonya tertanggal 17 agustus 1964, yang dinamakan dengan TRISAKTI Bung Karno, sebagai tekad indonesia harus beradaulat dalam bidang politik,ekonomi dan kebudayaan yang harus berjalan selaras. Akan tetapi tekad yang telah dibumikan dalam keberlangsungannya ini berhenti ditengah persimpangan kiri jalan dan menjadi satu bentuk statement bahwa indonesia berada pada titik kemelut Demokrasi.
Penulis sangat prihatin dengan kondisi negara yang tengah di landa nihilisasi dari demokrasi yang betul-betul tergerus ditengah membumbungnya kebutuhan masyarakat terhadap pejabat publik negara untuk hadir ditengah-tengah masyarakat sebagai panji-panji keselamatan, namun itu layaknya pandangan yang utopis semata. Maka dari itu penulis berkesempatan untuk menilik dengan amat dan hemat yang seyogiyanya.
Lantas apakah kontrak sosial dapat menjadi legal standing dalam instrument politik? dan apakah itu sebagai bentuk persoalan hukum jika komitmen politik (political will) tidak di tepati?
Aksentuasi defenisi dari Kontrak sosial adalah modal awal terbentuknya tatanan besar yang dinamakan masyarakat ataupun lembaga yang hadir sebagai representasi yang terorganisir dalam hal ini adalah negara, dimana bagian-bagian kecil ini terdiri dari individualis yang otonom. Untuk selanjutnya individualis yang otonom terikat dalam sistem yang kita sebut sebagai aturan dalam halnya perilaku kewarganegaraan yang memiliki hak serta kewajiban yang senantiasa haruslah dijalankan.
Ini sebagai bentuk manifestasi dari prinsipil moderat atau dengan kata lain Hukum, yang mana jika berangkat dari pernyatan Jean Jacques Rousseau bahwa karena hakikat asasi dari hukum adalah wujud dari keinginan kolektif (Volentè generale), bukan pula keinginan dari golongan tertentu (Volentè De corps) ataupun dari segerombolan yang tidak teratur (Volentè De tous).
Tentunya berangkat dari pengertian diatas bahwa itu merupakan bagian dari tafsiran yang mana secara causal awal mula dimana terbentuknya ketatanegaraan dengan buah sistem Kontroler sebagai instrument untuk mencapai suatu kesepakatan dengan diserahkannya bagian hak otonom individual demi keberlangsungan kelembagaan (Negara) yang secara kedudukan hukum berlaku sebagai suatu perjanjian dan letak pengawasanya berada pada rakyat.
Mengacu pada dinamika perhelatan politik saat ini eskalasi elektabilitas akan segera berlangsung, bahwa dalam pilkada serentak tidak terlepas dari setiap janji politik yang dikemas dengan sedeimikian rupa untuk meraup pundi-pundi suara demi penantian suatu jabatan.