Lihat ke Halaman Asli

Jokowi – Ahok Bukanlah Dewa, Mereka Butuh Kritik Kita

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya adalah salah satu warga Jakarta yang sangat kagum dengan gebrakan Pak Jokowi dan Pak Ahok di awal-awal masa pemerintahan mereka. Berbagai dobrakan dilakukan seperti pengurukan Kali Ciliwung, normalisasi waduk Pluit, Kartu Jakarta Sehat, relokasi pedagang di Tanah Abang, dll.

Namun walaupun banyak keberhasilannya, tidak semua program Jokowi-Ahok tepat. Hal itu wajar, dikarenakan mereka bukan dewa, mereka juga manusia. Kebijakan-kebijakan kurang tepat atau bisa kita bilang kebijakan prematur itu paling terlihat dalam kebijakan mengurai kemacetan dan pengaturan transportasi publik.

Berberapa kebijakan prematur yang saya lihat adalah:

1)Meninggikan separator busway di berberapa ruas jalan

Tentu hal ini berakibat fatal, dikarenakan fasilitas bis TransJakarta belumlah baik dan sering mengalami mogok. Hal ini seperti yang pernah saya alami, dimana ketika saya menaiki bis Transjakarta, tidak tahunya terdapat bis yang mogok di depan saya. Dikarenakan separator yang tinggi, bis saya tidak bisa menghindari bis tersebut dan terjebak di jalur busway. Alhasil kami harus menunggu sekitar setengah jam menunggu bis bantuan datang untuk mengevakuasi kami dan penumpang di bis depan.

2)Denda 500 ribu ketika memasuki jalur busway

Tentu ini kebijakan yang baik, namun apakah efektif mengurai kemacetan? Dengan keengganan pengguna kendaraan pribadi menggunakan busway dan jalur yang dipersempit untuk  lahan busway, sebenarnya kebijakan ini kurang efektif. Karena sebenarnya kebijakan ini tidak akan mendorong pengguna kendaraan pribadi berpindah ke transportasi publik, justru mereka akan tetap menggunakan kendaraan pribadi dan kemacetan tetap parah. Sering kita alami bahkan ketika macet bertambah parah, polisi mengarahkan kendaraan pribadi untuk memasuki busway.

Kita tidak bisa menyalahkan pengguna kendaraan pribadi yang enggan menggunakan transportasi publik, karena transportasi publik yang aman, cepat, dan nyaman belum tersedia. Wakil gubernur juga menolak naik busway dengan alasan efisiensi waktu kok.

Percayalah tanpa ada kebijakan ini, bila transportasi publik yang aman, cepat, dan nyaman yang sedang dibangun PEMDA DKI telah rampung, pengguna transportasi pribadi sendirinya akan beralih ke transportasi publik.

3)Tarif parkir yang selalu naik

Bagi mereka yang ke gedung di daerah Sudirman pasti telah merasakan tarif parkir telah naik menjadi Rp 5000,- untuk jam pertama. Pak Ahok pernah berkomentar, “Biarkan saja kita naikkan terus tarif parkirnya, biar orang ke mall naik transjakarta semua.”

Tentu kebijakan dan komentar ini lucu. Menaikkan tarif parkir tidak akan menurunkan minat masyarakat untuk naik kendaraan pribadi ke mall. Hal ini wajar secara logika, mana mungkin orang mau berdesak-desakkan di TransJakarta sambil membawa belanjaan yang banyak? Terus saja naikkan tarif parkirnya, orang akan tetap menggunakan kendaraan pribadi ke mall.

Ketiga kebijakan tadi sangat prematur bila dijalankan sekarang, karena sekali lagi saya tegaskan pembangunan fasilitas transportasi publik yang aman, cepat, dan nyaman belum rampung.  Jangan salahkan pengguna kendaraan pribadi bila mereka tetap menggunakan kendaraan pribadi, hal ini dikarenakan menggunakan transportasi publik di Jakarta lama, tidak nyaman, dan tidak aman. Bila transportasi publik yang baik sudah tersedia, masyarakat dengan sendirnya akan beralih ke transportasi publik tanpa harus digertak atau disemprot dengan komentar-komentar pedas sang wakil gubernur.

Saya sendiri sangat prihatin dengan para pendukung fanatik Jokowi-Ahok yang tidak rasional. Mengapa saya rasakan tidak rasional? Tentu ketika Jokowi-Ahok benar kita harus dukung, namun ketika salah kita harus berani mengkritik, bukan malah mendukung secara membabi buta, lantas memaki orang-orang yang mengkritik Jokowi-ahok.

Setiap pemimpin butuh dikritik, karena sebaik apapun pemimpin jika hanya memakan pujian lambat laun akan menjadi pemimpin yang megalomaniac, yang menganggap dirinya hebat dan cenderung menjadi diktaktor. Tentu kita ingat Kolonel Khaddafy, pemimpin yang dulunya dipuja dan disanjung rakyat Libya ini justru menjadi pemimpin yang tiran kerena terlalu banyak disanjung dan menolak kritik. Di Indonesia ada sosok Bung Karno yang terlalu banyak disanjung dan akhirnya membawa petaka bagi perekonomian Indonesia, atau Pak Harto yang sama juga terlalu banyak disanjung, menutup diri terhadap kritik dan akhirnya turun secara tidak terhormat.

Siapapun pemimpinnya kita harus mengapresiasi bila kebijakannya tepat, dan berani mengkritik bila kebijakannya salah. Hal itu dikarenakan mereka juga manusia, mereka tidak sempurna dan membutuhkan kritik kita untuk membuat kebijakan yang lebih baik untuk rakyatnya.

Saya yakin Pak Jokowi dan Pak Ahok adalah pemimpin yang tulus mengabdi untuk rakyat. Namun mereka tidaklah sempurna, maka dari itu kita harus membantu mereka dengan memberikan apresiasi dan kritik secara seimbang, sehingga kebijakan-kebijakan yang tepat dan bermanfaat dapat terus keluar dari masa pemerintahan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline