Lihat ke Halaman Asli

Megawati Bukan Mafia Satelit dan LNG, Jokowi Bukanlah Boneka Megawati

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyak dari kita yang menuduh Pak Joko Widodo adalah boneka Ibu Megawati, dan setelah itu menduduh lagi Ibu Megawati sebagai Mafia Satelit lewat penjualan PT. Indosat dan Mafia LNG lewat penjualan LNG murah ke China. Dan lewat tuduhan ini, mereka mengatakan Ibu Mega antek asing, tidak nasionalis. Apa benar tuduhan tersebut? Apa Pak Jokowi benar boneka Ibu Mega, dan apa benar Ibu Mega Mafia Satelit dan LNG?

Pada kesempatan ini saya ingin membuka kebenaran terkait itu semua. Kebetulan saya sempat mendengarkan kuliah dan berhubungan langsung sebagai keponakan dan anak dengan orang-orang yang berada di dalam kejadian itu semua. Tante saya saat itu merupakan pegawai Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Kementrian Keuangan (saat itu masih Departemen Keuangan) Republik Indonesia, Mama saya saat itu salah seorang pegawai PT. Indosat, dan dosen saya saat itu menjabat sebagai Menteri Kordinator Perekonomian pada saat pemerintahan Ibu Megawati Soekarnoputri. Selain dari orang-orang tersebut konten dari artikel ini juga berdasarkan kultweet yang pernah dibahas Ibu Megawati dengan tagar #TanyaMega #DemiIndonesia

Mama saya tentu awalnya tidak terima Indosat dijual saat itu, beliau turut aktif melakukan perlawanan terhadap upaya penjualan PT. Indosat bersama ribuan pegawai Indosat lainnya. Namun, tante saya mencoba menjelaskan keadaan yang sebenarnya, barulah ia mengerti dan mengikhlaskan penjualan tersebut.

Saat itu, Indonesia masih belum pulih dari efek krisis ekonomi moneter peninggalan rezim Orde Baru. Hutang kita hampir jatuh tempo, dan pemerintahan Ibu Megawati bertekad untuk melunasi utang IMF secepatnya. Namun jangankan untuk membayar hutang, untuk memenuhi APBN saja kita tidak mampu. Saat itu Indonesia benar-benar diujung tanduk, hampir bangkrut, atau nyaris default menurut dosen saya yang kala itu menjadi menko perekonomian. Ditambah lagi manuver kapal-kapal perang Amerika yang seringkali melanggar kedaulatan Indonesia, bahkan kapal induk mereka berani-beraninya bertengger di Laut Jawa dan Laut Timor. Tentu aggresor ini harus diusir, namun Indonesia saat itu tidak memiliki peralatan perang yang memadai, karenaterkena embargo militer AS. Mau membeli peralatan militer dari negara lain, tidak punya uang. Maka mengisi pundi-pundi negara merupakan kebutuhan yang sangat mendesak.

Opsi yang dilakukan pertama adalah menjual PT. Indosat, ya perusahaan satelit yang memiliki nilai strategis ini terpaksa harus dijual karena merupakan satu-satunya BUMN dengan performa yang baik dan diminati saat itu. Mama saya yang bekerja di bagian keuangan Indosat saat itu sendiri mengakui bahwa Indosat saat itu sangat sehat dikarenakan masih menikmati monopoli telepon satelit saat itu, dan wajar hanya perusahaan ini yang dilirik pembeli. Keputusan berat yang harus diambil pemerintahan Ibu Mega, namun demi kebutuhan yang lebih mendesak hal ini harus dilakukan. Dan dalam perhitungan tim pemerintahan Ibu Megawati saat itu dalam sepuluh tahun Indonesia sudah bisa melakukan buyback (beli kembali) saham PT. Indosat yang dijual tersebut. Kalau sampai hari ini pemerintah belum melakukan pembelian kembali saham tersebut, jangan salahkan Ibu Mega, coba tanya pemerintahan sekarang. Berdasarkan perhitungan itu pulalah menurut saya mengapa Pak Jokowi berani mengatakan bila terpilih kembali menjadi presiden akan membeli kembali saham PT. Indosat yang kala itu dijual .

Opsi kedua adalah menjual LNG kita yang berlimpah. Saat itu pasokan minyak dunia masih stabil, belum ada Arab Spring dan konflik-konflik lainnya yang menganggu stabilitas persediaan serta harga minyak mentah dunia, jadi negara-negara lain enggan untuk mengkonversi kebutuhan energinya ke gas. Satu-satunya negara di dunia ini saat itu yang mau membeli LNG adalah Republik Rakyat China. Namun masalahnya adalah, China saat itu akan menandatangani kontrak dengan Rusia, dimana Rusia akan membangun pipa-pipa gas dari Siberia ke wilayah RRC. Tentu kita kalah bersaing dengan Rusia, wilayah kita dipisahkan laut, LNG harus dibawa menggunakan kapal-kapal pengangkut. Mau tak mau kita harus menjual LNG dibawah harga yang ditawarkan Rusia ke RRC.

Namun pemerintahan Ibu Mega tidak serta-merta memberikan harga lebih murah tersebut secara cuma-Cuma, terdapat berberapa persyaratan yang harus dipenuhi RRC, yaitu:


  1. RRC harus membantu pembangunan infrastruktur di Indonesia, seperti megaproyek Jembatan Suramadu, Jembatan Selat Sunda, pelabuhan-pelabuhan di Papua, dan penyediaan pembangkit tenaga listrik sebesar 80.000 MW dan pembangunan jalan ke desa-desa sepanjang 5.000 Km
  2. Melakukan bantuan ekonomi kepada Rakyat Korea Utara yang mengalami kelaparan akibat di-embargo AS.
  3. Melakukan penyesuaian harga setiap 5 tahun setelah kontrak berjalan 8 tahun. Anda semua harus bertanya kenapa penyesuaian ini tidak dilakukan pada zaman pemerintahan yang sekarang.

Dampak dari kedua kebijakan tersebut, walaupun Indonesia saat itu memiliki dana yang terbatas namun bisa menjalankan proyek-proyek infrastrukturnya sehingga perekonomian mulai pulih. Dan tentu saja bisa membayar hutangnya (ingat zamannya Ibu Mega, warisan hutang zaman Orde Baru berhasil dilunasi sebesar 70%). Selain itu Indonesia bisa memenuhikebutuhan dana untuk APBN-nya .Hal ini mengembalikan kepercayaan investor kepada Indonesia. Perekonomian kita menjadi pulih. Dosen saya pun mengatakan bahwa periode ini (ketika beliau menjadi Menko Perekonomian) merupakan sebuah titik balik dimana sebuah negara yang hampir bangkrut bisa memiliki pertumbuhan ekonomi yang gemilang, bahkan sekarang salah satu yang tertinggi di dunia.

Selain itu dari dana yang didapat ini, Pemerintah dapat membeli amunisi dan peralatan militer dari Rusia seperti pesawat Sukhoi, dan 5 buah helikopter tempur. Indonesia mempunyai modal untuk mempertahankan kedaulatannya. Selain itu karena diplomasi lembut dengan Korea Utara (tanpa menyakiti hati Korea Selatan, karena melalui pihak ketiga RRC) membuat Korea Utara berterima kasih kepada Indonesia dan menmberikan alih teknologi pembuatan roket balistik jarak jauh. Itulah mengapa LAPAN sekarang bisa mengembangkan roket balisitik jarak jauh sendiri yang diberi nama R-Han 122. Permainan diplomasi ini membuat Amerika was-was, AS yang masih trauma dengan Perang Dingin takut blok baru terbentuk dengan Indonesia sebagai porosnya. Akhirnya AS menarik kedua kapal induknya dari wilayah Indonesia dan menarik embargo militernya secara perlahan terhadap Indonesia. Kita berhasil mengusir aggresor tanpa melontarkan sebutir peluru pun! Hal ini menunjukkan kecerdasan diplomasi sang ayah, Bung Karno, menurun pada sosok Ibu Megawati.

Namun sayang, dibalik kesuksesan kebijakan tersebut, menjual PT. Indosat dan LNG ke China dengan harga murah bukanlah kebijakan yang populis. Ibu Mega dituduh melakukan tindakan yang tidak nasionalis, mafia satelit dan gas. Tentu agak lucu mempertanyakan nasionalisme Ibu Mega. Beliau adalah anak dari proklamator kita, Bung Karno, masa iya Ibu Mega sampai hati merusak hasil jerih payah ayahandanya sendiri? Masa tega Ibu Mega mengkhianati ideologi ayahnya?

"The medicine is harsh, but the patient requires in order to live. Should we withhold the medicine? No, we are not wrong. We did not seek to election and win in order to manage the decline of a great nation" - Margareth Thatcher.

Memang tindakannya tidak populis dan tentu saja Ibu Mega sadar tindakannya akan menurunkan elektabilitasnya di pemilu berikutnya. Tapi Ibu Mega tidak perduli, keberlangsungan dan mempertahankan kedaulatan negara ini lebih penting dari apapun, harga mati yang tidak bisa ditawar. Ibu Mega mengorbankan elektabilitasnya dan keberlangsungan jabatannya sebagai presiden untuk kepentingan satu bangsa. Sebuah sikap heroisme yang patut kita contoh.

Analaogi kebijakan Ibu Mega terhadap keputusannya sebenarnya sederhana:

Ketika anak anda sakit dan hampir meninggal, anda tidak punya dana untuk mengobati anak anda dan harta benda yg bisa anda jual hanya motor kesayangan anda yg tiap hari anda pakai bekerja. Masakan iya anda tidak menjual motor tersebut untuk biaya berobat anak anda? Masakan anda lebih memilih mempertahankan motor tersebut dibandingkan nyawa anak anda?
Apalagi ada opsi anda bisa membeli kembali motor tersebut ketika anda telah memiliki uang yang cukup.

Lalu menyikapi bahwa Ibu Megawati seorang tokoh oportunis, dan menjadikan Pak Jokowi sebagai boneka politiknya saya rasa merupakan persepsi yang keliru. Pertama kali Ibu Mega meminta Pak Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, kubu lawan langsung meneriakkan Pak Jokowi boneka Bu Mega. Namun perlu diingat sebetulnya bukan Bu Mega yang berkehendak, saat itu kita masyarakat Jakarta yang mengelu-elukan Pak Jokowi untuk mencalonkan diri di Jakarta. Apakah selama Pak Jokowi memimpin Jakarta ada tanda-tanda atau bukti beliau didikte Ibu Mega dalam memimpin Jakarta? Tidak ada kan. Kalau ada yang bisa berikan saya bukti valid (bukan fitnah atau black campaign) kalau Pak Jokowi disetir Bu Mega dalam memimpin Jakarta, saya berjanji akan mengubah pilihan saya ke kubu seberang.

Begitupula pada Pemilihan Presiden 2014, apakah kita lupa bahwa rakyat sendiri yang berteriak-teriak meminta Pak Jokowi menjadi presiden. Ketika Ibu Megawati belum memberikan keputusan siapa yang akan dicalonkan PDI-P pada pilpres 2014, rakyat terus mendesak agar PDI-P mencalonkan Pak Jokowi. Dan Ibu Megawati menunjukkan kebesarannya, beliau tahu mandat adalah milik rakyat, maka dari itu beliau menunjuk Pak Jokowi sebagai calon presiden dari PDI-P. Jadi bukan karena Pak Jokowi boneka, bukan, tapi karena rakyat Indonesia menghendaki. Menilik masa kepemimpinan di Jakarta, saya yakin Pak Jokowi tidak akan menjadi presiden boneka seperti yang dituduhkan selama ini. Kalaupun iya Pak Jokowi akan menjadi presiden boneka Ibu Megawati, menurut saya itu lebih baik daripada saya memilih calon presiden yang akan menjadi boneka pengemplang pajak, orang yg bertanggung jawab terhadap Lumpur Lapindo, orang yang mencurangi pemda NTB dalam divestasi saham Newmont, mafia daging sapi, mafia kedelai, mafia haji, mafia Al-Qur’an, dan FPI.

Akhir kata, setelah melakukan riset mendalam, mengecek sejarah, serta melacak rekam jejak masing-masing calon, saya mendukung penuh Pak Joko Widodo dan Pak Jusuf Kalla memenangkan Pemilihan Presiden 2014. Semoga Tuhan memberkati mereka dan memberkati rakyat Indonesia. Merdeka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline