Sambil menyeruput segelas air putih, saya ingin menumpahkan rasa kesal saya yang terdalam terhadap kemacetan di ibukota negara ini, Jakarta. Rasa kesal ini sebenarnya dimulai sudah sejak beberapa tahun lalu semenjak saya memutuskan untuk menuntut ilmu di Jakarta, tetapi mulai memuncak dewasa ini.
Tepatnya tadi pagi, saya berangkat ke kantor jam setengah tujuh pagi dengan harapan bisa sampai di kantor, yang terletak di kawasan Rawamangun, tepat jam setengah delapan pagi. Tapi apa daya gara-gara kemacetan yang sangat parah, saya pun akhirnya sampai di kantor jam delapan kurang. Bisa anda bayangkan dengan menaiki angkutan publik (busway), jarak Tebet-Rawamangun bisa sampai satu jam ???. Padahal apabila saya menaiki motor hanya membutuhkan waktu kurang dari setengah jam. Selama di busway pikiran saya mencoba menerawang tentang apa sih penyebab kemacetan di Jakarta ini ?
Busway yang saya naiki pun berjalan selangkah demi selangkah karena terhalang oleh keriuhan kendaraan-kendaraan yang berjejer dengan sembarang. Rasa kesal pun memuncak ketika mendapati pejalan kaki bisa lebih cepat berjalan daripada busway yang saya naiki. Selama 15 menit berjuang di kemacetan, tiba-tiba jalan kembali lancar. Lah, saya heran kenapa macet yang begitu panjang bisa tiba-tiba terpecah di jalur tertentu dan kembali lancar. Setelah saya perhatikan ternyata penyebab kemacetan ini hanya karena hal yang sangat sederhana, yaitu angkutan umum yang dengan gagahnya berhenti mencari penumpang di badan jalan pada titik tertentu. That's great ketika ratusan orang terpaksa bermacet-macetan karena supir angkot yang bijaksana ini.
"Macet salah pemerintah !!", banyak orang yang berkata seperti itu termasuk saya dulunya hehehe. Tapi setelah saya renungin dari kejadian yang saya alami tadi pagi, saya nyatakan statement tersebut salah besar. Banyak orang yang tidak sadar bahwa kemacetan itu disebabkan karena ulah kita juga. Nah, dengan cerdasnya kesalahan kita ini kemudian kita alihkan ke Pemerintah. Saya beri contoh, dalam suatu kemacetan yang tampak begitu panjang, apabila kita telusurin, ternyata berasal dari supir angkutan umum yang berhenti sembarangan. Kenapa dia berhenti sembarangan? karena usernya dalam hal ini masyarakat dengan sembarangan juga meminta turun. Yah, namanya penjual harus menuruti kehendak konsumen donk (dalam hal ini penumpang) agar barang dagangannya laris :). Nah, itu salah satu ilustrasi. Saya juga sering ngeliat ketika pengguna motor memacu motornya sudah seperti Valentino Rossi, menyelip ke segala sisi tanpa memperhatikan kendaraan lain dan menimbulkan kemacetan demikian juga dengan pengendara mobil yang tidak mau antri ketika kemacetan itu terjadi.
Kalau bisa saya definisikan arti kemacetan dengan kata-kata saya sendiri, kemacetan adalah suatu output yang terjadi akibat proses interaksi yang buruk antara masyarakat dan pemerintah (pemeritah pusat dan daerah) dalam ruang lingkup perlalulintasan tentunya.
Kenapa sih saya bilang interaksi yang buruk? karena kedua belah pihak saling menyalahkan tanpa berusaha memperbaiki diri mereka masing-masing. Dua pihak ini hanya saling melempar "dosa" yang mereka buat kepada pihak lain tanpa adanya usaha untuk melakukan"pertobatan". Miris bukan?
Masyarakat sering beropini kenapa pemerintah gak bikin kebijakan untuk mengurangi kemacetan, contohnya dengan membatasi kendaraan bermotor?. Nyatanya opini ini terbantahkan sendiri oleh masyarakat itu sendiri dengan membeli kendaraan bermotor juga. Dalam ilmu bisnis, penawaran lahir dari permintaan. Apabila permintaan banyak, otomatis penawaran juga banyak sehingga bagaimanapun cara pemerintah untuk membatasi kendaraan bermotor, tetapi kalo permintaan masyarakat masih tinggi terhadap kendaraan bermotor ini yah sama saja tohh.
Apakah kemacetan ini salah masyarakat? saya juga jawab tidak karena permintaan itu terjadi karena suatu sebab. Permintaan kendaraan bermotor ini timbul karena kurang tersedianya angkutan publik yang baik.
Sebagai masyarakat umum saya sendiri juga sangat ingin memiliki motor. Kenapa? karena angkutan publik yang selama ini saya gunakan untuk berpergian, saya ambil contoh busway, masih belum memenuhi ekspektasi saya sebagai sarana transportasi publik yang baik. Tanpa bermaksud untuk menghakimi ataupun untuk menurunkan kredibilitas bus transjakarta ini, saya rasa masih banyak yang harus dibenahi. Saya sering menaiki busway dan kecewa melihat beberapa shelter busway yang kumuh dan yang terlalu kecil untuk menampung banyak penumpang (kebetulan di shelter tersebut menampung volume penumpang cukup banyak). Selain itu keterbatasan armada busway juga membuat penumpang-penumpang yang lugu ini seperti ikan asin yang menunggu untuk dipanggang ketika menunggu kekasihnya yang bernama busway ini lewat. Sangat tidak nyaman bukan?.
Selain busway, masyarakat Jakarta juga sebenarnya mempunyai angkutan alternatif seperti kereta api dan angkutan umum seperti metromini, tapi persoalan dari tiap angkutan umum ini relatif hampir sama, manajemen operasional yang terkesan tidak konsisten dengan kebijakan-kebijakan yang mereka buat !!!.
Persoalan kemacetan ini diperburuk dengan ketidakharmonisan pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk mengatasi masalah kemacetan. Sangar miris ketika melihat pemerintahan daerah Jakarta, yang dipimpin Bapak Jokowi-Ahok, sedang pusing dalam mencari cara untuk mengurangi kemacetan Jakarta, tetapi pemerintah pusat bukannya membantu tetapi malah menambah beban kemacetan dengan program mobil murah. Sangat miris bukan ??. Jangankan hubungan masyarakat dengan pemerintahan, tetapi sesama pemerintah (pemerintah pusat dan daerah) juga tidak bisa berkomunikasi dan bekerja sama dengan baik
Ingin merubah Jakarta agar Jakarta tidak macet lagi?. saran saya kedua elemen yaitu masyarakat dan pemerintah harus berkoordinasi satu sama lain. Untuk masyarakat, jangan hanya ngeluh !!!, tetapi mulai dari DIRI SENDIRI, berusaha untuk berperan aktif untuk mengurangi kemacetan. Sebagai masyarakat sipil, berkendara lah dengan baik dan antrilah sesuai tempatnya. Saya yakin ketika kita berkendara dengan baik (motor berjalan pada tempatnya di sisi kiri jalan dan mobil juga berjalan pada tempatnya dengan tidak saling mendahului) potensi kemacetan itu bisa dikurangi.