"Don't ever come back." Begitu pesan Wendi kepada Novia. Wendi sedikit sakit hati, ternyata wanita yang ia cintai tidak membalas perasaannya.
Keadaan agak tegang, keringat Wendi keluar dari kening kanannya.
Novia merasa bersalah karena Wendi sangat berbaik hati padanya. Beberapa urusannya sering dibantu di tanah perantauan itu oleh Wendi. Tapi soal cinta bukan soal jual-beli. Mau ia terima, ragu, karena hati dia belum dapat mencintai Wendi, sebagaimana Wendi mencintainya.
"Please. . . Aku belum bisa mencintaimu. Memang kamu cukup baik, tapi ini soal cinta. Kalau soal suka, ya, aku suka kamu. Masihkah kamu mau berteman denganku?"
"Ya." Detak jantung Wendi mulai tidak karuan. "I'm sure. . . Suatu saat aku bisa membuatmu jatuh hati padaku," katanya dalam benak.
Novia makin merasa bersalah, ia kegugupan, dilihatnya Wendi tengah kosong. Tak ada cara lain. Ia memohon agar Wendi mau memaklumi, pun tak dihiraukan. "Why are you silent? Are you angry with me, Wen?" pertanyaannya tak dijawab. Tapi ia berusaha membuat Wendi sedikit punya harapan. "I can't accept you right now, Wen. Will you wait me? Please!"
"Sirius?" Wendi sedikit bergairah mendengar pernyataan seorang gadis yang ia cintai itu. "Yeah, I want to wait you."
"Syukurlah. . . Kan kita tidak tahu hari esok, siapa tahu saya mencintamu. Kamu harus terus berusaha, supaya hatiku bersedia menjadi pacarmu."
"Akan kulakukan itu."
Tas yang akan dibawa Novia untuk pulang kampung diambil Wendi, lalu mengangkatnya ke depan kosan sampai di jalan-raya. Mereka menunggu mobil angkutan umum menuju terminal. Wendi mengantar sampai ke terminal. Di dalam mobil mereka saling meninggalkan pesan.
Di terminal Pulau Gebang, Jakarta Timur. Wendi meneteskan air mata ketika Novia sudah naik ke dalam bus. Wendi melambaikan tangan kanannya, dan disambut senyuman manis Novia. Mulanya ia terharu menjadi sumrinngah. Apalagi ketika kepala Novia sedikit keluar dari jendela bus dan. . . "Wen, I love you. I'll come back. Da-da-dah."