Basrowi
"Mau makan apa to mas, kalau di dalam rumah terus, sumpek lah. Lha kalau aku tidak kerja, istri dan anakku mau makan apa?" Pak Yadi dengan nada agak emosi, menjawab pertanyaanku, mengapa tidak masuk saja di dalam rumah, tidak usah kongko-kongko di luar, karena bahaya virus Corona yang semakin hari semakin banyak jumlah korbannya, terutama di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Sementara istrinya sedang ngobrol bertiga dalam satu bangku kayu di depan kamar kosnya di gang sempit, permukiman padat huni bilangan Jakarta Pusat.
"Ya jangan nesu to mas, aku kan Cuma meneruskan himbauan Bapak Jokowi. Kalau Sampeyan tidak setuju ya gak apa-apa, yang penting selalu cuci tangan pakai sabun, pakai masker setiap di luar rumah, dan jangan berdempet-dempetan begitu." E...Pak Yadi menjawabnya malah tidak karuan. "Ya tidak mungkin lah mas, kalau tidak kumpul sama temen-temen, lha wong setiap hari selalu ngobrol ngalor-ngidul sama temen, masa gara-gara corona, terus babar blas, tidak mau ngobrol, tidak mau keluar rumah, ngumpet aja di dalam rumah. Nanti kalau sakit malah tidak ada yang nolong."
Meskipun aku hanya senyum-senyum sendiri, Pak Yadi semakin bersemangat bercerita. "Orang-orang di sini itu sudah sadar dan sudah paham, tetapi mau beli masker saja tidak mampu, apalagi harga masker selangit. Mau memakai masker terus juga sumpek, karena kamar kontrakannya hanya ada jendela sempit dan hanya memakai kipas angin. Kalau bangun tidur, seperti habis badminton, gemrobyos, basah kuyup kaos yang kupakai. Lha kalau tidur juga harus pakai masker, ya bisa bablas nyawaku mas."
Dari pada semakin ngeyel, lebih baik aku belokkan pembicaraan ke pedagang kaki lima. "Mas, sekarang ini kasihan ya pedagang kaki lima sepi pembeli, tukang bakso dan mie ayam keliling juga sepi, penjual cilok sepi, warung tegal sepi, penjual jajanan lainnya juga sepi. Tukang ojek juga sepi order, kebanyakan hanya orang pesan makanan. Njerit semua sekarang." Pak Yadi, yang tadinya agak ngeyel, sedikit mendunduk berfikir sambil mengambil nafas, "Iya-ya, kalau keadaan seperti ini terus, bisa jadi tambah runyam.
Orang miskin seperti saya yang hidupnya berjubel di gang-gang sempit, mau makan apa ya? Orderan tukang batu seperti saya juga sudah tidak ada. Bahkan semua tukang kayu, tukang las, tukang plafon, tukang cat, tukang keramik, semua sepi order, karena yang punya rumah, rata-rata tidak mau ada orang kerja, takut membawa virus Corona."
"Wah agak nyambung sekarang Pak Yadi," gumam dalam hatiku. Dia sekarang malah yang lebih banyak ngomong. Aku jadi pendengar yang baik sekarang. Dia sudah dua minggu tidak bekerja. Istri yang setiap pagi jualan nasi uduk dan miehun goreng kecap, juga sudah agak sepi, karena anak-anakk sekolah yang tadinya membeli sarapan, sekarang lebih banyak yang menghemat dengan membuat sarapan sendiri di rumah.
"Anak-anak sekolah sudah pada belajar dari rumah, mereka sudah tidak diberi uang jajan sebanyak kalau sekolah. Pasti saja para penjual keliling tidak ada yang laku. Orang yang kerjanya serabutan sudah empat minggu tidak bekerja. Utang sama tukang sayur sudah numpuk, utang rokok sama warung sebelah sudah banyak, bahkan sudah di black list, tidak boleh utang lagi."
Rencana Mudik Jadi ambyar
"Kalau rencana pulang kampung bagaimana mas, apakah tetap jadi?" tanyaku untuk selingan. "Ambyar mas, mudik gratis sudah tidak ada lagi. Orang Jakarta kalau pulang kampung pasti dijauhi orang-orang kampung, karena dianggap membawa virus. Lagi pula, rejeki seretnya seperti ini, ke kampung tidak bisa membawa oleh-oleh juga malu, tidak bisa ngasih sangu sama keponakan-keponakan juga malu lah. Apalagi tidak membawa baju untuk simbah, ya pasti diprenguti."
Kini Pak Yadi, sudah mulai sedih kalau diingatkan akan hari raya Idul Fitri. "Hari raya besuk, merupakan hari raya paling sedih mas, karena kondisi kalut seperti ini. Belum kalau ada keluarga yang sakit dan di rawat di rumah sakit." Menurut pengakuannya, sudah tiga hari ini tidak bisa beli rokok, karena uang tabungan sudah menipis, rencananya, Pak Yadi mau menggadaikan HP miliknya. "Siapa tahu nanti mendapat uang gadai lima ratus ribu, bisa buat masak sama beli rokok, dan gula-kopi. Masa ada temen main, mbengong tidak ngopi, kere bener si."