Lihat ke Halaman Asli

Dr.Dr.Basrowi.M.Pd.M.E.sy.

Pengamat Kebijakan Publik, Alumni S3 Unair, Alumni S3 UPI YAI Jakarta, PPs Ekonomi Syariah UIN Raden Intan Lampung

Strategi Jitu Menyelesaian Skripsi di Era Covid-19

Diperbarui: 1 April 2020   15:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kemarin sore aku curhat sama temenku sesama mahasiswa, karena telah empat minggu 'lockdown' di rumah, tetapi tugas akhirku belum juga dikoreksi oleh pembimbingku. Bahkan setiap aku menelpon, selalu di-reject. Kalaupun diangkat langsung bernada cetus, terkadang seolah-olah sedang sibuk sehingga hanya menjawab ya...ya...saja. Sementara itu, temen ku yang cewek, lancar banget bimbingannya, bahkan sudah acc (accepted) tinggal ujian.

Padahal bro, dia itu baru kemarin mengajukan judul dan ujian seminar proposal sebelum lockdown. Dalam hatiku, kapan dia turun lapangan, atau hanya menggunakan data sekunder dari bursa saham atau IDX ya...? Hitung punya hitung, punya ku itu sudah enam bulan sejak ujian proposal hingga sekarang, masih berjalan di tempat, alias mangkrak bro.

Dari pada su'udzon---berburuk sangka dengan pembimbingku---aku tanya sama temenku, "Kika, skripsimu kata temen di WAG sudah kelar ya, bagaimana si caranya, biar Prof itu mau membimbingku? Dengan emoji ketawa terbahak-bahak, si Kika menjawab..."O alah bro, jaman now seperti sekarang ini kok Cuma WA, ya pakai teknologi lah, pakai Video Call atau zoom atau apalah yang bisa berdiskusi langsung seperti bimbingan biasa itu lho?"

Tanpa ku pikir panjang, setelah aku menjawab, "Makasi kika cntk..?" Aku langsung Video Call (VC) ama pembimbing ku. Dengan hati, sedikit deg-degan, aku beranikan diri VC. Sekali tidak ada balasan. Aku coba lagi dua kali, ditolak. Agak lama kemudian aku VC ketiga kalinya. E...bukan diankat, tetapi dijawab melalui jaringan pribadi (japri) WA, "Maaf ya mas, sedang istirahat." Sambil diberi emoji telapan tangan  menyatu pertanda minta maaf.

Oke deh, dalam hatiku masih sabar dan baik sangka meskipun sudah empat minggu aku belum bisa bimbingan dengan benar. Hari berikutnya, aku VC lagi. Kali ini aku pilih jam 08.00 pagi dengan harapan, beliau sebagai Profesor sudah di depan laptop mengetik. Dalam perasaan sangat yakin (full confidence), karena aku sudah mandi, sudah pakai baju bagus, dan rambut sudah ku beri 'pomade' dalam jumlah cukup agar terkesan selalu basah dan rapih.

Coba tebak bro, "Diangkat atau tidak?" "Boro-boro diangkat bro, di- reject saja tidak, alias didiamkan sampai nada dering habis." "Nyesek enggak bro, kalau lo jadi aku?" Dengan agak emosi, aku VC lagi, "Sama bro, didiamkan aja, tidak ada balasan melalui japri wa kek, atau sekedar emoji maaf."

Namun bagaimana lagi bro, kita sebagai mahasiswa hanya bisa khusnudzon (berbaik sangka) saja sama dosen. Mau marah, ya gak berani lah, nanti kuwalat, ilmu kita gak berkah. Mau nyanthet apalagi, pasti masuk neraka. Ya, paling hanya bisa curhat ama temen-temen, bagaimana si gaya tiap-tiap dosen dalam membimbing.

Di tengah kegalauan, aku VC Kika, meskipun sedikit khawatir, dia sedang sama cowoknya. "Gak peduli deh, yang penting aku dapet strategi jitu, untuk bisa bimbingan dengan dosenku," gerutuku.

Terkejut enggak gaes, menurut pengakuan Kika, dia baru saja CV lama dengan pembimbinku yang juga sama sebagai pembimbing dia. "Gile...kenapa VC ku tidak diangkat ya...?" penasaranku semakin menjadi-jadi.

Akhirnya kuputuskan main ke kos-kosan Kika, meski harus social distancing dan hati-hati sekali keluar rumah, takut tertempel 'mbah Corona'. Sesampai kos-kosan Kika, di pintu pagar sudah tertulis, "Mohon maaf tidak menerima tamu, mohon seluruh komunikasi melalui WA atau VC." "Mati aku, mengapa, aku tadi tidak bilang dulu mau ke kos-kosannya?" gumamku. Dari pada sia-sia sudah capek-capek sampai kos-kosan Kika tidak ada hasil, aku beranikan diri bilang ama dia bahwa aku mau ketemu dan saat ini sudah di depan kos-kosannya.

Alhmdulillah bro, si Kika keluar dan mau menemui aku meski pakai masker dan hanya di bawah pohon depan kos-kosannya. Setelah aku ceritakan ke dia, seluruh nasib burukku, dia bukannya ikut prihatin [empati] atau apa kek, tetapi malah ngakak. "Habis lo, gak pakai lipstick?" mendengar penjelasannya, bukan tambah clear bro, tapi malah tambah ruwet. Tepuk jidad aku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline