Lihat ke Halaman Asli

Dr.Dr.Basrowi.SE.ME.MPd.PhD

Pengamat adm bisnis Alumni S3 Unair, Alumni S3 UPI YAI Jakarta, S3 Asia e University

Cukai Plastik: Tetap Bukan Kebijakan Hijau

Diperbarui: 13 Maret 2020   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tok, Komisi Keuangan DPR, secara sah menyetujui usulan penerapan Cukai Plastik dari Kemenkeu. Tidak hanya kantong plastik yang dikenai cukai, tetapi juga produk plastik lainnya, seperti botol minuman dan kemasan makanan. Besar cukai tersebut adalah Rp30ribu per kilogram, atau Rp200 per lembar. Langkah itu diambil, karena selama ini, berbagai pungutan kantong plastik di berbagai supermarket tidak jelas. Oleh karena itu, dengan cukai ini, pungutan tersebut dapat masuk kas negara, sekaligus sampah plastik bisa dikurangi. Teorinya seperti itu.

Realitasnya, dampak sampah plastik sudah sangat memprihatinkan. Di Indonesia--hingga saat ini--penggunaan plastik sudah menjadi kebiasaan keseharian masyarakat di seluruh aspek kehidupan, mulai dari rumah tangga, pasar tradisional, mini dan supermarket, hingga kantor-kantor pemerintah dan swasta. Untuk menghilangkah kebiasaan itu agar beralih ke kantong ramah lingkungan, perlu waktu sosialisasi, penyadaran, dan pembiasaan yang lama.   

Sedikitnya ada lima negara yang telah secara penuh melarang penggunaan kantong plastic, yaitu Bangladesh, Rwanda, Tiongkok, Kenya, dan Prancis. Bangladesh sejak 2002 telah mewajibkan semua pusat perbelanjaan menggunakan polyethylene atau poly-propylene bahkan menghukum berat bagi pelanggarnya, termasuk pihak yang memproduksi, mengimpor, dan memasarkan plastik akan dihukum selama 10 tahun atau denda 1 juta taka, bagi pengguna akan dikenakan penjara 6 bulan atau denda  10 ribu taka.

Rwanda juga melarang warganya termasuk turis menggunakan plastik. Bagi pelanggar, selain dihukum berat juga harus mengakui kesalahannya di depan umum. Pemilik toko yang melanggar akan ditutup usahanya dan harus mengakui kesalahannya di depan umum. Tiongkok sejak 2008 telah merapkan pelarangan dan bagi pelanggarnya akan dikenakan denda 10.000 yuan. 

Kenya, sejak 2007 telah sepenuhnya melarang penggunaan kantong plastik. Pelanggarnya akan dihukum 4 tahun penjara atau didenda 40.000 hefty. Prancis sejak 2015 telah melarang penggunaan kantor plastik, gelas plastik, dan seluruh alat makan  dari plastik. Semua itu muncul dari kesadaran dan komitmen negara dalam menjaga lingkungan.

Kini, sudah banyak negara yang secara parsial sudah melarang penggunaan plastik seperti Denmark, negara di Afrika Selatan (Uganda, Somalia, Rwanda, Botswana, Kenya, Ethiopia), hongkong dengan program No plastic bag day, Belgia (pajak kepada usaha ritel atas kantong plastik. Irlandia mengenakan pajak sebesar 0,15 euro untuk satu kantong plastik. Ada juga yang menggunakan sistem pajak bagi pengguna, plastik berbayar, dan metode lain yang sifatnya hanya mengurangi bukan secara penuh melarang.

Indonesia bisa saja meniru Bangladesh dengan cara melarang penuh penggunaan plastik dan menutup seluruh perusahaan plastik sekali pakai, dengan konsekwensi menyiapkan lapangan kerja baru bagi karyawan yang terdampak, bukan hanya menerapkan cukai plastik. 

Hal ini tentu jauh lebih mudah daripada selamanya harus menangani sampah plastik itu sendiri yang semakin hari semakin mencemari tanah dan laut. Apakah pendapatan negera dari cukai plastik dapat mencukupi untuk biaya pengelolaan sampah plastik? Tentu masih jauh panggang dari api.

Bandingkan saja, kalau kita ke Singapura, selalu membaca kampanye Bring your own bag, sehingga mampu mengurangi 100.000 penggunaan kantong plastik dan menjual 200.000 kantong ramah lingkungan. Begitu juga kalau kita ke Australia Utara dan Selatan yang telah melarang penggunaan kantong plastik.

Sesungguhnya, sejak 21 Februari 2016 Indonesia telah menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar di seluruh mini dan supermarket, dan siapa saja yang menghendaki bungkus kresek harus membayar. Namun, pendapatan dari penarikan itu tidak jelas apakah masuk kas negara atau tidak.

DPR juga telah mengesahkan UU no 18/2008 tentang pengelolaan sampah di mana Seluruh Pemerintah Daerah harus meninggalkan open dumping system (membuang begitu saja) dan beralih ke sanitary landfill (membuang sampah dilokasi cekung, pemadatan, dan menimbunnya dengan tanah). Kementerian Lingkungan Hidup telah Mengeluarkan PP mengenai pengelolaan Sampah dengan Konsep Extended Procedure Responsibility (EPR) dengan menuntut tanggung jawab para produsen, namun semua itu belum terlihat nyata efektivitasnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline